Cari Blog Ini

Sabtu, 06 Agustus 2011

Tuhan, Kutitipkan Salam Cinta Untuknya…

Sinta duduk terdiam mememandangi layar ponselnya yang berkali-kali menyala. Panggilan masuk pada ponsel tidak ia gubris sama sekali. Sesekali ia memejamkan mata dan menggigit bibir mungilnya. Sinta bingung dengan situasi yang sedang ia hadapi. Lelaki itu membuat hidupnya dipenuhi kepura-puraan demi menjaga image-nya. Namun, hatinya tak bisa berkilah dari kenyataan yang ada. Sinta sebenarnya tak dapat memungkiri cintanya pada laki-laki itu, tetapi sisi gengsinya muncul tatkala ia teringat akan nasihat dan cemoohan teman-temannya yang tak menginginkan gadis semanis dan secerdas Sinta menambatkan hatinya kepada laki-laki itu. Tangis Sinta pun pecah tak terbendung lagi.                             ♥♥♥    Subuh sebentar lagi menghampiri seluruh wilayah kota Yogyakarta. Sementara itu, Sinta masih terlelap dalam tidurnya. Tubuh rampingnya berbalut piyama becorak batik khas Yogyakarta. Rambut panjang menutupi sebagian pipi kanannya yang merekah bagai kue bakpao yang masih hangat. Di samping Sinta terlihat Dian yang tidur mendengkur dengan dekapan guling pada kedua tangannya. Malam itu Sinta menginap di kost Dian karena mengerjakan tugas kuliah yang dikerjakan secara berkelompok.     “Kau buat aku bertanya. Kau buat aku mencari tentang rasa ini aku tak mengerti. Akankah sama jadinya bila bukan kamu. Lalu senyummu menyadarkanku. Kau cinta pertama dan terakhirku…”. Suara merdu Sherina dengan lagunya berjudul ‘Cinta Pertama dan Terakhir’ menjadi nada panggil ponsel milik Sinta yang tergeletak di sebelah kanannya. Volume nada panggil itu keras sekali sehingga seketika langsung membangunkan Sinta yang tengah tertidur lelap. Sinta segera meraih ponsel kesayangannya dan tanpa melihat nama penelpon pada layar ponsel, Sinta langsung mengangkat telepon itu.    “Assalamu’alaikum…,” ucap Sinta dengan suara khas orang mengantuk.“Wa’alaikumsalam. Pun tangi dereng sampean…? (Kamu sudah bangun belum?),” jawab orang itu dari seberang sana.Mendengar suara itu, mata Sinta yang tadinya masih setengah terpejam langsung terbelalak dan tubuhnya beranjak dari kasur tidurnya. Lampu di kamar kost masih padam. Di luar sana matahari belum menampakkan sinar cantiknya. Sebelum berbicara lebih lanjut, Sinta melihat layar ponselnya untuk memastikan orang yang sedang menelepon dirinya. Mata Sinta menyipit lantaran cahaya dari layar ponsel yang menyilaukan. Pada layar ponselnya waktu menunjukkan pukul 03.45 dan nama penelepon yang muncul pada layar ponsel Sinta adalah…Lukman.“Oh…eh…nggih, Mas (iya, Mas). Ini baru bangun. Eeem…pagi-pagi kok udah telepon? Ada apa ya, Mas?”“Mboten napa-napa (tidak apa-apa). Tak kira sudah bangun,” jawab Mas Lukman dengan santai.Sinta gugup setengah mati begitu suara Mas Lukman mengalir di antara daun telinganya. Ia bingung harus berkata apa setiap kali lelaki itu menelepon dirinya. Sinta hanya mampu berdiam. Namun kali ini, sepertinya Sinta harus mampu berbicara dengan Mas Lukman.“Pripun? Mawar merahè taksih disimpen ta? (Bagaimana? Mawar merahnya masih disimpan kan?) ,” tanya Mas Lukman kepada Sinta yang masih diam membisu.    Mendengar pertanyaan itu, hati Sinta menjadi semakin tak karuan. Ia mendadak menjadi bertingkah aneh. Tangannya mengepal dan kakinya menghentak-hentak ke lantai  tanpa arti. Suasana pagi yang menyejukkan badan tak membuat tubuh Sinta merasakan kesejukkan itu. Suhu tubuhnya menjadi panas dan sedikit demi sedikit keringat keluar dari pori-pori kulit putihnya.“Nggih, Mas…. Mawarè taksih kula simpen (Iya, Mas. Mawarnya masih aku simpan).”    “Berarti saya sudah benar diterima kan?”“Aduh, Mas. Bukannya tadi malam udah kujawab lewat SMS. Mawar merahè sampun kula tampi kan? (Mawar merahnya sudah saya terima kan?),” jawab Sinta gugup.    “Ya sudah kalau masih disimpan. Makasih ya, Dik sayang….”    Deg. Dik  Sayang? Mas Lukman panggil aku ‘dik sayang’? Apa itu artinya dia menganggap aku sebagai…. Oh, gak mungkin! Tadi malam itu aku kan cuma bercanda. Aku cuma iseng kirim SMS itu ke dia. Terus dia membalas SMSku dengan jawaban ‘mawar merah’.    Batin Sinta semakin berkecamuk setelah Mas Lukman memanggil dirinya dengan  ‘dik sayang’. Jujur dari dalam hatinya, ia senang Mas Lukman memanggil dirinya seperti itu, namun di sisi lain hatinya ia paksa untuk menolak panggilan itu. Tiba-tiba Sinta merasa bersalah pada dirinya sendiri. Ia merasa bodoh telah mengirim SMS itu kepada Mas Lukman. Tadi malam, Sinta mengirim SMS untuk Mas Lukman yang berisi ‘Mawar item buat musuh, mawar kuning buat teman periang, mawar pink buat teman baik, mawar putih buat orang yang kamu sayang, mawar merah buat orang yang kamu cinta. Terus, mawar mana yang mau kamu kirim ke aku?’. Niat Sinta mengirim SMS seperti itu untuk Mas Lukman hanya iseng. Akan tetapi, keisengan Sinta berdampak “petaka” bagi dirinya. Tanpa disangka-sangka, Mas Lukman membalas pertanyaan SMS Sinta itu dengan jawaban yang membuat Sinta tak mampu berkata apa pun. Mawar merah. Itulah jawaban pertama Mas Lukman. Awalnya, Sinta merasa jawaban SMS Mas Lukman itu hanya bercanda. Sinta lantas membalas SMS Mas Lukman dengan ucapan terima kasih. Sinta berpikir bahwa setelah ia mengucapkan terima kasih, Mas Lukman tidak akan membalas SMSnya lagi. Namun, kali ini dugaan Sinta meleset.     Tiba-tiba Mas Lukman masih membalas SMS Sinta dengan mengajukan sebuah pertanyaan untuknya. Pertanyaan Mas Lukman itu sangat mengejutkan hati Sinta. Ia terkejut lantaran ia bingung untuk menjawab pertanyaan itu. ‘Kula dereng pernah kasih mawar merah kagem cewek. Kula takutè ndak ditolak. Lha nek sakniki pripun? Ditolak napa mboten? (Saya belum pernah memberi mawar merah buat cewek. Saya takutnya kalau ditolak. Lha kalau sekarang bagaimana? Ditolak apa tidak?)’. Begitulah isi pertanyaan dari Mas Lukman. Sinta bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Ia takut jika ia menjawab ‘diterima’, Mas Lukman akan beranggapan bahwa Sinta menerima cintanya. Namun, jika ia menjawab ‘tidak diterima’, Sinta takut Mas Lukman akan kecewa. Begitu juga dirinya. Tanpa ia sadari, rupanya telah tumbuh benih cinta dalam hati Sinta untuk Mas Lukman.  Namun, Sinta mencoba membuang rasa itu.    Lama Sinta berpikir untuk mencari jawaban yang tepat. Hati dan pikirannya tidak dapat menyatu. Tak disangka, setelah cukup lama Sinta berpikir mencari jawaban, ia malah melempar balik sebuah pertanyaan untuk Mas Lukman. ‘Mas, misalnya mawar merah itu aku terima gimana?’. SMS terkirim menuju nomor Mas Lukman dan Sinta akan tahu jawaban selanjutnya dari Mas Lukman. Sinta berharap jawaban dari Mas Lukman membuat dirinya sedikit lebih tenang.     Grrrrrrrttt…! HP Sinta bergetar pertanda ada SMS masuk. SMS itu adalah jawaban dari Mas Lukman. Sebelum membuka jawaban SMS itu, sesaat Sinta menggenggam erat ponselnya. Perlahan ia membuka isi SMS itu dan membaca dengan hati-hati. Sinta tampak memahami isi SMS itu dan tiba-tiba wajahnya menunjukkan raut kegelisahan yang semakin menjadi. Jawaban SMS dari Mas Lukman menyatakan bahwa dia akan bahagia dunia akhirat jika Sinta mau menerima mawar merahnya dan juga sebaliknya. SMS dari Mas Lukman membuat hatinya sedikit tergoda dan sedikit luluh. Kini Sinta tak tahu lagi akan menjawab apa. Tanpa berpikir lebih jauh, akhirnya Sinta memutuskan untuk menerima mawar merah dari Mas Lukman. Sinta mencoba berpikir sederhana. Ia pikir bahwa itu hanya permainan iseng. Tidak akan mempengaruhi sisi lain dunia asmaranya. Akan tetapi, perkiraan Sinta meleset lagi. Mas Lukman justru semakin membuat Sinta bingung.    Mas Lukman tak henti-hentinya “menggiring” Sinta untuk membahas mawar merah itu. Sinta tak menyangka bahwa Mas Lukman kali ini akan menanggapi serius SMS iseng darinya. Kali ini, Mas Lukman membuat pernyataan “gila” dan membuat Sinta tak mampu berpikir lebih jernih. Pikiran Sinta bagaikan benang ruwet yang tak mudah untuk diluruskan. Alis tebal Sinta naik ke atas ketika ia membaca SMS Mas Lukman yang berisi ‘Hainggih yang diterima cuma mawar merahè tapi gak maw nerima sayang&cintanè ta? (Iya yang diterima Cuma mawar merahnya, tapi tidak mau menerima sayang dan cintanya, kan?)’. Skak! Mati gaya Sinta kali ini. Sekarang ia tak bisa lagi mencari jawaban. Sinta melirikkan matanya ke arah Dian yang masih tertidur pulas. Wajah manisnya menampakkan raut kebingungan yang mendalam.    Sinta mencoba untuk tenang. Pikiran ruwetnya ia coba untuk diluruskan kembali. Ia menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. Setelah melakukan penenangan diri, Sinta mulai berani menghadapi kenyataan pada awal hari itu. Jari Sinta menyentuh keypad ponsel dan tanpa berlama-lama lagi ia segera merangkai kalimat yang mewakili hati dan pikirannya. ‘ Mas, kula sampun terima mawar merahè. Kalau masalah menerima sayang dan cinta, semua orang kula terima sayang dan cintanè. Kula sayang dan cinta kalih orang-orang sing cinta dan sayang kalih kula’ (Mas, aku sudah menerima mawar merahnya. Kalau masalah sayang dan cinta, semua orang aku terima sayang dan cintanya. Aku sayang dan cinta dengan orang-orang yang juga cinta dan sayang sama aku). Begitulah jawaban yang keluar begitu saja dari hati dan pikirannya. Sinta tak peduli apakah jawaban itu benar untuk dia atau malah sebaliknya.    Belum lama setelah Sinta membalas SMS untuk Mas Lukman, tiba-tiba Mas Lukman sudah mengirim SMS balasan untuk Sinta. ‘ Ah, cepat sekali dia balas SMSku.’ Pikir Sinta. Perlahan Sinta membuka isi SMS balasan dari Mas Lukman.    ‘ Dik sayang, mau tidak nerima cinta kula? ( Dik sayang, mau tidak menerima cinta saya?). Membaca isi balasan SMS dari Mas Lukman yang seperti itu, hati Sinta mendadak menjadi gugup. Ia tak mengerti tentang perasaan yang ia alami saat ini. Aneh sekali. Detak jantungnya berdegup kencang. Sinta bertekad untuk menyudahi SMS dengan Mas Lukman, tetapi hati kecilnya menginginkan dirinya untuk menjawab pertanyaan dari Mas Lukman itu. Sinta menundukkan kepala di antara kedua lututnya yang ditekuk. Ia mencoba untuk berpikir.    ‘ Bagaimana bisa seorang Mas Lukman mencintai gadis seperti aku? Apa yang membuat dia cinta padaku? Aku ini hanya gadis biasa yang menurutku sama sekali tidak pantas jika bersama Mas Lukman. Lagipula, di Magelang sana pasti banyak gadis yang lebih baik dan lebih santun daripada aku. Memang seperti apa sosok diriku di mata Mas Lukman? Apa yang dia cari dari aku?’    Tanpa berpikir panjang, semua pertanyaan yang timbul dari hasil berpikir Sinta itu langsung ia tanyakan kepada orang yang bersangkutan. Ponsel ia raih dan jari-jemarinya memainkan keypad dengan cepat. Sinta sangat penasaran dengan jawaban dari Mas Lukman. Apa yang sebenarnya Mas Lukman cari dari Sinta? Beribu tanda tanya bermunculan dalam benak Sinta.    ‘ Sampean memenuhi syarat yang kucari. Sampean baik hartanè, cantiknya, keturunanè, & taat agamanè, type cwok setia&baik ga mungkin kan ke lain hati (Kamu memenuhi syarat yang kucari. Kamu baik hartanya, cantiknya, keturunannya, &taat agamanya, tipe cowok setia&baik gak mungkin kan ke lain hati).’ Jawaban SMS dari Mas Lukman atas pertanyaan dari Sinta cukup membuat Sinta tercengang. Sinta tak habis pikir, bagaimana Mas Lukman bisa menilai dirinya seperti itu. Mas Lukman menemukan sosok gadis impiannya dalam diri Sinta. Perasaan Sinta menjadi semakin amburadul. Namun, jauh dari lubuk hatinya terdalam, Sinta ingin Mas Lukman menunggu dirinya sampai ia meraih semua impiannya.                         ♥♥♥    Terlihat tubuh mungil menggeliat di atas kasur berukuran 3x1 meter. Matanya pelan-pelan terbuka. Tangannya ia rentangkan ke samping sambil sesekali terdengar suara menguap.    “ Sin, telepon siapa kamu pagi-pagi? “    Agak terkejut melihat sahabatnya bangun, Sinta mengatupkan tangannya ke ujung speaker ponsel dan setengah berbisik ia berkata, “ Ssst…. Ini telepon dari Mas Lukman.”    Mendengar nama Lukman, Dian langsung memasang tampang cemberut dan kesal. Dian melipat selimut dan segera beranjak dari tempat tidur. Ia berdiri dan memencet tombol lampu yang melekat di dinding kamar. Cahaya lampu kamar kost menerangi seisi kamar. Wajah para penghuni kamar kost itu kini terlihat jelas.     “ Mas, teleponè sampun riyin, nggih? Kula mau siap-siap salat Subuh (Mas, teleponnya sudah dulu ya? Aku mau siap-siap salat Subuh) .”    “ Nggih, Dik sayang…. Kula seneng banget kalih sampaean (Iya, Dik sayang…. Aku sangat suka kamu) .”    “ Oh-eh, iya. Assalamu’alaikum, Mas.”    “ Wa’alaikumsalam.”    Tut! Keduanya menutup ponsel masing-masing. Sinta terdiam sejenak setelah usai mengakhiri pembicaraan dengan Mas Lukman. Sementara itu, sahabatnya, Dian, sibuk menata kamar yang berantakan seperti kapal pecah. Namun, kesibukkan Dian itu terhenti tiba-tiba.“ Yan, bagaimana bisa laki-laki seperti Mas Lukman mencintai aku? ,” tanya Sinta dengan ekspresi wajah datar dan tatapan mata menerawang jauh entah kemana.    Dian menghentikan aktivitas merapikan kamar, kemudian duduk bersila tepat di depan Sinta. “ Sin, kamu itu cerdas, cantik, baik lagi. Cowok mana pun pasti ingin mendapatkan cewek seperti kamu. Apalagi bujang lapuk kayak Mas Lukman itu. Jelas aja dia ngejar-ngejar kamu. Cuma dia itu gak tahu diri. Gak ngaca! Dia itu pantesnya jadi Om kamu. Lagian kenapa sih dia gak cari cewek di sekitar ponpesnya? Kan banyak santri cewek yang cantik, yang santun, dan mungkin lebih baik dari kamu. Huh! Dasar perjaka tong-tong! Sin, aku sebagai sahabat kamu bener-bener gak terima kalau kamu sampai jatuh di tangan Mas Lukman. Bisa-bisa lulus kuliah kamu langsung jadi Bu Nyai.”    Sinta menghayati kata-kata dari sahabatnya itu. Ia merasa ada benarnya juga dengan apa yang telah Dian katakan. Akan tetapi, semua itu kembali lagi pada diri Sinta. Sinta sepertinya tidak ingin selalu dinasihati oleh rekan-rekannya, khususnya Dian. Ia ingin dipandang menjadi seorang gadis yang memiliki kriteria tinggi dalam memilih laki-laki sebagai kekasihnya. Gengsi dalam dirinya selalu muncul setiap ia ingat dengan semua predikat yang melekat pada sosok Sinta. Cerdas, cantik, supel, baik, dan idealis.“ HA! Bu Nyai? Ogah lah yaw…. Sorry ya, aku bukan tipe cewek yang langsung mau nikah setelah lulus kuliah nanti. Aku kan calon wanita karir. Masalah nikah belum pernah nempel di otakku. Apalagi nikah sama Mas Lukman. Iiihhh…. Emang di dunia ini gak ada cowok lain? Seleraku gak kayak gitu kaleee.” “ Udah deh, Sin. Kamu cuekin aja tuh si bujang lapuk. Kalau perlu kamu ganti nomor aja biar dia gak ganggu kamu melulu. Aku juga jengkel setiap dia gangguin kamu terus. Kayak dia itu sok masih muda aja,” ujar Dian dengan penuh kekesalan.     Perbincangan mereka berdua terhenti setelah bunyi adzan Subuh samar-samar terdengar dari balik kamar kost. Dian beranjak dari duduk dan segera menuju kamar mandi.    “ Kamu atau aku dulu yang salat?”     “ Kamu dulu aja deh, Yan. Aku mau beresin kasur dulu.”    Sementara Dian berwudlu, Sinta masih duduk di atas kasur dan tanpa sepengetahuan Dian, ia membuka ponsel dan membaca kembali SMS dari Mas Lukman. Sinta mencermati setiap kata yang dikirim oleh Mas Lukman. Tiba-tiba di telinga Sinta terngiang suara Mas Lukman ketika telepon tadi. Hatinya berdebar-debar. Apakah aku jatuh cinta dengan Mas Lukman?.     Beberapa saat kemudian, Dian masuk ke dalam kamar. Ia menggelar sajadah dan memakai mukena untuk bergegas melaksanakan salat Subuh. Tubuh Dian berdiri tepat di depan Sinta. Sinta memandangi Dian yang sedang khusyuk menghadap Sang Pencipta dan di dalam hati ia seolah mencurahkan isi hatinya kepada Dian.    Dian, aku mengerti menapa kamu dan teman-teman tidak rela jika aku menjalin hubungan dengan Mas Lukman. Aku mengerti akan kekhawatiran kalian jika aku menjadi kekasih Mas Lukman. Aku bisa memahami jika kalian tidak menginginkan aku bersama Mas Lukman. Usia Mas Lukman sudah menginjak 35 tahun dan ia juga ingin segera menikah. Tapi, apa salah jika aku mencintai laki-laki yang seharusnya lebih pantas menjadi Omku? Apa mencintai seseorang itu ditentukan oleh usia? Lantas, apa salah jika aku menjadi seorang Bu Nyai, istri dari pemilik pondok pesantren salaf?    Dian, jujur dari lubuk hatiku terdalam, aku sebenarnya mencintai Mas Lukman. Aku tidak bisa membohongi nurani kecilku. Aku tidak bisa menghindar dari perasaan itu. Semakin aku menjauhi rasa cintaku kepada Mas Lukman, semakin rasa cinta itu menggema dalam setiap dinding hatiku. Selama ini aku berbohong kepadamu dan juga kepada teman-teman. Aku melakukan semua itu demi menjaga citraku sebagai gadis cerdas dan berpendirian teguh. Aku tidak ingin membuat kalian semua kecewa. Akan tetapi, aku juga tidak ingin membohongi perasaanku sendiri.  Maafkan aku, Dian. Maafkan aku, teman-teman. Maaf jika aku tak bisa seperti yang kalian harapkan. Aku hanya gadis biasa. Aku tidak bisa mengelak dari kenyataan jika memang rasa cintaku tertambat pada Mas Lukman.     Curahan hati Sinta itu seketika berhenti saat Dian selesai melaksanakan salat. Kini, giliran Sinta untuk menghadap Illahi Rabbi. Sinta berdiri dari duduknya dan keluar menuju kamar mandi untuk berwudlu. Setelah berwudlu, Sinta masuk kembali ke dalam kamar kost dan mengenakan mukena bersiap untuk bersujud kepadaNya. Setiap gerakan salat ia lakukan dengan pelan penuh makna. Setiap ucapan salat ia lafadzkan dengan penuh perasaan hingga merasuk ke dalam qalbu. Napasnya terdengar lirih kala takbir terucap dari bibirnya. Nadinya bergetar kala asmaNya melintas dalam benak dan nuraninya. Tak terasa, tetesan air mata jatuh di atas sajadah mengiringi sujud Sinta yang begitu khusyuk. Usai salat, tak lupa Sinta mengucap doa kepada Tuhan dan di sela-sela doanya mengalir sebuah harapan yang ia tujukan kepada Tuhan. Tuhan, jika memang Mas Lukman jodohku, dekatkanlah aku dengan dia. Namun, jika Mas Lukman bukan jodohku, berikan aku yang terbaik. Tuhan, aku memang mencintai Mas Lukman. Kutitipkan salam cintaku untuknya. Amin. 



http://cerpen.net/cerpen-cinta/tuhan-kutitipkan-salam-cinta-untuknyaa%2580%25a6.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar