“Apapun yang terjadi..Ku ‘kan slalu ada untukmu..Janganlah kau bersedih..Cause everything’s gonna be okay..”Handphone Kim berbunyi menunjukkan pesan masuk. Ia membukanya dan tersenyum kecil melihat siapa yang mengiriminya pesan. “Tom,” katanya berbisik. Sudah lama Ia tidak bertemu kekasihnya. Ia merendam kerinduan yang sangat dalam dan hampir meledakkan hatinya. Tom mengatakan Ia akan mengunjungi Kim sepulang kerjanya nanti, dan berharap Kim menunggunya. Kim melamun beberapa saat. Memikirkan dan mengenang awal bertemunya Ia dengan Tom. Betapa beruntungnya aku bertemu Tom, pikirnya dalam hati. Ia mengingat semua perbuatan baik Tom yang Ia dapat.Saat itu Kim dalam keadaan yang hancur berantakan dan suasana hatinya tidak terdeskripsikan. Mereka bertemu di sebuah kafe pada tengah malam. Kim duduk di sofa yang berjajar membentuk setengah lingkaran dengan banyak lelaki, salah satunya adalah lelaki tua yang bermuka tajam dengan baju putih duduk di sebelahnya, itu Ayahnya. Kim ketakutan, para lelaki tua lainnya bergantian memeluknya dan menawarinya minuman, Ia menolaknya dengan tangisan. Kim tidak tau seseorang sedang mengamatinya dari bawah sinar lampu yang berwarna-warni. Lelaki itu melihatnya hampir tidak berkedip, melihatnya ketika Ia menangis, ketika Ia menolak minuman dengan lemah, ketika Ia selalu menyingkir jika ada lelaki yang hendak menyentuh tubuhnya. Lelaki ini terus melihatnya seakan Kim adalah hartanya. Entah dari mana asalnya, lelaki ini tau bahwa lelaki berbaju putih tadi adalah Ayah Kim. Ia menghampiri gerombolan tua itu dengan dan menenteng botol minuman di tangan kanannya, jalannya sempoyongan seraya mabuk. “Permisi, Tuan-Tuan,” katanya sopan. “Siapa gadis cantik yang sedang duduk di antara kalian itu? Aku ingin tau,” lanjutnya sambil tersedak. Seorang lelaki menjawab bahwa Ia bias dipesan kapan saja, “Aku ingin dia, aku akan bayar berapapun untuk malam ini,” serangnya sambil mengerlingkan mata ke arah Kim. Kim ketakutan dan memberi tanda ‘tidak’ kepada Ayahnya. Tetapi tanda itu tak digubris oleh Ayahnya dan Kim berpindah tangan ke lelaki misterius ini.“Aku Tom,” katanya lembut ketika menggandeng Kim menjauh dari gerombolan tua tadi. Kim mengerutkan wajah untuk menghilangkan wajah takutnya. “Apa yang kau lakukan disini?” tanyanya pelan sambil meletakkan botol kosong tadi. Kim tidak menjawab, pergelangan tangannya dicengkram erat oleh Tom. Ia terus bungkam dan membuang muka, Tom sadar itu membuat Kim takut dan tidak nyaman dan sebisa mungkin Tom membuat kim nyaman dan aman. Lelaki jangkung ini terus membujuk Kim dan mendorongnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Kim kalah, Ia menyerah dan menceritakan semua yang dilakukan Ayahnya. Tom terkejut, “Benarkah? Ya, Tuhan,” dan Ia menjelaskan maksudnya mengambil Kim dari mereka. Tom ingin menyelamatkan Kim tanpa sebab. Sejak saat itu Tom membawanya pergi jauh dari trauma mendalam itu. Tom terus melakukan semua hal yang dapat membuat Kim sembuh dari ketakutannya. Bahkan Tom mempertaruhkan nyawa, harta dan hidupnya untuk Kim. Kim melihat semua hal yang ada pada diri Tom dan menghargainya, Kim meberikan cinta yang Tom butuhkan. Dan mereka saling memberi.Sekian lama Kim melamun dan mengenang masa lalunya, tiba-tiba seorang membunyikan bell ruang apartementnya. Tom datang. Ia melihat Kim dengan raut wajah yang sedih dan ketakutan. “Ada apa?” tanyanya sambil mengikuti Kim menuju beranda.“Tidak ada kata-kata yang dapat mendeskripsikan hari itu,”. Kimberly duduk di beranda apartemennya dengan Tom, satu-satunya orang yang Ia miliki di dunia. Rambut hitam lurusnya tergerai indah bercahaya pantulan sinar bulan malam itu. Kim menghela nafas panjang, “Mungkin percuma jika aku bercerita kepadamu, Tom. Kau juga tidak akan mengerti bagaimana perasaan wanita dalam keadaan seperti itu,”“Setidaknya aku juga manusia,” jawabnya singkat sambil menyusup kopi panasnya. Tom adalah lelaki yang diimpikan Kim, lelaki yang tenang dan penuh dengan rahasia, lelaki yang dewasa dan penuh dengan perhatian. Fisiknya juga tak jauh beda dengan hatinya, kulitnya sewarna air laut yang jernih dan bersinar, berbeda dengan kulit Kim yang sewarna pasir pantai yang pucat. Rambut Tom berwarna pirang, lebat dan dibiarkan berantakan sama seperti Kim, acak-acakan.Kim terus menerus merenungkan kejadian yang tak pernah Ia bayangkan akan terjadi di kehidupan remajanya. Semuanya menjadi kacau dan mimpi-mimpi Kim berceceran berantakan. “Aku tidak akan pernah memaafkan dia, sekalipun Ia ayahku,”“Sudahlah Kim, kejadian itu sudah terjadi beberapa bulan lalu. Lagi pula, lelaki itu belum sempat menyentuh satupun bagian tubuhmu, kan?” kata Tom mencoba menenangkan Kim. Mata coklat hangatnya tak lepas dari sosok tubuh mungil yang kaku di hadapannya.Kim melihat ke arah Tom dengan jengkel dan berdiri sambil menghentakkan kakinya, “Sudah kukatakan kau tidak akan tau bagaimana rasanya,” katanya sambil berjalan kesal masuk ke apartement dan membanting dirinya ke sofa putih empuk yang nyaman. “Sungguh. Aku tidak ingin mengenang atau mengingat peristiwa hari itu. Tapi entah mengapa, otakku memutar semua mimpi buruk itu,” sentaknya. ” Ya, saat itu aku adalah mimpi buruk,” lanjutnya lalu termenung.“Baiklah, baiklah. Kau tau aku adalah teman yang paling baik di dunia. Ceritalah tentang semua yang ingin kau ceritakan, ceritalah tentang semua yang mengganjal di hatimu, ceritalah tentang semua yang kusut di otakmu,” jawab Tom santai. “Aku janji aku akan mendengarkan,” Tom duduk di sebelah Kim, kepalanya bertumpu pada tangan yang terlentang di sendenan sofa dan Ia mulai berhati-hati mendengarkan cerita Kim yang sebenarnya sudah Ia dengar lebih dari tiga kali.Kim mulai bercerita, mata hitamnya selalu berkaca-kaca ketika akan memulai, bibir mungilnya bergetar, wajah dan hidungnya mulai merah. Cahaya matanya mulai redup. “Aku tidak tau penyebab awalnya apa, sungguh. Ketika itu aku hanya gadis kecil berusia lima belas tahun yang labil dan egois,” Ia tertawa pahit mengingatnya. “Aku gadis kecil yang sangat manja dan penuh dengan ide-ide bodoh. Dapat kau bayangkan ini, suatu hari aku mengambil perhiasan Ibuku dan menjualnya hanya untuk membeli sebuah biola yang sampai saat ini tak pernah kugunakan?”.Tom tertawa kecil, “Dan kau berpikir untuk apa mencuri perhiasan itu, padahal jika kau minta uang berapapun kau akan dapatkan,” lanjut Tom dan tertawa.“Ya, dan bahkan kau hafal bagaimana ceritanya. Itu adalah hal terbodoh yang pernah kulakukan,” katanya semangat seraya mengejek diri sendiri. “Tapi mimpi buruk itu datang sewaktu aku pertama masuk SMA. Sampai sekarangpun aku tak tau apa penyebabnya, dan mereka tidak akan pernah memberi tauku,” lalu menghela nafas panjang.“Lalu apa yang terjadi? Aku ingin tau,” goda Tom sambil tersenyum jahil.“Mereka mengirimkanku mimpi buruk dan menjadikan hidupku dibanjiri air mata” jawabnya sendu. “Suatu malam aku mendengar mereka saling bentak, aku tidak tau masalah tentang apa. Aku hanya ingat Ibuku menuduh Ayah sedang mabuk,” dan Kim kembali terjun ke dalam lubang hitam hidupnya yang penuh dengan duri dan air mata. “Mungkin orang-orang mengira hidupku dulu sangat membahagiakan. Segala yang aku inginkan bisa aku dapat, dan mereka mendeskripsikan hidupku secantik bunga. Tapi mereka tak tau bunga apa,”“Dan kau memilih bunga mawar, cantik jika dilihat, sakit jika disentuh,” potong Tom. “Jujur aku beci bagian ini, ketika kau mendeskripsikan hidupmu sebagai bunga. Andai kau berkaca saat itu, kau mungkin juga akan menghilangkan bagian ini dalam cerita derita hidupmu. Betapa kosong mata hitammu,” kritik Tom jengkel.“Dan sejujurnya aku juga tidak suka itu. Tapi para malaikat menunjukkanku ke jalan hidup itu. Jika aku boleh menolak, aku akan menolak. Tapi di sini, siapa aku?” katanya sendu. Kim tidak akan pernah melupakan semua catatan hitam pada buku hidupnya.Kim mengingat kembali saat-saat persidangan perceraian orangtuanya. Semua itu membuat Kim mati rasa, Ia tak merasakan apa-apa, dia hanya memandang lurus ke hadapannya dan membuang banyak air mata. Bahkan Ia tak sadar ketika para saudara memeluknya mencoba memberi kekuatan. Dalam pikirannya hanya terdengar suara ketukan palu sang jaksa dan kalimat ‘sah bercerai’. Wajah Ibu dan Ayahnya terbayang, masa anak-anak yang bahagia. Bermain piano dengan Ibunya adalah hal yang senang Ia lakukan setiap Ia merasa bosan. Dan bermain di taman bersama Ayahnya adalah hal yang paling dirindukan Kim. Namun tidak lagi setelah Ayahnya mencoba menjual Kim pada bosnya.Tom mulai merinding dengan masa lalu Kim. Dari cerita sebelumnya yang pernah Ia dengar dari Kim, sekaranglah yang dapat membuatnya merinding. “Atas dasar apa Ayahmu menjualmu?” tanya Tom hati-hati. Lelaki yang biasanya santai dan lembut ini sekarang tegang dan kaku menanti jawaban Kim.“Katanya, Ia memiliki banyak hutang pada suatu perusahaan yang menjadi partner kerjanya dulu. Tapi dia tidak merasa hutang miliyaran rupiah itu adalah miliknya. Jadi Ia tidak ingin mengeluarkan uang sepersenpun untuk membayarnya, mungkin Ia takut hartanya terbuang sia-sia atau bagaimana,” jawabnya sambil menahan tangis. “Jadi aku dikorbankan. Kupikir, hartanya lebih penting,” suaranya bergetar hebat. Pengelihatannya kabur karena tertutup air mata yang bosan untuk tumpah.“Kupikir, tak ada harta yang lebih berharga dari seorang anak,” kata Tom membela Kim.“Bahkan kaupun belum memiliki anak,” balas Kim. “Kau benar-benar tidak melihat posisiku pada saat itu” kata Kim jengkel. “Aku tertipu oleh kata-kata busuk Ayahku. Ketika perebutan hak asuh atasku, pihak jaksa memberiku kesempatan untuk memilih,”. “Jujur dalam hatiku yang paling dalam aku ingin memilih Ibu,” katanya sambil tersenyum. “Tapi Ayah bilang umur Ibu tidak akan bertahan lama karena sakit paru-paru yang dideritanya dan aku akan hidup sengsara sendirian. Saat itu tak ada kecurigaan sedikitpun kepada Ayah,”“Dan kau memilih Ayahmu? Apa kau tau sebelumnya jika Ayahmu terlibat hutang?” Tanya Tom mulai penasaran.“Sudah kubilang, Ayah tidak merasa itu hutang miliknya. Jadi dia tidak akan bercerita,” jawabnya dengan nada datar. “Aku tentu tidak langsung memilih Ayah, aku sungguh-sungguh ingin bersama Ibu. Tapi kata-kata Ayah meracuni otak dan hatiku, ‘Ibumu yang menyebabkan semua ini! Ia selingkuh dengan teman kerja Ayah,’ kata-kata itu terus terbayang dalam pikiranku hingga kini,” kata Kim dengan emosi.“Lalu apa tindakanmu selanjutnya?” Tanya Tom.“Tanpa perasaan aku langsung membenci Ibuku yang malang itu dan memilih hidup bersama Ayah. Andai aku dulu tak sebodoh itu,” Kim mulai meneteskan butiran air mata sekarang, walau sedikit, tapi Tom melihatnya dan merasa tersayat. “Sekarang lihatlah. Hidupku lebih kacau dari yang Ayah katakan dulu. Jika aku memiliki pilihan lagi, aku lebih memilih hidup dengan kesendirianku daripada hidup dengan trauma dan dendam seperti ini,”“Kau tidak bodoh. Kau juga tidak salah. Bayangkan saja jika kau hidup dengan Ibumu, kau tidak akan bertemu denganku,” kata Tom menggoda sambil mengerlingkan mata indahnya ke arah Kim dan tersenyum.“Tolonglah, Tom, aku sedang tidak ingin bercanda,” kata Kim lemas. Ketika melihat Tom tersenyum lebar, Kim merasa ada sedikit kebahagiaan yang tersisa di hidupnya muncul dan ikut tersenyum sambil mencubit perut Tom. “Tapi masih beruntunglah aku dapat lolos dari saat-saat menakutkan itu,” kata Kim kembali serius.“Oh, iya, aku tidak tau kronologis kaburmu. Bagaimana kau bisa melakukannya?” Tom mengangkat kedua kaki dan memeluknya. Dagunya yang tajam tertempel di antara kedua lututnya dan matanya tajam memandang Kim, membuat Kim salah tingkah dan tegang.Kim berpikir lama dan merasa hilang ingatan karena melihat tatapan mata Tom. Namun Kim terus berusaha menjawab pertanyaan Tom. “Humm, saat itu, seminggu setelah kematian Ibu” katanya berusaha keras, “Aku duduk menunggu di sofa kamar hotel. Suasana sangat menyebalkan dan cahaya lampu remang-remang,” Kim bergidik, “Aku duduk rapat dan menggengam tanganku erat-erat sambil menahan tangis,”“Kenapa kau tidak menangis saja? Kenapa harus kau tahan?” potong Tom yang sedang mengerutkan wajahnya.“Ayah mengancamku, jika aku menangis, dia akan memberiku mimpi buruk lebih dari ini,” jawabnya bergetar. “Lalu aku mendengar suara langkah kaki berat. Jantungku mulai tak terkontrol, akalku mulai berputar. Diam-diam aku masuk kedalam lemari pakaian di dekat pintu. Kurang lebih lima belas menit aku menunggu tanpa adanya kehadiran manusia, tiba-tiba pintu kamar terbuka lebar. Suaranya membuatku merinding! Masih terdengar suara itu ditelingaku, seperti jutaan lebah yang bergerombol,” katanya sambil menyipitkan mata. Otaknya berpikir keras, hatinya menahan amarah dan dendam. Akankah Tuhan membenciku karena dendam dengan Ayahku sendiri? Akankah Tuhan memaafkan dia? Pikirnya dalam hati, dan dia melanjutkan, “Pintu tertutup rapat tanpa dikunci, dasar pengusaha bodoh,” senyumnya pahit. “Di dalam lemari sempit itu aku berusaha membuat tampilanku serapi mungkin dan sopan tanpa membuat kegaduhan. Ketika aku selesai dengan penampilanku, aku mendengar suara pancuran air dari kamar mandi, aku pikir itulah kesempatanku untuk kabur. Kubuka pintu lemari setenang mungkin dan menutupnya kembali tanpa mengeluarkan suara. Tapi sayang, saat aku hendak membuka pintu keluar, seseorang memelukku dari belakang. Aku hanya diam dan menahan teriakan, aku hanya tertawa pahit,” Kim merunduk dan mengusap matanya.Tom melihatnya, tatapan mata Tom ikut sendu dan bibirnya ikut bergetar. “Berhentilah bercerita jika kau tidak sanggup lagi mengingatnya,” katanya lembut sambil mengusap lembut pundak Kim.“Tidak, aku tidak akan berhenti bercerita sampai selesai. Jika kupotong-potong, pikiranku akan memutar sisa-sisa,” katanya sambil menangis. Melihat Tom tersenyum kecil dan mengangguk, ia meneruskan ceritanya, “Aku ingat aku sempat memanggil nama Ibu dalam hatiku, dan seketika aku merasa terlindungi dan hangat. Tetapi genggaman erat lelaki tua itu masih terasa di punggungku dan dia mulai menciumi pundakku. Aku berusaha menolak dan mengeluarkan tanganku dari genggamannya. aku berpura-pura menyikut perutnya agar dia sedikit mundur dan tanganku lepas. Aku dapat menguasai tangan kiriku dan membuka pintu sesempit mungkin. Aku menarik nafas panjang dan menyiapkan tenaga dan mental. Dengan berani aku menendang kemaluan lelaki hidung belang itu, dan aku berhasil melepaskan diri. Tanpa pikir panjang aku berlari keluar kamar dan menuruni tangga darurat,” Kim terdiam beberapa saat dan menikmati usapan lembut tangan Tom. Dan menangis lagi sejadi-jadinya. “Bukan tindakan lelaki gila itu yang aku pikirkan dan membuatku seperti ini, tetapi sakit hati karena Ayah yang membuatku seperti ini,”Tom memeluk erat tubuh Kim yang bergetar hebat. Hatinya pedih merasakan cerita Kim, matanya merah melihat betapa hancurnya Kim saat itu. “Setidaknya sekarang kau aman. Ada aku,” kata Tom berbisik mencoba menenangkan hati Kim.Tom terus memeluknya, mencium lembut kepala Kim dan tersenyum bahagia. Bulan yang pucat menjadi saksi bisu janji cinta mereka. Tiupan udara negara Belanda itupun ikut bergembira dan bernyanyi. Pepohonan dan hewan-hewan berdansa mengikuti iringan lagu kebahagiaan hati Tom dan Kim. Bintang-bintang mengikat cinta mereka utuh hingga tubuh tak sanggup bertahan hidup. Dan cinta mereka yang membuat bahagia dunia. Cinta yang abadi seperti cahaya matahari dan bulan di atap bumi.
http://cerpen.net/cerpen-remaja/ketika-mata-bicara.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar