Dari Palung hatiku,
Kau pertama yang telah buat aku selalu pikirkanmu tanpa sebab
Yang buat aku bingung tak menentu
Yang buat perasaan kalut tak seperti biasa
Yang buat ku bisu, buta, tuli, tak bergerak
Kau kah cinta…?
Akhir – akhir ini di loker aku sering mendapatkan surat cinta aneh tanpa nama pengirim menghuni lokerku hampir setiap hari. Awalanya kukira hanya pengagumku saja, maka tidak aku pedulikan. Namun sepertinya dia tidak capek-capek dan tidak pernah kehabisan kata-kata untuk menggombal di surat-suratnya. Sudah genap dua minggu surat-surat aneh itu selalu mendatangi loker no 147. Aku sampai capek di buatnya, sebenarnya aku sangat ingin mengetahui siapa pengirim surat-surat itu, namun aku tidak tahu caranya. Walaupun lokerku selalu terkunci, namun sepertinya dia punya kunci duplikat lokerku.
Dari Cinta yang terdalam,
Aku selalu memimpikanmu hingga tadi malam
Aku pun selalu membayangkanmu hingga detik ini
Jantungku berdegup tak menentu setiap melihat kau tersenyum
Aku selalu menunggumu tuk memandang dan menyapaku
Ku ingin kau tahu kalau aku selalu menyukaimu
Itu surat cinta yang ke 14 darinya, dan hari ini aku memutuskan untuk membalas surat darinya. Aku ingin bertemu dengannya namun aku binggung bagaimana caranya. Dan aku putuskan untuk menaruh balasan suratku di lokerku sendiri. Sore ini sepulang sekolah aku tak langsung pulang ke rumah aku ingin mengetahui siapa dia sebenarnya, siapa tahu aku bisa bertemu dengannya di sini. Aku sudah bawa persiapan dari rumah, aku pun sudah izin kepada kepala sekolah yang kebetulan pamanku sendiri untuk menginap di sekolah, aku ingin menangkapnya basah-basah ketika dia sedang memasukan surat untukku sehingga dia tidak bisa mengelak lagi.
Selama ini biasanya yang pernah menyatakan cintanya padaku biasanya setelah di tolak sekali atau aku tak memberikannya respon maka mereka akan segera menyerah namun kali ini berbeda. Makanya aku berusaha sebisanya untuk menemukan jawaban ‘siapa pengirimnya?’ dari surat – suratnya yang selama ini dia kirimkan padaku, rasanya dia sudah kenal lama dan mengetahui banyak hal tentang diriku.
Sudah pukul 6 sore namun dia tidak datang-datang juga, apa dia akan menaruhnya besok pagi? Tak terasa aku tertidur di kursi panjang dekat ruang olah raga, di tempat aku mengawasi lokerku. Pagi ketika aku terbangun, aku baru sadar bahwa aku semalam tertidur lelap di kursi, namun ketika aku terbangun aku berada di kamarku.
“Bi, kemarin kan aku menginap di sekolah. Kok tiba – tiba aku bisa ada di kamar sih, Bi?” tanyaku pada Bi Ijah pembantu di rumahku.
“Iya Non, semalam ada anak laki – laki seumuran Non yang membawa Non ke rumah,” jelas Bi Ijah sambil sibuk mengirisi sayuran.
“Hah… yang bener, Bi? Siapa?” aku terkejut sekali saat itu.
“Wah, maaf ya Non Bibi nggak tahu siapa namanya. Kalo nggak salah dia bawa mobil, terus dia gendong Non sampe kamar,” tambah Bi Ijah.
“Ya udah deh, Bi. Aku mau mandi dulu. Takut kesiangan nih.”
Sebenarnya aku masih bertanya – tanya siapa yang menggendongku semalam ya? Apa dia orang yang sama dengan yang mengirimi surat di lokerku. Kalau iya, berarti semalam dia datang ke sekolah tapi aku tidak berhasil menemuinya. Dia bener-bener cowok yang romantis deh, dia susah payah nganterin aku dari sekolah sampai rumah Aku jadi ingin cepat-cepat ke sekolah, kira-kira dia mengirimkan surat lagi atau tidak ya?
Dari penantian sebuah kasih,
Bagaimana mimpimu tadi malam, apakah aku datang menemuimu?
Balasan suratmu sudah kuterima,
Sebenarnya akupun ingin bertemu denganmu
Namun ku rasa waktunya belum tepat, tuhan belum mentakdirkan kita bertemu
Jangan memaksakan diri untuk bertemu denganku jika waktu belum merestui
Namun jika aku di beri waktu lebih kita pasti akan bertemu.
Apa-apaan dia? Aku begitu kan untuknya. Aku berusaha keras buat ketemu sama dia tapi dia malah bilang aneh-aneh. Aku semakin penasaran dengannya. Bahasanya juga terlalu tinggi buatku. Ah… lebih baik aku abaikan saja dia, nanti juga dia akan berhenti sendiri. Berkali-kali aku berpikiran untuk melupakannya saja, namun entah sejak kapan aku selalu menunggunya mengirimkan surat lagi untukku. Seperi sudah menjadi ritual tersendiri untukku setiap pertama kali aku tiba di sekolah yang kulakukan adalah membuka lokerku, aku berharap aku menemukan secarik kertas yang selalu ingin ku baca setiap hari.
Ku rasa dia telah berhasil mencuri hatiku dengan kata-katanya, awalnya ku anggap bahwa surat cintanya itu konyol dan cuma buang-buang waktu jika membacanya, tetapi rasanya kini setiap waktu yang ingin kulakukan hanya membaca surat darinya saja. Mungkin benar kata orang kalau perempuan mudah luluh cuma sama kata-kata saja. Aku memang belum pernah bertemu dengannya, tetapi hati kecilku yakin bahwa dia pasti menyukaiku dengan tulus.
@@@
“Lashya, kamu tahu nggak? Tadi aku tabrakan loh sama anak baru yang lagi heboh di bicarain sama semua murid di sekolah kita,” seru Mira, yang terlihat amat antusias dengan kejadian itu.
“Oh gitu…” jawabku singkat.
“Kamu kok nggak nanggepin apa yang aku omongin sih?”
“Aku lagi binggung nih.”
“Kenapa?”
“Nggak kenapa-kenapa.”
“Kamu gimana sih? Bingung, tapi nggak kenapa-kenapa. Oh ya, aku lanjutin yah ceritanya, dia baru masuk sekitar tiga minggu yang lalu tapi anak-anak masih heboh ngebicarain dia. Kabarnya dia juga punya kakak yang lebih tua setahun sama dia, tapi lagi dirawat di rumah sakit, karena penyakit leukemia. Kamu tahu kan penyakit itu ngebikin penderitanya gak berumur panjang?”
“Kamu udah dapet banyak informasi ya tentang anak baru itu, tapi sorry aku lagi kurang enak badan sekarang.”
Aku masih pusing mikirin sesuatu, udah hampir seminggu lokerku gak pernah di isiin surat-suratnya lagi. Kenapa ya? Aku jadi kesepian, setiap kali aku menaruh surat disitu untuk menanyakan kenapa? Tetapi suratnya tak pernah diambil dan aku pun tak kunjung tahu apa alasannya menjadi seperti itu.
Sepulang sekolah, “aku mau ke loker dulu, Mir.”
“Ngapain? Ngecek surat lagi? Mungkin dia udah bosen kali, kamu sih terlalu percaya sama gituan.”
“Terserah kamu mau ikut atau nungguin aku di sini?”
“Ya ikut dong.”
Setibanya di depan loker, Astaga!!! Aku melihat sesosok cowok sedang membuka lokerku di sana. Apa pertanyaan ku selama ini akan terjawab hari ini? Siapa cowok itu?
“Hei…,” aku berteriak memanggilnya dan tanpa sadar aku mengejarnya namun dia lari sangat cepat sehingga aku tak berhasil menangkapnya.
“Lashya, aku nggak percaya deh, ternyata dia Dion. Anak baru yang aku suka yang selama ini aku sering cerita ke kamu,” Mira berkata sambil tertunduk lesu.
“Mir, aku gak tahu kalo selama ini dia cowoknya,”
“Kalo emang dia suka sama kamu aku nggak keberatan kok.” Nada bicara Mira semakin datar.
Perjalanan pulang begitu sunyi, rasanya terjadi salah paham antara aku dan Mira. Apa iya kami menyukai pria yang sama? Sejujurnya aku sama sekali tidak menyangka bahwa cowok yang selama ini mengirimkan aku surat-surat itu adalah Dion. Anak baru yang sangat diidolakan siswi-siswi sekolahku. Bagaimana ini???
Hari-hariku semakin sepi, kini Mira menjauhiku. Aku jadi merasa bingung, apa sebenarnya yang akan terjadi selanjutnya. Hingga suatu siang, aku melihat sebuah mobil sport hitam bertengger di halaman rumahku. Dion? Ada apa dia kesini, padahal dia yang sudah merusak persahabatanku dengan Mira.
“Non, ada yang nyari, sekarang dia di ruang tamu,” Bi Ijah memberitahuku bahwa ada tamu yang datang untukku, dan itu pasti Dion.
“Iya Bi, sebentar,” aku gugup, aku nggak tahu apa yang harus kukatakan sama dia, apa aku harus menemuinya? Pikirku dalam hati.
Tak lama aku pun nekat untuk menemuinya, aku pun keluar dari kamarku dan menemuinya. “maaf ya lama,” ujarku membuka percakapan kami.
“Ah… gak papa. Aku kesini ingin menghilangkan kesalah pahaman antara kita. Sebenarnya yang selama ini mengirimi surat buat kamu itu…”
“Dion, aku udah ngelupain itu kok. Sebenernya ada yang lebih penting, temanku Mira dia sudah lama menyukaimu. Aku hanya…”
“Bukan… bukan aku yang selama ini mengirimkan surat untukmu. Tapi kakak laki-lakiku. Waktu itu pun aku hanya ingin mengambil surat balasan dari kamu untuknya. Dia sudah lama mengidam penyakit leukemia, dia hampir kehilangan semangat karena umurnya tidak lama lagi. Tetapi ketika mengantarkanku ke sekolah pada hari pertama, dia melihatmu yang sangat ceria di dekat gedung olah raga. Dia bilang padaku kalau dia ingin mengenalmu namun dia takut justru akan membuatmu sedih karena umurnya tak lebih dari satu bulan lagi. Maka dia memutuskan untuk memasukan surat ke lokermu. Dia pun memintaku untuk membuatkan duplikat kunci lokermu saat itu. Setelah kejadian itu, setiap pagi-pagi sekali atau malam harinya dia datang ke sekolah hanya untuk memasukan surat ke lokermu. Aku hanya ingin bilang bahwa dia benar-benar tulus menyukaimu, buatnya kamu adalah sumber kekuatanya untuk menjalani sisa hidupnya. Oh iya, tadi dia menitipkan ini untukmu,” Dion sambil memberikan selembar amplop merah muda kepadaku.
untuk pelita hidupku,,
Hingga kini pun aku yakin kalau selama ini aku sangat membutuhkan senyumanmu. Aku tahu perpisaan pasti akan datang dan aku harus meninggalkanmu, walau itu bukan keinginanku. Namun tak terasa waktu begitu cepat berjalan seperi ini. Apakah kisah kita akan jadi kenangan? Atau ini hanya rentang waktu yang akan berlalu dan kita akan melanjutkan cerita yang baru? Tunggulah hingga semuanya terjawab!
Mungkin ini surat terakhir yang ku tulis, entah setelah membaca ini apakah aku dapat membaca balasannya atau tidak. Aku yakin kamu sudah mendengar semua ceritanya dari adikku. Maaf kalau selama ini aku selalu mengawasimu diam-diam, namun aku ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar menyukaimu setulus hatiku. Aku tak dapat menulis lebih banyak lagi. Semoga surat ini dapat mewakili semua perasanku padamu. Terimakasih untuk semua senyuman yang kamu berikan untukku selama ini. Aku akan selalu mencintaimu.
RIVA
Tak terasa aku menangsis sejadi-jadinya saat itu juga, tanpa sadar surat itu pun ikut terbasahi dengan air mataku. Jadi selama ini alasannya salalu menolak untuk bertemu denganku adalah karena penyakitnya yang semakin parah. Aku benar-benar ingin bertemu dengannya sekarang.
“Dion, boleh nggak sekarang aku ikut kamu ke rumah sakit tempat Riva dirawat. Aku ingin sekali melihatnya walaupun hanya sebentar.”
“tentu aja, Riva pasti senang kalau dia tahu kamu datang menemuinya,” dan kami berdua pun segera berangkat menuju rumah sakit tempat Riva dirawat.
Sesampainya disana aku melihat kedua orang tua Riva yang sedang menangis. Melihat pemandangan itu aku semakin teringat dengan semua yang pernah dilakukakn Riva padaku, menggendongku hingga rumah malam itu, dan surat-suratnya apakah takan pernah ku dapatkan lagi? Riva masih berada dalam ruangan ICU tak boleh sembarangan orang masuk ke sana, aku ingin sekali pintu itu terbuka dan Riva keluar dari sana sambil tersenyum padaku. Tetapi apakah itu mungkin…
Tak lama Dokter keluar dari ICU, “Bagaimana Keadaan Riva, Dok?” Tanya Dion penuh harap.
“Waktunya hanya, 24 jam, jika dalam waktu itu ia belum bisa mendapatkan donor sum-sum tulang belakang yang cocok kemungkinan besar dia tak dapat tertolong lagi.” Mendengar perkataan itu Dion pun menitikan air mata.
“Dokter, apa kami boleh bertemu denganya,” tanyaku pada dokter itu.
“iya silahkan, namun tak lebih dari tiga menit.”
Aku dan Dion pun memasuki ruangan di mana Riva tertidur lelap. Ini pertama kalinya aku melihat wajah Riva, ia terlihat sangat pucat. Aku tak kuat berlama-lama di sana. Entah kapan aku merasa telah lama mengenal Riva dan bagian dalam diriku serasa tak rela Riva akan meninggalkanku secepat ini. Belum pernah aku merasa sesedih ini sebelumnya. Aku berlari keluar sebelum tiga menitku habis.
Dion memelukku sangat erat, “kita sama-sama menyayanginya, dan yang dapat kita lakukan hanya berdoa agar ada keajaiban yang datang,” terdengar suara Dion bercampur isakan tangisnya dan air mataku.
Malam pun semakin larut, namun tak kunjung Riva terbangun dan tersenyum untukku. Dokter pun hanya bolak-balik ke ICU dengan muka yang suram. Benar kata-kata Dion bahwa yang dapat kulakukan hanya sebatas berdoa dan berharap pada tuhan untuk mendatangkan sebuah keajaiban. Tiga belas jam telah kulalui di sini, namun sum-sum tulang belakang yang diharapkan belum juga datang. Hanya tinggal sebelas jam lagi waktu yang tersisa untuk Riva. Aku tak mau semua berakhir dengan perpisahan.
Terlihat Riva yang sedang dibawa perawat ketempat lain, aku takut sekali. Apa yang terjadi ini, “ada apa ini, Dok?” Tanya Dion
“Kami akan segera melakukan transplantasi sum-sum tulang belakan sekarang juga, kami baru saja mendapatkan donor sumsum tulang belakang yang cocok dengan Riva,” jelas salah satu perawat.
Seketika rasa takut dan kalutku hilang, timbul sebuah harapan dalam hatiku, aku berharap Riva sembuh. Kami pun menuju ruang operasi, aku terus menggenggam kuat surat dari Riva sambil berdoa dalam hati agar operasinya berhasil. Kami semua menunggu hampir lima jam lamanya, namun Dokter tak kunjung keluar dengan senyuman. Hatiku kembali cemas saat itu, aku takut Dokter tidak membawa berita yang kuinginkan.
Tak lama kemudian, Dokter keluar dari ruang operasi. Operasinya berhasil, dan kami hanya tinggal menunggu Riva siuman. Aku sangat senang dengan berita itu. Beberapa jam kemudian perawat mengabarkan kalau Riva telah sadar.
“Maaf, apakah di sini ada yang bernama Dion dan Lashya? Pasien ingin bertemu, harap kalian menemuinya,” aku dan Dion pun memasuki ruangan di mana Riva terbaring lemah.
Senyumanku berkembang di sana, “maaf yah, udah bikin kalian cemas berjam-jam,” untuk pertama kalinya aku mendengar suara Riva.
“Va, aku bawa Lashya kamu nih, kayaknya aku harus pergi supaya nggak ganggu,” Dion pun meninggalkan kami berdua dalam ruangan itu.
“Aduh… aku malu nih sama kamu, pasti sekarang aku berantakan banget deh.”
“Nggak kok!” Akupun tak kuat lagi menahan air mata haru.
“Shya, kamu mau kan nunggu aku sampai aku sembuh total? Aku berencana akan ngelanjutin SMA ku setelah aku sembuh nanti,” Riva menggenggam erat tanganku.
“iya, aku pasti akan nunggu kamu. Kamu cepet sembuh yah!”
@@@
Seminggu kemudian,
“Lashya… aku mau minta maaf sama kamu. Aku marah-marah nggak jelas sama kamu cuma gara-gara Dion. Harusnya aku restuin kamu sama Dion, bukannya malah musuhan sama kamu,” Mira terlihat menyesal sekali.
“Kamu tuh ngomong apaan sih? Aku sama Dion nggak ada apa-apa kok. kamu serius suka sama Dion?”
“Aku…” perkataan Mira terpotong ketika terdengar ada suara dua orang yang memanggil namaku.
“Lashya, aku nyari kamu kemana-mana, taunya di sini. Riva udah jadi siswa sini dia masuk kelas XII IPA 3. kamu ngapain masih di sini, nggak ngucapin selamat? Ngasih ciuman gitu?!”
“Ah kamu, ada-ada aja deh! Oh ya… kenalin nih Mira teman sekelasku,” aku mengenalkan Dion dan Riva pada Mira saat itu. “Dion, udah waktunya kamu juga nyari cewek. Mira cantik loh!”
“Apaan sih, Shya?!”
“Emang Mira belum punya pacar?” Tanya Dion ragu-ragu.
“Belum,”
“Tuh kan, udah deh jadian aja. Aku mau kekantin dulu yah sama Riva…” aku dan Riva pun meninggalkan mereka berdua di taman sekolah.
Awal kisah cinta yang indah baru akan di mulai, aku dan Riva, Mira dan Dion akan memulai cerita cinta yang baru. Pertanyaanku selama ini pun telah terjawab ‘surat dari siapa?’. Karena Si pengirim surat kini tak kan pernah ku biarkan membuatku penasaran lagi.
http://cerpen.net/cerpen-cinta/surat-dari-siapa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar