Aku berlari sekuat tenaga menuju kelasku. Peluh membasahi sekujur tubuhku. Sial! Kenapa harus telat di hari sepenting ini! Jika aku tidak sampai di kelas sebelum Pak Judy datang, bisa sia-sia usahaku belajar mati-matian kemarin malam hanya demi ulangan kimia menyebalkan ini. Langkah kakiku semakin cepat dan dengan reflek membawaku ke koridor kelas yang selalu aku lewati. Aku sedikit lega ketika melihat dari jauh pintu kelasku yang masih terbuka. Kutambah kecepatanku dan entah apa yang terjadi kemudian, lututku terasa nyeri sekali. Aku terjerembab di lantai koridor tempatku berlari dan sadarlah aku telah menabrak seseorang dengan begitu kerasnya. Mataku tertuju pada pemandangan di depanku. Seorang gadis berkerudung tengah memunguti lembaran-lembaran kertas yang berterbangan di lantai. Aku bisa melihat darah yang mengalir pada punggung tangannya ketika dia merapikan lembaran kertas itu. Aku berusaha berdiri dan membersihkan seragamku yang penuh debu, kemudian menghampiri gadis yang kutabrak tadi. “maaf, kau baik-baik saja?” tanyaku seraya mengulurkan tangan kepadanya. Dia berusaha berdiri sendiri dengan lutut yang gemetar sambil terus mencengkram erat lembaran-lembaran itu dalam dekapannya. Dia mengangguk perlahan lalu menggeser tubuhnya ke kiri untuk melewatiku. Tidak sedikitpun tatapan matanya tertuju ke arahku. “hey, tanganmu berdarah” kataku lagi. Mungkin dia marah besar padaku karena tak sengaja menabraknya tadi. Gadis itu menghentikan langkahnya untuk mengamati jari-jari tangannya yang berdarah hingga menodai lembaran kertas putih ditangannya. Aku benar-benar merasa bersalah kepadanya. Kuambil sapu tangan dalam saku celanaku dan memberikannya pada gadis itu. Dia menerimanya dan tersenyum memandangku sambil mengucapkan terimakasih kemudian melanjutkan langkahnya lagi. Aku tertegun melihatnya. Tatapan matanya benar-benar ramah dan tak sedikitpun menunjukkan ekspresi marah dalam raut wajahnya yang rupawan. Tak mampu aku mengalihkan pandangan darinya hingga dia menghilang memasuki salah satu ruangan kelas. Aku kembali tersadar. Tapi terlambat. Kulihat pintu kelasku yang telah tertutup rapat dengan tatapan menyedihkan. Dan dengan gontai aku kembali melangkah ke ruang kelasku. Gagal sudah usahaku untuk mengikuti ulangan hari ini. Pak Judy tidak akan membiarkanku masuk begitu saja dan memperbolehkan aku mengikuti ulangannya. Aku duduk bersandar dikursi panjang depan kelasku dan menunggu hingga jam pelajaran pertama usai. ***Esoknya, Hari ini aku datang pagi sekali. Aku sengaja memperlambat langkah kakiku mulai dari tempat parkir hingga ke ruang kelas. Mencoba mengamati satu persatu kelas yang kulewati dangan harapan bisa bertemu dengan gadis itu lagi. Apa aku benar-benar telah jatuh cinta padanya? Pada pandangan pertama? Mustahil… mana mungkin aku jatuh cinta pada gadis berkerudung seperti dia? Aku berhenti sejenak dan memejamkan mata. Berharap bisa meredam perasaan aneh yang tiba-tiba muncul dan mengganggu pikiranku. Berusaha membuang senyumannya dari benakku… “Assalammu’alaikum…” ada suara yang menyapaku. Dengan cepat aku membuka mata dan melihat wajah rupawan yang pernah aku lihat sebelumnya. Hatiku berdesir ringan begitu tahu dari mana asal suara selembut beledu itu datang. Gadis itu… Aku tak tahu apa yang sebaiknya harus kukatakan… “eh, iya. Wa...wa’alaikum salam…” jawabku ragu. Dia tersenyum simpul mendengar jawabanku dan menyodorkan kain seputih gading padaku. Sapu tanganku. Aku mengambilnya dan memandangi sapu tangan itu sejenak sebelum kembali melihat wajahnya. “terimakasih…” katanya. “iya, maafin aku. Karena aku tanganmu terluka” lirihku mengingat kejadian kemarin. “nggak apa… Selamat belajar, Assalammu’alaikum…” katanya lagi. Aku hanya terdiam melihatnya tersenyum. Namun perlahan senyumnya menghilang dan untuk beberapa saat dia menatapku tajam dengan kening berkerut, sebelum aku menyadari apa maksudnya. “eh, maaf… sebenarnya aku nggak biasa menjawab salam dari seorang muslim…” kataku pelan. Aku mencoba agar nada bicaraku selembut mungkin agar tidak melukai perasaannya. Kurasa dia mengerti maksud pembicaraanku. Ada semburat warna merah muda di rona wajahnya. “maaf… aku… nggak tahu kalau…” “nggak apa kok, nggak perlu sungkan…” potongku. Keadaan ini benar-benar membuatnya salah tingkah. “eh, terimakasih… sampai jumpa…” dengan cepat dia membalikkan badannya untuk pergi. “tunggu… siapa namamu?” Tanyaku sebelum dia sempat melangkah lebih jauh lagi. Dia memutar badannya ke arahku. “panggil saja Azkia” jawabnya singkat. “aku Reo, 11 IPA 3. Senang berkenalan denganmu, Azkia…” “sama-sama…” dia menyunggingkan senyumnya lagi kemudian berjalan menjauhiku. Kerudungnya berkibar pelan di belakangnya. Tak urung aku melihatnya pergi hingga menghilang dari jarak pandangku. Azkia…*** “woy, Reo! Dengerin gue bicara nggak sih?” Alec memukul bangkuku gusar. aku tak mengerti apa yang dibicarakannya tadi. Mengganggu saja. “apaan sih!” jawabku kesal. “ngelamun mulu dari tadi… Gue bilang, gue tau sapa Azkia yang lo maksud itu” seketika aku duduk tegak di kursiku. Alec terlihat puas dengan dirinya sendiri. Menyebalkan. “apa lo dapet informasi baru tentang dia?” tanyaku tak sabar. “nah, itu yang baru mau gue omongin…” aku memelototi Alec jengkel, memaksanya untuk segera bicara. “oke, oke… dia ketua Takmir sekolah ini, dia masuk kelas Acceleration. Artinya kalian bakal sekelas bulan depan” Alec tersenyum iseng. Aku mengedipkan mata beberapa kali, tak percaya. Aku? Sekelas dengan gadis yang selama ini mengganggu pikiranku? “sekarang dia di kelas apa?” tanyaku. “11 IPA 1” tanpa pikir panjang lagi aku keluar kelas untuk menemuinya. Setidaknya, aku ingin akrab dengannya walau tak mungkin bersamanya. Aku berlari meninggalkan ruang kelasku hingga ke koridor awal sebelum tikungan. Ragu-ragu kudekati pintu kelasnya. Tak lama, kulihat Azkia sedang menekuni buku di depannya dan sesekali menengok ke arah teman sebangkunya dan tersenyum. Aku bingung apa yang sebaiknya aku lakukan. Apa langsung aku sapa saja dia dari sini? Atau kuhampiri bangkunya terlebih dulu? Bagaimana kalau dia tak mengacuhkanku? Mau kuletakkan dimana mukaku? Tuhan, lakukan sesuatu… “sedang apa disini?” aku mundur selangkah ketika mendengar pertanyaan itu. Azkia! “eh, aku… mencarimu…” kataku kemudian. Azkia menilik ekspresiku dengan tenang. Melihat keseriusan dari raut wajahku. Dia tersenyum. “ada yang perlu kau bicarakan?” tanyanya. “nggak… aku cuma ingin mengobrol denganmu” jawabku canggung. Lagi-lagi dia tersenyum, lalu mengangguk. Azkia memperhatikan aku dengan seksama, menungguku bicara. Sial! Kenapa aku tak bisa berkonsentrasi disaat seperti ini… “Maaf… Ngomong-ngomong, nanti siang kamu ada acara nggak? Aku ingin makan siang bareng kamu…” aku bener-bener udah nggak waras kali ya? Mana mungkin dia akan terima tawaran bodohku ini… “baiklah… Dimana?” apa? Aku tak percaya mendengar kata-katanya barusan. Mustahil… “Reo?” lirihnya tak sabar. Aku diam sejenak sebelum menjawab. “eh, di kafe dekat perpustakaan umum? Aku tunggu kamu disana” kataku gugup. “bolehkah aku mengajak serta teman dekatku?” tanyanya lagi.“tentu saja…” jawabku ringan.“Oke. Sampai ketemu siang nanti, Reo…” ucapnya. “sampai ketemu juga… Makasih sebelumnya, Azkia…” dia tersenyum lagi padaku dan menggangguk. Kemudian masuk kembali ke kelasnya. Aku puas sekali hari ini.*** Setelah makan siang dengan Azkia sebulan yang lalu, kami jadi semakin akrab. Entah kenapa, perasaanku damai banget setiap dia ada di dekatku. Aku ingin tak peduli dengan perbedaan agama yang kita yakini, tapi aku juga tak bisa meninggalkan begitu saja aturan agama yang telah diajarkan kepadaku sejak lahir. Azkia sangat menghormati agamaku. Sebagai ketua takmir, dia tak pernah sekalipun menyinggung atau mencoba membuatku menyukai agamanya. Dia tak mengacuhkan sindiran orang-orang yang syirik padanya karena berteman akrab denganku. Malam ini aku berjanji pada Azkia akan membantunya membuat dekorasi mushola sekolah untuk peringatan datangnya Bulan Ramadhan. Aku tahu pasti apa yang dilakukan umat Islam pada bulan itu. Sampai sekarang aku tak habis pikir, mengapa mereka rela menyiksa diri sendiri hanya untuk menahan makan dan minum selama satu bulan penuh. “sebaiknya kamu pulang, kamu udah banyak membantu hari ini” Azkia tersenyum. Kubalas senyumannya. “kamu juga harus pulang kan? Butuh tumpangan? Sebenernya aku juga pingin tau dimana rumahmu” aku mengedipkan sebelah mataku. Azkia tertawa renyah melihatku. Suara tawanya, membuat perutku bergejolak menyenangkan. Gawat… “kalau kamu nggak keberatan? Aku mau sholat isya’ dulu…” lirihnya. Aku mengangguk dan mengikutinya sampai diteras mushola. Azkia segera beranjak untuk melakukan ibadahnya. Kusandarkan tubuhku kesalah satu tiang didekatku. Tersenyum dalam hati merasakan perasaan aneh ini. Rasanya sudah tak sanggup lagi aku memendam rasa cintaku padanya terlalu lama. Tapi aku juga tak ingin dia menjauhiku karena perasaanku ini. mungkin sebaiknya kusimpan saja dulu. Aku melirik kedalam mushola, dan kulihat Azkia bersembahyang dengan tenang. Kuamati gerakan yang dilakukannya dengan seksama. Semua gerakannya terlihat sangat anggun. Aku benar-benar tersihir dengan pemandangan di depanku. Belum pernah kulihat seseorang dengan raut wajah seikhlas itu. Kelembutan yang terpancar dari dalam hatinya membuat wajahnya seakan bersinar. Sebutir air mata membasahi pipinya ketika dia menengadahkan tangannya. Bisa kulihat kepedihan dari sorot matanya, seakan menuntut pertolongan yang tak kunjung datang. Azkia menangis pada Tuhannya… Begitu kulihat Azkia menyeka air mata dan melipat mukenahnya, aku kembali ke posisiku semula. Selama ini aku tak pernah tahu apa yang membuatnya begitu sedih. Yang kutahu, dia gadis ceria yang penuh sopan santun pada semua orang. Kudengar derap langkah pelan mendekatiku. Aku tahu itu Azkia. Ketika kulihat wajahnya, tak nampak sedikitpun bekas air mata dipipinya. Raut wajah kembali berseri seperti biasa karena senyuman yang selalu menghiasinya. “maaf lama menunggu…” katanya tersipu. “nggak apa kok. Pulang yuk?” jawabku seraya berdiri dan berjalan mendekati mobilku. Azkia menggangguk.
http://cerpen.net/cerpen-sadending/bolehkah-aku-mencintainya-tuhan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar