....Batu Hitam, tanah merah, air mata dan taburan bunga, saksi kepergianmu menuju kedamaian abadi........
****
Ada gelisah yang menerpaku senja itu. Tepat ketika desau angin memberi irama sendu pada dedaunan yang memayungi tubuhku, pun bunga bunga yang betebaran pada gunduk tanah merah masih tetap mencipta warna pada rasa jiwaku yang belum dapat mempercai kenyataan ini.
Ya, sebuah kenyataan pahit yang membawaku untuk menyadari bahwa Dea, seorang gadis yang pernah memberi satu cahaya pada setiap langkah dan hari-hariku, kini telah pergi.
“Sudahlah, Rey. Jangan kamu sesali kepergian Dea,“ Shanty menyentuh bahuku.
“Menyesal ?” gumamku bertanya lirih. Rasa sesal memang menusuki rongga-rongga bathinku saat ini. Namun bukan atas kepergiannya, aku hanya menyesal telah tidak berada dekat Dea di saat-saat kepergiannya. Sebab aku pernah berjanji untuk selalu ada untuknya. Ya, aku memang tidak pernah tahu, mengapa dan bagaimana Dea selama empat bulan belakangan ini. Jelasnya sejak aku pergi meninggalkan Dea di Bandung untuk menetap di Cilegon, sebuah kota kecil yang panas.
Bila sekarang aku berada disini, itu karena sepucuk surat kilat khusus dari Shanty yang kuterima kemarin sore seusai sholat ashar. Aku tak heran apabila Shanty mengetahui alamatku di Cilegon. Andri sahabatku di Bandung yang juga pacar Shanty, adalah satu-satunya orang yang mengetahui dimana sekarang ini aku tinggal, dan tidak sulit bagi Shanty untuk meminta padanya agar memberikan alamatku, ketika memang ia harus memberitahukan aku tentang kematian sahabatnya.
Sore kemarin kupegang surat Shanty.
Ada bimbang yang menyeruak masuk ketika dengan perlahan kutelusuri baris-baris kalimat dalam surat Shanty sore itu...
Rey...., gimana kabar kamu ? Moga sehat dan baek aja, ya! Oya, barangkali surat ini agak ngagetin kamu..
Tapi yang penting, kamu mesti tahu berita yang aku sampein lewat surat ini. Rey...Dea meninggal hari Senen kemarin di rumah sakit. Barangkali baru hari Selasa siang ini dimakamin. Rey, kamu bisa menerima kenyataan ini, kan? Semoga ! Ya, aku harap kamu bisa nerima semua ini. Aku rasa cukup segini, dan aku ngarepin kamu bisa dateng ke Bandung. Ada titipan dari Dea buat kamu.....
Rabu sore itu aku termangu.
Aku limbung dan tetap terdiam ketika kakakku menegurku.
“Ada apa, Rey ?” Tanya Kak Myrna ketika nampak olehnya raut wajahku berubah setelah membaca surat Shanty.
Aku hanya bisa menyerahkan surat itu padanya.
“Kamu harus kesana, Rey !” Kata kak Myrna kemudian setelah membaca surat Shanty, ”apapun yang pernah terjadi diantara kalian, kamu harus ke Bandung !”
Aku mengangguk lemah, seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi. Namun yang pasti, sore itu kurasakan sebagai senja yang hitam dalam hariku dan hari yang membubuhkan tangis di kering jiwaku.
Tatapanku menerawang.
Burung-burung gereja yang beterbangan seolah mengiringi rasa galauku. Ada mendung yang menggelayut pada awan. Ada matahari yang sendu bersinar, dan sepertinya, semua mengerti aku.
Aku kehilangan.
Prasasti asa yang terkoyak, tergelar lebar di dadaku. Crystal kasih yang tertanam disetiap sisi hatiku menangis.
Seusai maghrib hari itu aku menuju Bandung.
***
Dan senja ini aku disini, masih tetap menunduk dan membiarkan air mata menggenang. Biarlah, biarlah di atas kehampaanku kini terpampang jelas seulas senyum Dea. Senyum yang mengukir cinta kasih di setiap relung hati kepunyaanku. Senyum yang juga telah menciptakan getir pada setiap detik-detik yang acapkali menemaniku. Senyum yang menghempaskan aku.
Dalam kesadaranku yang masih mengambang, kusempatkan menggulir do’a. Ya, sebait do’a untuk seorang gadis yang telah membenamkan aku dalam lumpur kasih. Seorang gadis yang telah melahirkan cinta pada setiap tulang belulangku. Sekaligus seorang gadis yang pernah mengekang aku pada tonggak ketidakpastian dan memaksaku untuk memagar diri pada kekecewaan.
“Rey...”
Aku mendongak.
“Udah hampir maghrib, Rey. Kita pulang!” Shanty berucap pelan, “Biarkan Dea tenang disana.”
Aku mendesah. Ada yang membuatku tetap ingin terpaku di sini. Aku masih ingin menemani Dea, dan ini yang menghadirkan rasa engganku beranjak dari sini.
“Kamu pulang duluan, deh !” kataku pada Shanty, “Aku masih ingin menemani Dea barang sebentar.”
“Kasihan Dea, Rey. Dia pasti kecewa kalau kamu seperti ini. Dulu ia begitu bangga dengan ketegaranmu, nyatanya, kamu belum sanggup ngadepin semua ini. Kamu cengeng, Rey !
Aku yakin, Dea akan sedih melihat kamu seperti ini. Ayolah, Rey !” ajak Shanty lagi.
Aku tersudut. Kebimbangan menjerat jiwaku. Sementara masih ada rasa yang membawaku tetap ingin di tempat ini. Menikmati kepedihan yang sengaja merasuk bathinku.
“Rey !” Shanty menegur, “ayolah !”
“Mengertilah aku, Shan !” aku memotong berharap, “biarkan aku disini !”
Shanty mengangkat bahu.
“Baiklah, Rey.. Aku cuma mau ngasih tahu, kalau sekarang udah hampir maghrib dan kamu nggak bisa cuma diam saja disini.” Shanty melangkah meninggalkan aku, “ Oya, titipan Dea ada di dalam mobil, sebentar aku ambilkan.”
Aku mengangguk, dan masih dengan diam kucoba telusuri hari-hari kebersamaanku dengan Dea. Tetap kucoba ketika matahari senja menampakkan kelembutannya memancar jingga dan menuntunku pada titian waktu yang pernah kutempuh bersama Dea. Begitu manis kenangan itu berjalan disetiap relung ingatanku.
Senja ini aku mengenangnya, mengenang Dea dan hari-hari lalu.
***
“Hei, cowok dodol, mau kemana ?” suara yang kukenali menegurku, ketika baru saja menstarter bebek tua-ku. Aku menoleh dan kulihat Dea berlari kecil menghampiriku sambil mengancungkan sebuah majalah.
Aku tersenyum
“Halo cerpenis dodol, gimana ? udah terima honor dari redaksi ? Cerita kamu baru aja Dea baca, pasti kamu sendiri belum lihat. Iya, kan ? Nih !” gadis itu menyerahkan majalah yang diacungkannya tadi.
Aku menerima dan kubuka lembaran pertama.
“Halaman duapuluh satu,” Dea memberi tahu tanpa kuminta, “Bagus lho ceritanya. Cuma, kapan dong acara traktirnya?”
Aku tersenyum seraya membuka halaman tersebut, “kan baru dimuat, jadi honornya belum aku terima dong!”
“Yaa..payoyeh !” Dea cemberut.
Aku menggeleng tersenyum sambil kuacak rambut Dea.
“Mau di mana ?” aku menawarkan seraya mengembalikan majalah tersebut pada Dea.
“Siiiplah ! CFC Merdeka, gimana ?”
Aku mengngguk, “Ya udah naek !”
Dea tersenyum manis sambil menaiki sadel bebek tua-ku, “pelan-pelan ya, Rey !”
Kujalankan sepeda motorku meninggalkan pelataran parkir sekolah untuk menembus Jalan Ir. H. Juanda menuju Jalan Merdeka.
Kelincahan dan kekonyolan Dea membuat aku sulit untuk menutupi rasa sayangku padanya. Itulah kenapa aku seringkali tidak ingin mengecewakannya. Dea begitu baik, segala perhatiannya padaku selama ini, telah menumbuhkan benih-benih rasa yang terpatri halus dalam ruang jiwaku. Namun sampai satu setengah tahun ini dekat dengannya, aku belum mampu mengutarakan satu kata yang tersimpan di sudut hatiku. Aku begitu takut, padahal aku tahu, tidak ada seorangpun yang khusus dalam keseharian Dea selain aku. Namun keyakinan itu hanya sebatas rasa, tanpa ada sebutir asa yang mampu memecahkan karang kokoh di jurang keraguanku akan kasih yang Dea tawarkan.
Barangkali ini bukan tanpa alasan, sebab telah banyak waktu yang kulalui bersama Dea, tapi tidak pernah juga ada sisi cinta yang terucap lewat kisah-kisah Dea setiap kali aku mencoba menyinggungnya. Keceriaan dan kelincahan Dea seolah sirna apabila aku mulai mencoba mencari kalimat untuk menelusuri bias-bias cinta pada hatinya. Keceriaannya segera berganti kemuraman yang menggelayuti wajah manisnya. Binar mata indahnya akan pudar ditelan sinar sendu yang terpancar dari sorot matanya, dan jika sudah seperti itu, selalu saja ia terdiam. Dan jujur, aku tak ingin Dea seperti itu.
“Kok, kamu diam aja, Rey ?” tiba-tiba suara lembut Dea menghamburkan gelisahku, “Ngelamunin siapa ?”
“Ngelamunin siapa, ya ?” kataku pura-pura bingung setelah kukembalikan kesadaranku.
“Kamu ini aneh, Rey?”
“Kenapa ?”
“Kok kamu nggak tau, sih !”
“Apa ?”
“Yang kamu lamunin tadi ?”
“Oooh...” jawabku seraya mengurangi laju bebekku.
“Cewek, ya ?”
“He eh.. “ santai kujawab pelan.
Dea terdiam, mendadak pertanyan-pertanyaannya menguap, hingga perlahan kurasakan tangannya mulai terlepas dari pinggangku.
“Kamu tahu siapa cewek itu ?” tanyaku menetralkan keadaan.
“Nggak !” jawab Dea enggan.
“Kamu..!” jawaban itu sebenarnya yang ingin aku teriakkan, namun bibirku mengucap,” Mpok Atik !”
Dea tertawa keras sambil meyubit pinggangku dan kembali melingkarkan tangannya disana, sepertinya ia lega mendengar jawabanku. Aku pun senang ia kembali seperti itu.
Dea yang manis dengan wajah lembut dan selalu kupanggil Bidadari mata indah itu, adalah gadis yang setiap saat memberi inspirasi pada cerita-cerita yang kutulis. Itulah sebabnya sebongkah cinta dalam jiwaku tersimpan pada ketulusan hati putih milik Dea.
Seminggu berlalu dari saat itu. Dan bersamaan dengan waktu yang berjalan, aku masih mencoba meniti hari dalam ketidakpastian yang mengombang-ambingkan perasaanku. Tetap berdiri pada ujung tonggak keraguan yang menjerat asa di sendi-sendi jiwaku. Hingga kemudian akhirnya, timbul desakan-desakan halus untuk melepaskan segala rasa yang sekian lama mematung di jantungku, pada gadis manis yang malam itu duduk dihadapanku.
“Apa yang mau kamu omongin sama aku, Rey ?”
Aku masih ragu.
Keberanian yang aku kumpulkan sejak di rumah seolah lenyap oleh pertanyaan Dea waktu itu.
Ya, apa yang ingin aku bicarakan ? Cinta ? Lantas mengapa aku masih kelu dalam diam, what’s wrong with me? Kenapa aku tidak terus terang saja, bukankah cinta itu soal hati ?
“Ngomong dong, Rey !” Dea mendesak.
Lagi-lagi aku hanya bisa diam dengan mencoba menatap mata indahnya, lalu kutundukkan kepala seraya kuperhatikan jari-jari tanganku yang mulai sibuk mengetuk-ngetuk meja.
“Kamu mau maen piano ?” Dea bergurau, mencoba menghilangkan ketegangan yang menyusup pada suasana Sabtu malam di serambi rumahnya.
Aku menghentikan gerak jariku sambil kembali menatap matanya, “Kamu manis, De !”
Dea tertawa kecil, “ jadi, kamu cuma mau ngomong itu, Rey ? kamu ini lucu, kan udah sering kamu ngomong kayak gitu, tapi kamu nggak pernah bingung seperti ini, Rey !?”
“Masalahnya....eemh..” aku terdiam.
“Kenapa, Rey ?”
“Masalahnya, eengh..., aku bukan cuma mau ngomong itu.”
“Lantas ?” tanya Dea lagi.
“emh..., gimana, ya !?”
“Lho, kamu ini kenapa sih, Rey !?” Dea heran dengan tingkahku malam itu.
Aku meraih gelas yang isinya masih utuh. Kuteguk air jeruk itu, lalu...
“Kamu nggak marah kalau aku ngomong sesuatu yang lain ?” tanyaku akhirnya.
Dea kembali tertawa, “ Rey, Rey, apa pernah aku marah sama kamu?”
Aku menggeleng.
“Jadi...?”
“Aku Cuma mau ngomong, kalau selama ini aku suka sama kamu. Maksudku, aku pengen kamu jadi pacarku,” ucapku akhirnya dan kurasakan seperti baru saja terlepas dari beban berat yang menghimpitku.
Dea mendadak diam.
Aku gelisah, kupandangi wajah Dea, tampak olehku butir bening mengambang di kedua mata indahnya.
Ah, ada rasa sesal yang datang ketika aku coba menunduk.
Beberapa detik diam berlalu.
Kembali aku mengangkat wajah untuk menatap wajah Dea yang masih diam terpaku.
“Kamu kenapa, De ?” kikuk kupaksakan bertanya.
Kepala Dea menunduk.
“Kamu marah ?” tanyaku lagi pada Dea.
Dea menggeleng.
“Lalu ?”
“Aku,..ngh..” kali ini isaknya terdengar, “aku, aku nggak bisa Rey..”
Aku terkesiap.
“Maafin aku Rey. Aku belum bisa untuk itu.”
Aku terdiam, tak percaya.
“Kamu mau maafin aku kan Rey?” menyesal sekali nadanya.
Aku menggeleng, “nggak ada yang perlu dimaafin, De, nggak sama sekali. Kamu nggak salah !”
Dea menggigit bibirnya, tangisnya tumpah karena tak mampu Dea tahan. Sementara aku tetap memilih diam.
“Kalau begitu aku pulang dulu ya, De.” Kataku seraya bangkit, “ oya, terimakasih buat hari-hari kita yang pernah ada ya, De.”
“Rey ?!” Dea memandangku terkejut.
“Aku tetap sayang kamu, De !” kataku tersenyum meyakinkan Dea sambil mengacak rambutnya dan mendekapkan kepalanya ke dadaku.
“Aku pulang ya, De !”
Dea mengangguk lemah, sambil tetap memandangku.
Entah kenapa, setelah malam itu aku merasa kehilangan sesuatu. Kelincahan dan kekonyolan Dea tidak lagi kutemui pada setiap hari-harinya. Keriangan dan keceriaannya sudah tidak lagi kujumpai di sekolah, bahkan di rumah. Dan aku merasa telah mematahkan tiang-tiang kebahagiaannya.
Kerengganganku dengan Dea saat itu membuatku merasa bersalah, dan rasa bersalah itu pulalah yang membuatku harus melakukan sesuatu. Ya, bagaimanapun Dea harus kembali seperti sebelumnya, kembali kedalam keceriaannya, dan untuk mengembalikan semua itu, maka kuputuskan untuk pergi meninggalkan Bandung, meninggalkan semua cerita kebersamaanku dengan Dea, demi kebahagiaannya, agar Dea tidak lagi canggung mengembalikan keriangan, kekonyolan dan kelincahannya.
Cilegon, kota kecil inilah yang kupilih untuk menghapus segala harapan dan kebahagiaanku bersama Dea, seorang Dea yang dengan pancaran kasih tulusnya telah memaksaku membentur kenyataan, bahwa hatinya tak menyimpan cinta...
***
“Rey, kamu masih ngelamun ?” Shanty memecah diamku.
Aku menoleh, kulihat sesuatu di tangan Shanty, sebuah bungkusan berwarna biru. Inikah titipan itu ?
“Rey, beberapa hari sebelum Dea meninggal, ia memberikan ini padaku, dan Dea pesan agar bungkusan ini aku kasih buat kamu. Dea bilang, ada sesuatu yang bisa bikin kamu mengerti disini,” ucap Shanty seraya menyerahkan bungkusan itu padaku.
Aku menerima, kemudian kutatap Shanty.
Shanty mengangguk.
Ada getar yang menjalari tanganku ketika kucoba membuka bungkusan itu..
Sebuah buku harian, foto album serta sepucuk surat !
Aku menyentuh perlahan benda-benda itu, pelan-pelan kulihat foto-foto yang terpampang dalam album, foto-foto kebersamaanku dengan Dea, dan masih dengan perlahan kucoba membuka dan membaca surat bersampul coklat muda itu...
Buat kamu Rey..
Rey yang baek, barangkali Dea udah nggak ada pas kamu baca surat ini. Terus terang Rey, sebenernya Dea pengen kamu tetep deket Dea. Itulah kenapa Dea sedih waktu kamu ninggalin Dea tanpa salam.
Rey, Dea pengen kamu tau perasaan Dea selama ini sama kamu. Kalau Dea boleh jujur, sebenernya Dea ngerasa seneng yang nggak kepalang waktu kamu bilang kamu pengen jadi pacar Dea.
Sungguh, Rey, ternyata perasaan Dea selama ini nggak bertepuk sebelah tangan. Tapi Dea sadar, hal itu nggak boleh terjadi.
Kamu tau kenapa, Rey ? Selama ini Dea nggak pernah cerita sama kamu, sebab Dea nggak mau dikasihani karena semua itu. Rey, leukemia yang bersarang di tubuh Dea, bikin Dea takut untuk mencintai dan dicintai kamu. Rey, kamu bisa ngerti, kan ? Dea harap begitu.
O iya Rey, benda-benda yang aku kasih ke kamu, adalah rasaku atas kamu. Lewat semua itu, Dea pengen kamu tetap mengenang seorang Dea yang tulus mengasihi kamu.
Sekali lagi Dea minta maaf udah ngecewain kamu, dan Dea Cuma bisa bilang, Selamat tinggal dan kenanglah Dea disetiap hembusan nafasmu.
Dea
Ah, kenapa mesti sekarang kamu beritahu aku, De ? kenapa ? apakah kamu tidak merasakan ada yang tersiksa disini, di dadaku ?
Ada galau yang menerpaku senja itu, tepat setelah membaca surat terakhir Dea. Sepertinya tidak ada lagi yang dapat kuperbuat selain diam dan menyesali diri. Sungguh, aku telah kehilangan kata-kata bila harus mengurai perasaanku saat ini.
Aku hanya bisa bersimpuh dan mencoba merengkuh pusara hitam yang kokoh terpancang di tanah merah bertabur bunga.
Aku menangis.
“Sudahlah, Rey !” Shanty merengkuh bahuku.”Percayalah, Dea sudah tenang disana.”
Aku berdiri, mencoba menatap langit yang kini mulai tersapu awan hitam, kemudian melangkah seiring gema adzan maghrib dan meninggalkan hening sunyi pekuburan ini, sambil tetap kusempatkan berucap lirih...
“Selamat jalan, Dea. Semoga kedamaian senantiasa Tuhan berikan untukmu, sementara biarlah cintaku terpatri disini,
“ya, disini, di sisi pusaramu !”
****
http://cerpen.net/cerpen-cinta/di-sisi-pusaramu.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar