Cari Blog Ini

Sabtu, 06 Agustus 2011

Kasih Ramadhan

Aku paling suka jika bulan ramadhan tiba. Selalu kunanti-nantikan bulan paling mulia itu, dimana seluruh amalan kita akan dilipatgandakan oleh Yang Maha Kuasa. Tapi lebih dari itu, aku menyukai kebiasaan-kebiasaan warga di kampungku yang hanya terjadi pada bulan ramadhan.Dini hari sekali ibu sudah membangunkanku. Aku yang biasanya baru bangun pukul lima pagi merasa berat untuk membuka mata. Kutarik lagi selimut untuk menutupi tubuhku, mencoba mencari kehangatan di antara dinginnya angin malam yang menusuk. Kata ibu, khusus bulan ini aku harus bangun lebih pagi, pukul setengah tiga. Tapi aku tak bisa melawan kantuk yang menguasaiku. Dengan sabar ibu terus membangunkanku, bahkan sedikit memaksa. Setelah separuh kesadaranku utuh ibu akan menuntunku menuju kamar mandi, dengan mataku masih terpejam. Ibu membantuku mengambil air wudhu, membasuh wajahku sampai kantukku lenyap.“Dingin...” rengekku.“Tak apa, nanti juga biasa,” bujuk ibu.Air wudhu selalu ampuh untuk membangunkanku sepenuhnya. Setelah itu aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku berjalan menuju ruangan tempat keluargaku sholat berjamaah. Di sana ayah sudah menungguku. Menyadari kedatanganku ayah menoleh dan tersenyum, lalu melanjutkan bertasbih. Aku suka jika ayah tersenyum, sesuatu yang hangat menyusup pelan di hatiku. Aku bergegas mengenakan mukenah lalu mengambil duduk di belakang ayah. Sebentar kemudian ibu menyusul, wajahnya basah. Kami lalu sholat tahajud berjamaah.Setelah itu kami bertiga makan sahur. Seperti biasa ayah memimpin doa. Lauk makan kami sederhana, hanya makanan sisa semalam yang sudah dihangatkan. Kadang ibu menambahkan mie rebus dan telur ceplok kalau lauknya terlalu sedikit. Aku tidak bisa membayangkan sejak kapan ibu menyiapkan semua ini. bagiku bangun jam setengah tiga sudah terlalu pagi. Lalu bagaimana dengan ibu yang telah bangun lebih dulu? Menyiapkan makan sahur untukku? Dan menghabiskan beberapa menit untuk membangunkanku? Aku tak bisa membayangkan akan jadi apa aku jika memiliki ibu selain ibuku yang luar biasa ini.Ayah tidak akan membiarkanku tidur lagi selesai sahur. Kadang ayah mendongengiku cerita nabi-nabi yang sangat kusukai. Aku paling suka kisah Nabi Sulaiman yang istananya terbuat dari kaca dan emas. Kadang kami hanya duduk menonton acara sahur yang banyak ditayangkan stasiun televisi pada bulan ramadhan. Apapun untuk mengalihkanku dari tidur. Semua ini dilakukan ayah agar bisa mengajakku sholat Subuh berjamaah di masjid. Sungguh ayahku adalah seorang yang religius.“Jangan membiasakan tidur lagi sehabis sholat Subuh. Nanti Allah tidak akan memberikan rezekiNya buat Adek,” begitu ayah selalu menasihatiku. Maka selepas Subuh ayah akan mengajakku jalan-jalan. Tak perlu jauh-jauh, dengan penuh sayang ayah menggandeng tanganku berkeliling kampung. Menghirup udara pagi yang masih segar dan menyaksikan detik-detik matahari akan terbit. Kadang ibu juga turut serta.Ternyata bukan hanya ayah yang berpikiran seperti itu. Banyak warga di kampungku yang jalan-jalan Subuh bersama keluarga maupun teman. Beberapa anak laki-laki bermain mercon untuk mengagetkan yang lain. Benar-benar Subuh yang semarak di bulan ramadhan.Aku akan ikut ayah dan ibu ziarah wali songo. Asik... jalan-jalan. Bagi ayah dan ibu ini adalah perjalanan sakral, ziarah ke makam para penyebar agama Islam. Tapi yang ada di pikiran anak usia tujuh tahun kala itu selain ziarah artinya rekreasi? Sangat menyenangkan. Tak sabar rasanya aku menunggu hari Jumat tiba. Bukan makam-makam yang kunantikan, sungguh bukan itu.aku justru lebih menikmati perjalanan dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Melihat pemandangan yang berupa-rupa eloknya. Aku selalu terkagum-kagum-kagum menyaksikan pohon dan rumah-rumah melompat minggir dan menjauh saat mobil yang kukendarai lewat. Lucu sekali.Tapi sungguh malang. Pakaianku sudah dikemas, besok tinggal berangkat.tapi tiba-tiba malam sebelum berangkat badanku panas. Tidak terlalu parah memang, tapi mampu membuat acara berpergianku batal.“Biar ayah saja yang pergi. Adek ibu yang jaga,” ibu mengompres keningku dengan air es. Sejuk.Aku diam saja, merasa lemah sekaligus marah karena sakitku yang datang tidak pada waktunya.“Nggak usah dibatalkan toh, Bu. Ini kan ibadah,” kakakku Anisah masuk ke kamar. “Ibu berangkat saja sama ayah. Nisah kan libur, biar Nisah yang jaga adek di rumah.”Kak Anisah adalah satu-satunya saudara yang kumiliki. Jarak usia kami terpaut sepuluh tahun. Tapi karena sama-sama perempuan menjadikanku dan Kak Nisah dekat. Kak Nisah bersekolah di madrasah yang ada di luar kota. Sebulan sekali kakak pulang. Saat ini Kak Nisah ada di rumah karena sekolahnya libur menjelang hari raya.Aku tahu ibu belum pernah ziarah wali songo. Saat ini ibu pasti ingin sekali bisa ikut pergi bersama rombongan yang lain. Tapi ibu berat meninggalkanku.Aku tidak boleh mengecewakan ibu, tekadku. Dengan mengusahakan senyum aku mencoba ikhlas membiarkan ibu dan ayah jalan-jalan tanpa aku. Ibu tahu maksud senyumku itu. Sorot matanya penuh terima kasih saat menatapku. Kecewaku sedikit terobati.Esoknya, ibu dan ayah sudah bersiap akan berangkat. Panasku sudah turun, hanya masih lemas. Tidak seperti biasanya saat akan pergi, ibu rasanya berat sekali akan pergi. Mungkin karena ibu dan ayah akan pergi beberapa hari sedang aku baru saja sembuh dari sakit.“Adek nggak boleh nakal ya. nurut sama kakak. Ingat, puasanya nggak boleh batal lho,” pesan ibu sambil menjawil ujung hidungku.“Jangan lupa juga, sholat tepat waktu,” imbuh ayah. “Nggak boleh males-malesan meski ibu dan ayah tidak di rumah,” ayah lalu menoleh ke Kak Nisah, “Jaga adek ya, Kak.”Aku mengantarkan ayah dan ibu ke depan. “Adek minta oleh-oleh apa?”“Mm...” aku berpikir sebentar, “Adek minta dibeliin barbie ya, Bu. Yang rambutnya puanjang,” kurentangkan kedua tanganku lebar-lebar.Ibu tersenyum melihat tingkahku. “Iya iya. Insya Allah ibu belikan.”Aku dan Kak Nisah lalu mencium tangan ayah dan ibu.“Hati-hati di jalan, Yah, Bu,” kata Kakak.Dari pagar rumah kusaksikan mobil carteran yang dinaiki ayah dan ibu berangkat. Kulihat Kak Nisah meneteskan air mata, tapi buru-buru menghapusnya. Entah mengapa aku juga merasakan kesedihan yang luar biasa.Tiga hari setelah itu. Seharusnya ayah dan ibu sudah sampai di rumah. Tapi nyatanya barbie yang kupesan tak ibu belikan. Karena ayah dan ibu tak pernah pulang. Kak Nisah tak pernah melepaskan pelukannya dariku. Air matanya terus berurai setelah dua polisi yang mendatangi rumahku pergi. Aku marah pada polisi yang telah membuat kakakku menangis. Tapi apa yang bisa dilakukan anak kecil sepertku ketika menghadapi orang dewasa yang tampangnya menyeramkan itu? Tidak ada. Aku hanya mematung sementara Kak Nisah memelukku. Terus kupandangi ujung jalan tempat ayah dan ibu dulu berangkat. Karena aku yakin, dari sanalah nanti ayah dan ibu pulang. Aku terus menunggu...Aku tergeragap. Adzan Subuh dikejauhan membangunkanku dari mimpi buruk. Kuraih jam beker di samping ranjangku. Pukul setengah lima. Duh...  lagi-lagi aku nggak sahur. Inilah nggak enaknya jadi anak kos, semuanya serba sendiri. Nggak ada Kak Nisah yang selalu membangunkanku untuk makan sahur. Syukurlah semalam sebelum tidur aku sudah berniat puasa.Kusingkap selimut yang membungkus kakiku, lalu berjalan ke kamar mandi mengambil air wudhu. Dingin. Tapi aliran air wudhu selalu mampu membangunkan sel-sel otakku yang masih tertidur.“Tak apa. Nanti juga biasa...”Kudengar suara lembut seorang wanita di telingaku. Aku tersenyum dan semakin memantapkan niat. Setelah itu aku kembali ke kamar. Kugelar sajadahku.“Berdoalah, Nak. Maka Allah akan mengabulkan doa-doamu...”Kali ini suara laki-laki yang kudengar. Begitu lembut dan penuh kasih. Sosok yang tak pernah berhenti kurindukan meski telah dua belas tahun berselang. Tak kuasa air mata meleleh dalam sujudku.“Ya Allah...di sini aku bersimpuh mengharap pertolonganMudua malaikat yang Kau utus menjagakutelah Engkau panggil, ya Allahmaka tak ada lagi tempat aku mengharap kasihselain hanya padaMuYa Allah...berikanlah surga terbaikMu untuk edua orang tuakuhamba-hambaMu yang tak pernah lalaimengerjakan perintahMuYa Rabb...ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuakukasihanilah mereka sebagaimana mereka mengasihaniku dulu
Allahummagh fir lii wa liwaalidayyawarhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa
Amin...”

http://cerpen.net/Cerpen-islami/kasih-ramadhan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar