“Inilah kegilaan ketika aku mesih saja mengingatmu. Masih saja memikirkanmu, meskipun kau telah jauh meninggalkanku dengan kebahagiaan yang selama ini kau cari.
”Aku menutup undangan bercorak hijau daun itu dengan perasaan meranggas. Mengakhiri ungkapan hatiku yang sempat tertulis diatasnya.“Kau akan datang?” Tanya Melia sang pengantar undangan, sekaligus sohib kentalku. Aku mengangkat kedua pundakku tanda penuh kebimbangan. Dan dia tak ada jawaban lagi.Dua hari lagi kau akan mengenakkan gaun itu, gaun yang kita pilih bersama waktu itu.Mudahnya kau mengkhiri pertunangan kita, hanya karena sebuah alasan yang tak jelas. Apa yang tak kau mengerti tentang aku??, tidakkah cukup perkenalan kita selama 2 tahun. Bahkan aku sudah lebih mengenalmu melebihi bagaimana aku mengenalku sendiri.Air mata mulai menetes lagi dan membuatku jengkel. Sedikit saja air mataku menetes, selalu saja tampak lain di mataku. Dan itu akan menimbulkkan kecurigaan ibu.“Kau masih memikirkan Abdi?”. Dan aku tak pernah bisa menjawab karena itulah kenyataannya. Aku tak pernah bisa menghapus namanya sedetikpun meskipun penuh dengan rasa kebencian. Aku sadar, akulah yang terlalu bodoh dengan semua ini. Dengan mudahnya percaya seorang pecundang sepertimu. Mengapa aku bisa tertipu pada kalimat yang indah pada sms, atau suara merdumu ketika kita berbicara lewat perantara kabel.
ŠŠŠ“Mengapa kau tak datang??” Aku terdiam, pertanyataanmu penuh kekonyolan, setelah semua yang kau lakukan padaku.“Mengapa, re?”“Aku tahu kamu sakit hati, tapi andai kamu tahu aku lebih sakit dari apa yang kau rasa.”“Bolehkah aku bertemu, sekali lagi saja.”“Untuk apa ?!”“Untuk kembali menambah lukaku yang hampir meluber karena tak sanggup aku tampung lagi!!”“Re, maafkan aku. Aku tak sepicik yang kau kira.”“Aku ta pernah berfikir kau picik !”“Kau…kau…,kaulah laki-laki paling menjijikkan yang pernah aku kenal”“Hmmmmpf…percuma, kau sebegitu membenciku. Betapa aku sangat ingin bertemu denganmu.”“Tak usah !!!” aku menekan tombol merah. Aku memutuskan hubungan telepon itu secara sepihak. Dan menelungkupkan wajahku dalam bantal, mencoba menyembunyikan air mataku. Bagaimana mungkin disaat kau merasakan kebahagiaan karena pernikahanmu yang baru saja usai, kau mengatakan ingin bertemu denganku. Terbuat dari apakah hatimu, hingga bisa setega itu. Tak salah kata-kataku tadi yang mengatakan, kaulah laki-laki menjijikkan yang pernah aku kenal.Gaun yang kau kenakan mungkin belum sempat kau tanggalkan. Senyuman para tamu dan hangatnya ucapan selamat masih belum berhenti, namun mengapa kau malah menghubungiku. Apa salahku ya Allah, mengapa begitu berat kau kirim cobaan ini. Betapa aku ingin melupakannya, namun mengapa ia justru datang mengacaukannya.“Huuhuaa…”“Eeegh..eghhh…” Aku tak peduli lagi, jika ada yang menertawakanku gara-gara tangisan ini. Tangisan cengeng untuk gadis yang tak lagi berusia muda karena 3 bulan lagi usiaku genap 29 tahun.“Huhu….”“Kapan aku akan menikah…”“Huhuhuu…”“Kapan aku kan ketemu jodohku ya Allah…”“Huhu…., eghh…eghh…” isak ini semakin lama semakin tak tertahan meski aku coba untuk menghentikan.
ŠŠŠ Aku harus melupakannya. Dan harus mulai dari awal lagi. Aku harus jadi Rea yang kuat. Upss..namaku Ria, mengapa aku begitu suka dipanggil Rea hanya karena kau suka memanggilku begitu. Nama panggilanku pertama kali ketika aku mencoba berkenalan denganmu, namun tetap memanggilku Rea meski kau tahu namaku Ria. Tak ada yang perlu aku sembunyikan, termasuk statusku sebagai perawan tua. Dan kau menerimanya tanpa penolakan sedikitpun. Namun kau menolaknya setelahnya, setelah aku bersedia menyerahkan sepenuh hatiku.Ughh…mengapa aku mengulang cerita itu lagi.Aku mulai, menghapus memory inboxku, sms sejak pertama kali kita menjalin perkenalan. Aku tak berani membacanya, aku takut mengingatnya lagi. Seperti ketakutanku, tak bisa melupakanmu. Dan aku takut merasakannya lagi, mungkinkah ada laki-laki yang baik tersisa untukku, seorang perawan tua.Ughh..aku tak tahu lagi betapa beratnya, menanggung status itu. Belum lagi ibu dan bapakku. Tuhan…..Aku memandang sekeliling kamarku, takkan kubiarkan satu wajahmu nongol di depan mataku. Melihat wajahmu sama saja aku melihat hantu paling menakutkan yang aku takuti selama ini.“Ihhh….ihhh..” aku mengambil dengan jijik sebuah foto yang terpajang tepat diatas ranjangku. Membongkarnya piguranya, dan kudapati fotoku dengan senyum manis tepat disamping manusia berwajah hantu itu. Foto waktu kita bertemu untuk ketiga kalinya di sebuah taman hiburan.“Sebenarnya cakep juga….” Aku tersenyum, melihat wajah tirus manis dengan kulit kecoklatan dan tubuh yang tegap semampai.“Huekkk…”aku tak boleh mengaguminya. Aku tak boleh buta lagi karena wajah itu. Andai waktu itu Tuhan membuka mataku untuk menatapnya lebih jelas, mungkin fotoku disampingnya bukan tersenyum manis, tapi terbelalak histeris.“Haha….”aku tertawa, lucu. Perlahan aku memotong foto itu. Memisahkan wajah manisku dengan wajah hantu itu. Aku menyimpan sebelahnya dan memotong kecil-kecil hantu itu seakan-akan dia ada didepanku. Terserah mau sakit, mau meringis, masa bodoh…Apa kabar dengan fotoku yang ada padanya?. Mungkinkah akan mengalami nasib yang sama, atau mungkin lebih parah. Apalagi jika ditemukan istrinya.“Ughhh…ughhh…”aku mengelus wajahku, tak tega jika wajahku yang manis ini harus kena api, jangan ya…
“Riaa…….” Aku mengernyit, panggilan untukku?“Riaaaa…….” Ternyata memang betul. Ada instruksi dari ibu pasti. Dan aku bergegas mencari sosok ibu. Mungkin saja di dapur.“untukku…?!!!” tanyaku heran, ketika sebuah bunga melati terulur untukku.Deggg…..bukankah biasanya abdi yang selalu mengirimkannya untukku. Apakah ini juga dari abdi?. Aku tersadar untuk segera bertanya.“Dari siapa?” ibu menggeleng tak tahu.Aku mencari kertas kecil berisi memo yang biasanya selalu diletakkan dipangkal pohon ini.“Maafkan aku…”“Uggh….!!!” Aku mendengus kesal, dan meletakkan serampangan. Tak seperti biasanya, bunga itu selalu terpajang segar di atas meja riasku. Untuk apa aku mesti merawatnya. Dan…untuk apa kau mesti mengirimnya. Meskipun kau belikan aku toko bunga, kata maaf tak juga bisa aku berikan untukmu…ŠŠŠAku masih asyik, didepan layar monitorku. Mengedit laporan keuangan yang belum sempat aku selesaikan kemarin di kantor. Seharusnya liburan seperti ini, aku menikmatinya. Namun aku telah kehilangan selera untuk menikmatinya. Aku memilih mengerjakan apapun agar rasa sepi yang seringkali menemaniku terasa berkurang. Meila juga menemaniku. Maklum sama-sama jojoba,hmmm…“Re…”“Ri….”“oh ya Ri…”dia tersenyum menyadari salah memanggil namaku yang sebenarnya. Aku tak meninggalkan sedikit pandanganku dari layar untuk merespon panggilannya. Dan ia lama untuk meneruskan panggilan itu, mungkin saja pikirannya masih asyik dengan majalah dipangkuannya itu.“Kamu tahu ga istrinya Abdi?” aku heran untuk apa dia tanyakan itu, tak lagi penting untukku. Meski 2 bulan lalu sebelum mereka menikah, Meila juga hampir menunjukkan karakteristiknya. Dan masih seperti kemarin, Aku menganggap itu tak penting lagi, dan aku tak peduli..“Dia sakit kanker…”“Whattt….” Tiba-tiba tanganku memencet huruf itu sehingga terbaca di layar dan aku menghapus setelah sadar. Aku menoleh, mencari keterangan lebih lanjut.“Sakit…?!”“Ya….”“Dari mana kamu tahu,“Sudah lama…”“Mengapa kau tak mengatakan padaku waktu itu ““Bukankah katamu itu tak penting?” aku mencibir menyadarinya.“Sudah hampir 2 minggu dia di rumah sakit,“Abdi ?””Halloooo…istrinya, Ria sayang….bukan Abdi.”“Ya, maksudku….abdi gimana?”“Emang penting ya, kok aku mesti tahu…” kali ini aku mencibir, karena sadar meila telah mengejekku.“Apa Abdi ga tahu ya kalau Meila sakit?” tanyaku sendiri, bengong.“Apa….?!’“Ulangi kata-katamu tadi, istrinya Abdi..bukan Meila…!!” aku tersenyum.“Ya maaf aku kan salah ngomong, habisnya aku kan ga tahu namanya siapa?’“Emang penting ya?” Meila tersenyum. Sekali lagi mengejek.“terserah, mau istrinya yang sakit, atau Abdi yang sakit, bodoh amat….!!”“bener nich, kalau Abdi yang sakit, kamu ga akan menangis iba…”“Eh, mengapa kita malah tertawa melihat orang dapat bencana…” tiba-tiba Meila menjadi seorang peri sok bijak.“Ya udah…..”“Semoga …”“Bahaagiaaa…..” ucapku dengan nada tak ikhlas.ŠŠŠ “Selamat ya, abdi….” Aku tersenyum bersamaan dengan jabatan yang erat.“Semoga bahagia ya…”“Aku selalu mendoakanmu…” ucapku mantap.“Kau tampak cute dengan gaun ini…” ledekku, dia tersenyum bahagia.“Istrimu juga cantik, cantik sekali…”“Gaun itu memang lebih pantas dipakainya dari pada aku. Kalau aku pakai masti melorot…” Aku tertawa lepas, dan kau membalasnya dengan tawa pula.“Selamat ya…” ucapku sekali lagi, ketika aku harus melangkah maju bersama barisan tamu undangan ini.Setengah berbisik dalam pendengaranku kau berkata, “maafkan aku Re…” aku tersenyum, dan melangkah. Aku tak pernah membencimu Abdi.“Krinnnnngggggggggg……kronggggggggggggggggggg….krungggggggggg………” Aku menggeliat. Perlahan membuka kedua mataku dan memicingkannya setelah sadar. Jam 5 pagi. Saatnya aku harus bangun.“Ehm….ehmmm…..” aku menggeliat lagi, seolah ga rela melepas selimut yang membalut tubuhku. Kantuk masih tersisa bersama hawa dingin yang menyerang. Toleransi 5 menit. Aku menutup mata lagi, namun tak kubiarkan kantuk kembali membuaiku dalam bayangan mimpi. Mimpi….aku mengingatnya, mimpi kah aku semalam. Datang ke pesta Abdi. Aku membuka mataku, dan berfikir. Mengapa aku bermimpi tentang abdi dan pestanya. Bukankah pestanya sudah lewat 2 bulan yang lalu. Sudahlah, namanya tidur pasti ada bunganya…(ga nyambung ya?)
ŠŠŠ“Ria, saluran 3 buat kamu..?”“Siapa yang berani menggangguku di jam sibuk begini.” Protesku pada Sani, rekan kerjaku.“Siapa…?!”sapaku ketus.“Rea, ini Meila…”“Ada apa?!”“Ikut aku,”aku mengernyit.“Ini masih jam kantor !”“ya, aku tahu…”“aku tunggu, diparkiran…” “Meila…kemana?” belum sempat aku mendengarnya. Aku sudah mendengar tanda putus.“Ada apa sich ini orang seenaknya saja ganggu orang kerja” runtukku sendiri. Namun aku bergegas ke kantor kepala minta ijin. Dan tak lama aku sudah melihat wajah Meila diantara barisan mobil-mobil di parkiran ini.“Cepetan…?!”“Enak aja, kamu nyuruh anak orang!”“Berani bayar berapa…?” protesku tak berkesudahan seraya tersenyum. Meila sama sekali tak menggubrisku, dan aku berhenti meledek. Wajahnya yang terlihat bingung membuatku konyol. Bagaimana mungkin meila yang selalu ceria bisa benar-benar serius. Dan aku ikut saja diam.“Ayo turun…” ajak Meila. Aku diam tak bergerak. Untuk apa dia mesti mengajakku ke rumah Abdi.“Untuk apa?” tanyaku curiga.“Turun saja…”ia menyeretku dengan terpaksa. Aku membelot. Tapi melihat mukanya yang masih saja serius tanpa ekspresi, aku menurut. Perasaanku mulai tak enak.
“Aku bisa berjalan sendiri…” sekali lagi aku protes karena Meila masih saja menggandeng tanganku. Aku heran, pakaian hitam seolah menjadi dress code dirumah ini. Dan aku tak menjupai satu wajahpun yang bisa aku kenal. Apa yang terjadi?.Aku tak tahu harus bertanya pada siapa. Aku menurut saja, mengekor Meila yang berjalan terburu. Semua orang yang sempat berpapasan denganku seolah sibuk dengan mereka sendiri. Kamar Abdi. Sayup-sayup aku mendengar suara tangis, mungkinkah istrinya meninggal seperti cerita Meila beberapa waktu lalu yang mengatakan istrinya sakit. Ya Allah secepat itukah. Mmm…tapi untuk apa aku mesti datang. Apakah abdi akan merengek untuk memintaku menjadi istrinya. Aku tersenyum, memikirkan bagaimana aku bisa menikah dengan seorang duda.Agak ragu aku melangkah. Suara tangis makin nyaring kudengar. Ketika wajahku tersembul dari balik pintu, aku mengenali satu persatu wajah itu. Tante Maya, ibu abdi dan suaminya. Tiara, adik semata wayangnya..dan saudaranya yang lain yang tak bisa aku kenali satu persatu.“masuklah Rea…” pinta tante Maya, dengan wajahnya yang sembab. Aku berjalan mendekati kerumunan itu, sementara Meila memilih berhenti dan berdiri tepat di depan pintu.“Abdi, sudah lama menunggumu…”kata tante Maya lagi. Satu persatu orang mulai menjauh, dan aku melihat tubuh itu. Tubuh yang tergolek tak berdaya dengan selang infus dan oksigen berselang-seling dari mulut dan hidungnya.“Abdi….”desisku perlahan. Aku terhenyak, sedih. Aku berdiri tepat, disamping ranjangnya. Dia mencoba tersenyum dengan kepayahan. Tangannya bergerak mencari tanganku, dan aku menggenggamnya hingga tangan itu diam dengan sendirinya, bersama senyum yang masih mengambang. Matanya menutup perlahan, dan tangis mulai menyayat.“Abdiii….”teriakku histeris. Aku bingung. Tangan itu masih saja diam, meski aku meremasnya.“Dia sudah pergi nak, ” Sebuah suara dibelakangku, mengabarkanku akan apa yang baru saja terjadi. ”Innalillahi wa Inna illaihi roji’un…” Kalimat itu saling bersahutan ku dengar dan aku menimpali dalam hati.“Abdi….”desisku tertahan. Aku lunglai tak berdaya. Mengapa secepat itu kau pergi…
ŠŠŠSatu persatu peziarah mulai meninggalkan gundukan tanah merah didepanku. Aku masih tertegun tak percaya. Di sampingku tante Maya dan anggota keluarganya yang lain juga menatap hampa bersama air mata yang menganak sungai.“Ayo Rea, kita pulang…”ajak tante Maya. Dan aku menganggu, mengikuti.“Mengapa aku tak melihat….” Aku mencari kata-kata untuk memanggil istri Abdi, maklum sampai sekarang aku tak tahu namanya. Tante Maya tersenyum.“Ia mendahului Abdi 3 hari yang lalu…” Aku kembali terhenyak.“3 hari yang lalu tante…”“Ya mereka berdua menderita kanker hati. Ketika abdi dalam keadaan kritis, Dina meninggal.”Tante maya tersenyum lagi. “sebelum Abdi benar-benar koma, ia masih saja memanggil namamu…”“Dia titip maaf buat kamu…”“Begitu pula Dina…”“Mereka memutuskan menikah setelah keduanya sama-sama tau mereka mengendap kanker stadium 4. Sebelum meninggal mereka ingin melaksanakan sunah rosul untuk menikah.”“Abdi tak ingin membuatmu terluka, menikahimu dan meninggalkanmu…”“Dia ingin kamu bahagia Rea…” aku tak lagi bisa berkata-kata. Air mata yang hampir berhenti, tiba-tiba menyeruak semakin hebat.“Maafkanlah mereka, ikhlaskan mereka pergi dengan bahagia…”Dengan mantap hatiku berkata, Aku tak pernah membencimu Abdi. Aku ingin kamu selalu bahagia…-thEnd-
http://cerpen.net/cerpen-sadending/aku-rela-kau-bahagia.html
Cari Blog Ini
Selasa, 20 September 2011
ada cinta dalam dada
Miky tersentak bangun. Peluh menitik di wajahnya. Barusan ia bermpimpi Jerry menghancurkan keramik kesayangannya. Dalam mimpinya tadi, Miky sudah menyembah agar Jerry tidak melakukan itu. Tapi....
Nola dan Riya yang sedang merumpi di tempat tidur sebelah menatap bingung padanya.
"Kamu kenapa, Mik!"
Miky tergagap.
"Mimpi seram, ya? Sampai mandi keringat begitu!"
"Makanya jangan suka tidur kalau sore," sambung Riya.
"Aku bermimpi Jerry menghancurkan keramik kesayanganku," terang Miky. Matanya beralih pada keramik berbentuk dua remaja tengah duduk memancing di tepi kolam. Tangan kanan si lelaki memegang pancing sementara tangan kiri merangkul bahu sang dara, dengan kepala menyandar di bahu sang lelaki.
Tinggi keramik itu sekitar dua puluh sentimeter. Dipajang di atas meja belajar. Miky memang sangat sayang pada keramik itu. Itu oleh-oleh terakhir Mama sepulang dari Cina. Karena waktu itu mobil yang ditumpangi Mama kecelakaan sepulang dari bandara. Sedang Mama meninggal di tempat.
"Ah, Jerry lagi!" ujar Riya kesal.
"Edan, memang tahu dari mana Jerry, kalau kamu punya keramik itu?"
"Mana aku tahu, La! Namanya juga mimpi."
"Mungkin itu sebagai pertanda Jerry tidak suka sama kamu. Kalau dia menyukaimu, tidak mungkin dia tega menyakiti hatimu."
Miky terpekur. Barangkali benar ucapan Riya barusan. Buktinya, sudah dua tahun lebih mereka satu kampus. Sekali saja Jerry tidak pernah menegur dirinya. Padahal terlalu sering Miky 'mendekati'nya. Misalnya, ketika Jerry dan teman-temannya makan di kantin. Miky selalu ada di sana. Duduk tidak jauh dari Jerry. Makan dan diam. Tapi salah tingkahnya minta ampun. Pikirnya, pasti Jerry melahap segala geraknya. Bila Miky mencuri tatap, rasa kecewa selalu menghantam dada. Seperseratus detik saja Jerry tidak pernah melirik padanya.
Bahkan Jerry tidak menyadari kehadirannya di kantin. Yang lebih membuat sakit, Jerry tidak pernah tahu ada seorang Miky di dunia ini, yang mencintainya dengan sangat.
Ah, menyedihkan memang!
"Kamu sih, Mik, pasif banget. Kapan dapatnya tuh Jerry. Sementara dianya juga tidak pernah memperhatikanmu. Agresif sedikit, dong! Kasih sinyal bahwa kamu suka sama dia. Itu lebih baik daripada kamu diam saja. Seperti orang bilang: lebih baik gagal dalam usaha daripada tidak mencoba sama sekali. Makanya, Mik, sosor saja. Daripada ditangkap cewek lain. Kamu juga yang memble nantinya."
Lama Miky termenung. Bicara sih gampang, sungutnya. Memangnya banteng, main sosor. Jerry itu cowok manis. Imut begitu. Rada pendiam juga. Jadi pasti dia tidak suka sama cewek tomboi nan agresif.
"Aku pernah membaca di majalah, lebih baik hidup dengan orang yang mencintai kita, daripada dengan orang yang kita cintai."
"Artinya?"
"Miky harus melupakan Jerry. Dan menyambut cinta Angga. Itu akan membuat Miky jadi bahagia."
Miky menghela napas. Tanpa saran dari Nola, kalau memang bisa, sudah dari dulu dilakukannya. Bukannya Miky tidak pernah mencoba untuk beramah-tamah sama Angga. Miky ingin menjajaki perasaannya dulu. Seperti orang bilang, kebersamaan seringkali akan menimbulkan cinta. Tetapi ternyata, setiap kali dia berdekatan dengan Angga, selalu rasa jenuh dan bosan yang hadir. Barangkali memang, tidak ada cintanya buat Angga.
"Kurasa itu lebih baik, Mik!" Riya menyentuh tangannya. "Jerry saja tidak kenal sama kamu. Kamu juga tidak mau memperkenalkan diri."
Lagi-lagi Miky menghela napas. Membuang pandangan mata keluar jendela. Cuaca yang mendung, membuat dia keenakan di tempat tidur.
***
Miky membuang napas. Mengalihkan pandang pada mahasiswa yang lalu lalang.
"Mik!"
Miky menoleh sebentar.
Angga menatap lembut. Miky benci itu. Harusnya Angga tahu, hati Miky tidak bisa dipaksa untuk mencintainya.
"Mik!"
Miky tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak tega untuk menolak. Angga begitu baik padanya. Tetapi ia juga tidak mampu meluluskan permintaan itu.
"Jawablah, Mik!"
"Kenapa harus aku, Ang? Masih banyak yang lain," desisnya nyaris tidak terdengar.
"Jadi kamu menolak?" patah suara Angga.
Ingin Miky mengangguk. Lehernya terasa kaku. Ia tatap wajah Angga yang sendu.
"Tolonglah, Mik. Kita hanya bersandiwara di depan Mamaku. Agar Mama senang. Itu saja."
"Tapi...."
"Aku tahu kamu tidak mencintaiku. Aku juga tidak memaksa agar kamu mencintaiku. Tapi kumohon, mengertilah, Mik! Ini atas keinginan Mama. Mama ingin ketemu kamu. Dokter bilang, penyakit Mama tidak lagi tertolong. Tinggal menunggu waktu."
"Apa hubungannya sama aku?"
Angga menunduk. "Setahu Mama, kamu pacarku."
Berlipat kening Miky.
"Waktu kamu kuperkenalkan sama Mama, ia bilang suka sama kamu. Karena aku juga suka sama kamu, jadi kubilang saja kita pacaran."
Miky menatap tak suka.
Angga makin menunduk.
"Kamu lancang, Ang!"
"Maaf, aku memang tidak tahu diri."
Miky mengalihkan tatap. Ia tertegun. Dadanya berdebar lebih kencang. Di ujung koridor kelas Jerry berjalan sendiri.
"Mik!"
Miky tergagap.
"Kamu suka sama dia?"
"Kenapa kamu bertanya begitu?"
"Matamu selalu penuh kekaguman bila menatapnya."
Miky menunduk. Ia yakin wajahnya memerah.
"Benar kan, Mik?"
"Jam berapa kamu menjemputku?" tanya Miky mengalihkan pembicaraan.
Senyum Angga mengembang. Kedua bola matanya berbinar-binar. "Kamu serius, Mik?" suaranya hampir tidak percaya.
Miky mengangguk lemah.
***
Miky melepas cincin emas itu dari jari manisnya. Ia angsurkan pada Angga yang pegang setir. Mereka baru pulang dari rumah sakit. Menjenguk Mama Angga.
"Cincin itu sudah dikasih Mama sama kamu. Jadi pakai saja."
"Andai Mamamu tahu cerita sebenarnya, tentu beliau tidak akan memberikan cincin ini padaku."
Sekilas Angga menoleh. Ia menghela napas. Betapa aku ingin meraihmu. Memberimu bahagia sepanjang hidupku. Tapi mengapa hatimu terlalu jauh untuk kugapai?
"Ambillah, Ang! Aku tidak pantas memakai ini."
"Kalau kamu tidak mau memakainya, buang saja. Itu hakmu!" Dingin suara Angga.
Miky terkesiap mendengar suara itu, sampai ia lupa menarik tangannya yang masih mengangsurkan cincin itu. Angga salah menduga, ia kira Miky bersikeras mengembalikannya.
Angga merenggut cincin itu dari tangan Miky dan melemparkan keluar dari jendela mobil yang terbuka setengah. Mobil berhenti tiba-tiba. Bisa saja Miky terjerembab kalau tidak segera menahan keseimbangan tubuh.
"Ang...." pekik Miky.
"Kamu terlalu sombong, Mik! Aku masih bisa terima kamu menolakku. Tapi menolak pemberian Mama? Dengn tulus ia memberi, apa salahnya kamu terima. Atau setidaknya pura-pura kamu terima, lalu kamu campakkan ke comberan tanpa sepengetahuanku." Tinggi suara Angga. Dari tarikan napas yang keras, terlihat Angga tidak bisa membendung emosinya.
"Aku...."
"Maaf, maafkan aku, Mik!" Angga meraih tangan Miky. "Aku khilaf. Itu karena aku kecewa pada diriku sendiri. Mengapa aku tak mampu mendapatkanmu. Hingga terpaksa membohongi Mama di akhir hidupnya."
Miky membuang napas haru.
"Sekali lagi aku minta maaf sama kamu. Juga terima kasih mau menerima undangan Mama. Walau kita hanya memberi Mama kebahagiaan semu."
"Cincin tadi, Ang!"
"Biarlah, kalau kamu susah dibuatnya."
***
Sesaat mata mereka bertemu. Cepat Miky menunduk. Sungguh, ia merasa gugup menentang tatapan cowok itu. Lututnya lemas. Sampai kakinya bergetar.
"Maaf, saya buru-buru. Tidak melihat kamu mau keluar," cowok itu berkata. Tangannya memunguti buku Miky yang terjatuh ke lantai. Lalu ia serahkan ke Miky yang mematung.
Tanpa suara Miky berlalu. Bukan apa-apa. Ia sibuk menata detak jantungnya. Kalau saja dia tahu, makhluk yang menabraknya adalah Jerry, tentu Miky sudah pura-pura terjatuh. Atau pingsan sekalian. Agar Jerry membopong tubuhnya, tidak hanya berkata maaf.
Mata Jerry mengawasi Miky dari belakang.
"Gila, cantik banget! Stambuk baru, ya?" tanyanya pada kawannya.
"Payah kamu. Itu kan Miky. Anak Ekonomi, semester lima. Makanya matamu itu harus jelalatan lihat cewek. Jangan Cuma melototi buku melulu."
Jerry meringis. Di benaknya berkelebat kejadian barusan. Mereka bertabrakan di pintu perpustakaan. Wajah Miky terbenam di dadanya. Dan sampai saat ini, harum rambut Miky masih terasa pada setiap tarikan napasnya.
"Siapa tadi namanya?"
"Miky. Miky Saraswati."
***
"Mik!"
"Hem," sahut Miky. Tangannya sibuk memoles pewarna di bibirnya.
"Angga baru telepon."
Dari kaca rias ia melirik Nola yang berdiri di sampingnya.
"Terus?"
"Ia minta kamu ke rumah sakit. Mamanya kritis. Katanya sudah tidak ada harapan lagi. Ini juga atas permintaan Mamanya."
Miky menarik napas keras. Sejurus ia menatap Nola.
"Malam ini Jerry mengundangku ke rumahnya. Ada pesta perak perkawinan orangtuanya."
"Jadi kamu menolak?" Kening Nola mengerut.
"Terpaksa."
"Kan bisa, Mik, sekarang kamu pergi dulu ke rumah sakit. Baru ke rumah Jerry."
"Sebentar lagi Jerry menjemputku. Apa tanggapannya kalau aku pergi ke rumah sakit menjenguk Mama Angga."
"Dalam situasi seperti ini, Jerry pasti mengerti."
"Tidak bisa, La! Aku sudah bosan mengikuti sandiwara Angga."
"Kamu tidak punya perasaan, Mik!" desis Nola tajam. "Apa salahnya memenuhi keinginan Mamanya itu. Apa salahnya kamu membahagiakan hati orang di akhir hidupnya?"
"Aku...."
"Aku baru tahu, ternyata kamu sangat egois!" Nola berjalan ke pintu. Tidak ada gunanya membujuk lagi. Di ambang pintu Nola berhenti, berbalik menatap Miky.
"Cintamu pada Jerry terlalu buta, kurasa. Sampai kamu tidak bisa memilih mana yang harus diutamakan."
Miky tidak akan diam andai saja Nola tidak keburu membanting daun pintu. Ia tahu Nola marah padanya. Sebenarnya Miky juga tidak tega mengabaikan permintaan Mama Angga. Tapi dengan mengecewakan Jerry?
***
Miky menyusut butiran air di kedua belah pipi. Ada yang hancur dalam hati. Terasa sakit dan perih menusuk. Masih terbayang, ketika di pesta perak perkawinan orangtua Jerry kemarin, diumumkan juga pertunangan Jerry dengan anak gadis rekan kerja orangtua Jerry.
Terluka hati Miky. Meski tadi pagi Jerry datang menemuinya. Dengan sederet kata maaf berkata: ia sama sekali tidak mengetahui rencana pertunangan itu. Dengan linangan airmata berkata, hanya Miky yang ada dalam hatinya.
Semua itu tidak berguna. Karena nyatanya Jerry bertunangan dengan gadis itu. Dan hati Miky terlanjur luka.
"Mik...."
Cepat Miky menghapus airmata di pipinya, sebelum menoleh ke asal suara itu.
"Kamu sudah sembuh?"
Menyipit mata Miky.
"Aku minta maaf, Ang. Waktu Mamamu...."
"Tak apa, Mik! Waktu itu Nola bilang kamu demam tinggi. Mama juga memaklumi hal itu."
Miky menelan ludah yang terasa pahit. Ah, Nola!
"Sebelum meninggal, Mama sempat bilang, agar aku selalu bersamamu. Mama yakin kamu gadis yang baik. Dan Mama akan melihat kita bahagia dari alamnya," Angga tertawa masam. "Mama memang sangat menyayangiku. Jadi Mama takut anak bungsunya ini salah pilih."
"Mengertilah, Ang!"
"Aku sangat mengerti, Mik. Aku juga akan bahagia bila kamu bahagia. Makanya, kejarlah impian kamu itu. Siapa namanya, Mik? Jerry, ya? Ah, dia memang amat istimewa."
Mendengar nama Jerry disebut, airmata Miky mengucur lagi. Ia teringat cintanya yang kandas terhempas.
"Ada yang salah dengan ucapanku?"
Miky menggeleng dengan bahu terguncang. Miky menggigit bibir, menahan tangis agar tidak sampai pecah berderai.
Dengan memberanikan diri, Angga meraih Miky ke dalam pelukan. Miky tidak menolak. Justru tangisnya semakin kuat. Hingga Angga jadi bingung. Tapi perasaannya berkata, ada masalah dengan hubungan Miky dan Jerry.
Tangan Angga bergetar mengelus rambut Miky. Ada yang nikmat ia rasakan kata airmata Miky menembus kemeja dan menyentuh kulit dadanya.
Oh, Tuhan!
Mimpi pun Angga tidak berani kalau Miky akan berada dalam pelukannya seperti sekarang.
Miky masih menangis dalam pelukannya. Kedua mata Angga memejam. Memohon dalam hati, semoga waktu berhenti sampai di sini, agar selamanya Miky berada dalam pelukannya. ©
http://www.cafenovel.com/shortstory_adacintadalamdada.php
Nola dan Riya yang sedang merumpi di tempat tidur sebelah menatap bingung padanya.
"Kamu kenapa, Mik!"
Miky tergagap.
"Mimpi seram, ya? Sampai mandi keringat begitu!"
"Makanya jangan suka tidur kalau sore," sambung Riya.
"Aku bermimpi Jerry menghancurkan keramik kesayanganku," terang Miky. Matanya beralih pada keramik berbentuk dua remaja tengah duduk memancing di tepi kolam. Tangan kanan si lelaki memegang pancing sementara tangan kiri merangkul bahu sang dara, dengan kepala menyandar di bahu sang lelaki.
Tinggi keramik itu sekitar dua puluh sentimeter. Dipajang di atas meja belajar. Miky memang sangat sayang pada keramik itu. Itu oleh-oleh terakhir Mama sepulang dari Cina. Karena waktu itu mobil yang ditumpangi Mama kecelakaan sepulang dari bandara. Sedang Mama meninggal di tempat.
"Ah, Jerry lagi!" ujar Riya kesal.
"Edan, memang tahu dari mana Jerry, kalau kamu punya keramik itu?"
"Mana aku tahu, La! Namanya juga mimpi."
"Mungkin itu sebagai pertanda Jerry tidak suka sama kamu. Kalau dia menyukaimu, tidak mungkin dia tega menyakiti hatimu."
Miky terpekur. Barangkali benar ucapan Riya barusan. Buktinya, sudah dua tahun lebih mereka satu kampus. Sekali saja Jerry tidak pernah menegur dirinya. Padahal terlalu sering Miky 'mendekati'nya. Misalnya, ketika Jerry dan teman-temannya makan di kantin. Miky selalu ada di sana. Duduk tidak jauh dari Jerry. Makan dan diam. Tapi salah tingkahnya minta ampun. Pikirnya, pasti Jerry melahap segala geraknya. Bila Miky mencuri tatap, rasa kecewa selalu menghantam dada. Seperseratus detik saja Jerry tidak pernah melirik padanya.
Bahkan Jerry tidak menyadari kehadirannya di kantin. Yang lebih membuat sakit, Jerry tidak pernah tahu ada seorang Miky di dunia ini, yang mencintainya dengan sangat.
Ah, menyedihkan memang!
"Kamu sih, Mik, pasif banget. Kapan dapatnya tuh Jerry. Sementara dianya juga tidak pernah memperhatikanmu. Agresif sedikit, dong! Kasih sinyal bahwa kamu suka sama dia. Itu lebih baik daripada kamu diam saja. Seperti orang bilang: lebih baik gagal dalam usaha daripada tidak mencoba sama sekali. Makanya, Mik, sosor saja. Daripada ditangkap cewek lain. Kamu juga yang memble nantinya."
Lama Miky termenung. Bicara sih gampang, sungutnya. Memangnya banteng, main sosor. Jerry itu cowok manis. Imut begitu. Rada pendiam juga. Jadi pasti dia tidak suka sama cewek tomboi nan agresif.
"Aku pernah membaca di majalah, lebih baik hidup dengan orang yang mencintai kita, daripada dengan orang yang kita cintai."
"Artinya?"
"Miky harus melupakan Jerry. Dan menyambut cinta Angga. Itu akan membuat Miky jadi bahagia."
Miky menghela napas. Tanpa saran dari Nola, kalau memang bisa, sudah dari dulu dilakukannya. Bukannya Miky tidak pernah mencoba untuk beramah-tamah sama Angga. Miky ingin menjajaki perasaannya dulu. Seperti orang bilang, kebersamaan seringkali akan menimbulkan cinta. Tetapi ternyata, setiap kali dia berdekatan dengan Angga, selalu rasa jenuh dan bosan yang hadir. Barangkali memang, tidak ada cintanya buat Angga.
"Kurasa itu lebih baik, Mik!" Riya menyentuh tangannya. "Jerry saja tidak kenal sama kamu. Kamu juga tidak mau memperkenalkan diri."
Lagi-lagi Miky menghela napas. Membuang pandangan mata keluar jendela. Cuaca yang mendung, membuat dia keenakan di tempat tidur.
***
Miky membuang napas. Mengalihkan pandang pada mahasiswa yang lalu lalang.
"Mik!"
Miky menoleh sebentar.
Angga menatap lembut. Miky benci itu. Harusnya Angga tahu, hati Miky tidak bisa dipaksa untuk mencintainya.
"Mik!"
Miky tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak tega untuk menolak. Angga begitu baik padanya. Tetapi ia juga tidak mampu meluluskan permintaan itu.
"Jawablah, Mik!"
"Kenapa harus aku, Ang? Masih banyak yang lain," desisnya nyaris tidak terdengar.
"Jadi kamu menolak?" patah suara Angga.
Ingin Miky mengangguk. Lehernya terasa kaku. Ia tatap wajah Angga yang sendu.
"Tolonglah, Mik. Kita hanya bersandiwara di depan Mamaku. Agar Mama senang. Itu saja."
"Tapi...."
"Aku tahu kamu tidak mencintaiku. Aku juga tidak memaksa agar kamu mencintaiku. Tapi kumohon, mengertilah, Mik! Ini atas keinginan Mama. Mama ingin ketemu kamu. Dokter bilang, penyakit Mama tidak lagi tertolong. Tinggal menunggu waktu."
"Apa hubungannya sama aku?"
Angga menunduk. "Setahu Mama, kamu pacarku."
Berlipat kening Miky.
"Waktu kamu kuperkenalkan sama Mama, ia bilang suka sama kamu. Karena aku juga suka sama kamu, jadi kubilang saja kita pacaran."
Miky menatap tak suka.
Angga makin menunduk.
"Kamu lancang, Ang!"
"Maaf, aku memang tidak tahu diri."
Miky mengalihkan tatap. Ia tertegun. Dadanya berdebar lebih kencang. Di ujung koridor kelas Jerry berjalan sendiri.
"Mik!"
Miky tergagap.
"Kamu suka sama dia?"
"Kenapa kamu bertanya begitu?"
"Matamu selalu penuh kekaguman bila menatapnya."
Miky menunduk. Ia yakin wajahnya memerah.
"Benar kan, Mik?"
"Jam berapa kamu menjemputku?" tanya Miky mengalihkan pembicaraan.
Senyum Angga mengembang. Kedua bola matanya berbinar-binar. "Kamu serius, Mik?" suaranya hampir tidak percaya.
Miky mengangguk lemah.
***
Miky melepas cincin emas itu dari jari manisnya. Ia angsurkan pada Angga yang pegang setir. Mereka baru pulang dari rumah sakit. Menjenguk Mama Angga.
"Cincin itu sudah dikasih Mama sama kamu. Jadi pakai saja."
"Andai Mamamu tahu cerita sebenarnya, tentu beliau tidak akan memberikan cincin ini padaku."
Sekilas Angga menoleh. Ia menghela napas. Betapa aku ingin meraihmu. Memberimu bahagia sepanjang hidupku. Tapi mengapa hatimu terlalu jauh untuk kugapai?
"Ambillah, Ang! Aku tidak pantas memakai ini."
"Kalau kamu tidak mau memakainya, buang saja. Itu hakmu!" Dingin suara Angga.
Miky terkesiap mendengar suara itu, sampai ia lupa menarik tangannya yang masih mengangsurkan cincin itu. Angga salah menduga, ia kira Miky bersikeras mengembalikannya.
Angga merenggut cincin itu dari tangan Miky dan melemparkan keluar dari jendela mobil yang terbuka setengah. Mobil berhenti tiba-tiba. Bisa saja Miky terjerembab kalau tidak segera menahan keseimbangan tubuh.
"Ang...." pekik Miky.
"Kamu terlalu sombong, Mik! Aku masih bisa terima kamu menolakku. Tapi menolak pemberian Mama? Dengn tulus ia memberi, apa salahnya kamu terima. Atau setidaknya pura-pura kamu terima, lalu kamu campakkan ke comberan tanpa sepengetahuanku." Tinggi suara Angga. Dari tarikan napas yang keras, terlihat Angga tidak bisa membendung emosinya.
"Aku...."
"Maaf, maafkan aku, Mik!" Angga meraih tangan Miky. "Aku khilaf. Itu karena aku kecewa pada diriku sendiri. Mengapa aku tak mampu mendapatkanmu. Hingga terpaksa membohongi Mama di akhir hidupnya."
Miky membuang napas haru.
"Sekali lagi aku minta maaf sama kamu. Juga terima kasih mau menerima undangan Mama. Walau kita hanya memberi Mama kebahagiaan semu."
"Cincin tadi, Ang!"
"Biarlah, kalau kamu susah dibuatnya."
***
Sesaat mata mereka bertemu. Cepat Miky menunduk. Sungguh, ia merasa gugup menentang tatapan cowok itu. Lututnya lemas. Sampai kakinya bergetar.
"Maaf, saya buru-buru. Tidak melihat kamu mau keluar," cowok itu berkata. Tangannya memunguti buku Miky yang terjatuh ke lantai. Lalu ia serahkan ke Miky yang mematung.
Tanpa suara Miky berlalu. Bukan apa-apa. Ia sibuk menata detak jantungnya. Kalau saja dia tahu, makhluk yang menabraknya adalah Jerry, tentu Miky sudah pura-pura terjatuh. Atau pingsan sekalian. Agar Jerry membopong tubuhnya, tidak hanya berkata maaf.
Mata Jerry mengawasi Miky dari belakang.
"Gila, cantik banget! Stambuk baru, ya?" tanyanya pada kawannya.
"Payah kamu. Itu kan Miky. Anak Ekonomi, semester lima. Makanya matamu itu harus jelalatan lihat cewek. Jangan Cuma melototi buku melulu."
Jerry meringis. Di benaknya berkelebat kejadian barusan. Mereka bertabrakan di pintu perpustakaan. Wajah Miky terbenam di dadanya. Dan sampai saat ini, harum rambut Miky masih terasa pada setiap tarikan napasnya.
"Siapa tadi namanya?"
"Miky. Miky Saraswati."
***
"Mik!"
"Hem," sahut Miky. Tangannya sibuk memoles pewarna di bibirnya.
"Angga baru telepon."
Dari kaca rias ia melirik Nola yang berdiri di sampingnya.
"Terus?"
"Ia minta kamu ke rumah sakit. Mamanya kritis. Katanya sudah tidak ada harapan lagi. Ini juga atas permintaan Mamanya."
Miky menarik napas keras. Sejurus ia menatap Nola.
"Malam ini Jerry mengundangku ke rumahnya. Ada pesta perak perkawinan orangtuanya."
"Jadi kamu menolak?" Kening Nola mengerut.
"Terpaksa."
"Kan bisa, Mik, sekarang kamu pergi dulu ke rumah sakit. Baru ke rumah Jerry."
"Sebentar lagi Jerry menjemputku. Apa tanggapannya kalau aku pergi ke rumah sakit menjenguk Mama Angga."
"Dalam situasi seperti ini, Jerry pasti mengerti."
"Tidak bisa, La! Aku sudah bosan mengikuti sandiwara Angga."
"Kamu tidak punya perasaan, Mik!" desis Nola tajam. "Apa salahnya memenuhi keinginan Mamanya itu. Apa salahnya kamu membahagiakan hati orang di akhir hidupnya?"
"Aku...."
"Aku baru tahu, ternyata kamu sangat egois!" Nola berjalan ke pintu. Tidak ada gunanya membujuk lagi. Di ambang pintu Nola berhenti, berbalik menatap Miky.
"Cintamu pada Jerry terlalu buta, kurasa. Sampai kamu tidak bisa memilih mana yang harus diutamakan."
Miky tidak akan diam andai saja Nola tidak keburu membanting daun pintu. Ia tahu Nola marah padanya. Sebenarnya Miky juga tidak tega mengabaikan permintaan Mama Angga. Tapi dengan mengecewakan Jerry?
***
Miky menyusut butiran air di kedua belah pipi. Ada yang hancur dalam hati. Terasa sakit dan perih menusuk. Masih terbayang, ketika di pesta perak perkawinan orangtua Jerry kemarin, diumumkan juga pertunangan Jerry dengan anak gadis rekan kerja orangtua Jerry.
Terluka hati Miky. Meski tadi pagi Jerry datang menemuinya. Dengan sederet kata maaf berkata: ia sama sekali tidak mengetahui rencana pertunangan itu. Dengan linangan airmata berkata, hanya Miky yang ada dalam hatinya.
Semua itu tidak berguna. Karena nyatanya Jerry bertunangan dengan gadis itu. Dan hati Miky terlanjur luka.
"Mik...."
Cepat Miky menghapus airmata di pipinya, sebelum menoleh ke asal suara itu.
"Kamu sudah sembuh?"
Menyipit mata Miky.
"Aku minta maaf, Ang. Waktu Mamamu...."
"Tak apa, Mik! Waktu itu Nola bilang kamu demam tinggi. Mama juga memaklumi hal itu."
Miky menelan ludah yang terasa pahit. Ah, Nola!
"Sebelum meninggal, Mama sempat bilang, agar aku selalu bersamamu. Mama yakin kamu gadis yang baik. Dan Mama akan melihat kita bahagia dari alamnya," Angga tertawa masam. "Mama memang sangat menyayangiku. Jadi Mama takut anak bungsunya ini salah pilih."
"Mengertilah, Ang!"
"Aku sangat mengerti, Mik. Aku juga akan bahagia bila kamu bahagia. Makanya, kejarlah impian kamu itu. Siapa namanya, Mik? Jerry, ya? Ah, dia memang amat istimewa."
Mendengar nama Jerry disebut, airmata Miky mengucur lagi. Ia teringat cintanya yang kandas terhempas.
"Ada yang salah dengan ucapanku?"
Miky menggeleng dengan bahu terguncang. Miky menggigit bibir, menahan tangis agar tidak sampai pecah berderai.
Dengan memberanikan diri, Angga meraih Miky ke dalam pelukan. Miky tidak menolak. Justru tangisnya semakin kuat. Hingga Angga jadi bingung. Tapi perasaannya berkata, ada masalah dengan hubungan Miky dan Jerry.
Tangan Angga bergetar mengelus rambut Miky. Ada yang nikmat ia rasakan kata airmata Miky menembus kemeja dan menyentuh kulit dadanya.
Oh, Tuhan!
Mimpi pun Angga tidak berani kalau Miky akan berada dalam pelukannya seperti sekarang.
Miky masih menangis dalam pelukannya. Kedua mata Angga memejam. Memohon dalam hati, semoga waktu berhenti sampai di sini, agar selamanya Miky berada dalam pelukannya. ©
http://www.cafenovel.com/shortstory_adacintadalamdada.php
Miky tersentak bangun. Peluh menitik di wajahnya. Barusan ia bermpimpi Jerry menghancurkan keramik kesayangannya. Dalam mimpinya tadi, Miky sudah menyembah agar Jerry tidak melakukan itu. Tapi....
Nola dan Riya yang sedang merumpi di tempat tidur sebelah menatap bingung padanya.
"Kamu kenapa, Mik!"
Miky tergagap.
"Mimpi seram, ya? Sampai mandi keringat begitu!"
"Makanya jangan suka tidur kalau sore," sambung Riya.
"Aku bermimpi Jerry menghancurkan keramik kesayanganku," terang Miky. Matanya beralih pada keramik berbentuk dua remaja tengah duduk memancing di tepi kolam. Tangan kanan si lelaki memegang pancing sementara tangan kiri merangkul bahu sang dara, dengan kepala menyandar di bahu sang lelaki.
Tinggi keramik itu sekitar dua puluh sentimeter. Dipajang di atas meja belajar. Miky memang sangat sayang pada keramik itu. Itu oleh-oleh terakhir Mama sepulang dari Cina. Karena waktu itu mobil yang ditumpangi Mama kecelakaan sepulang dari bandara. Sedang Mama meninggal di tempat.
"Ah, Jerry lagi!" ujar Riya kesal.
"Edan, memang tahu dari mana Jerry, kalau kamu punya keramik itu?"
"Mana aku tahu, La! Namanya juga mimpi."
"Mungkin itu sebagai pertanda Jerry tidak suka sama kamu. Kalau dia menyukaimu, tidak mungkin dia tega menyakiti hatimu."
Miky terpekur. Barangkali benar ucapan Riya barusan. Buktinya, sudah dua tahun lebih mereka satu kampus. Sekali saja Jerry tidak pernah menegur dirinya. Padahal terlalu sering Miky 'mendekati'nya. Misalnya, ketika Jerry dan teman-temannya makan di kantin. Miky selalu ada di sana. Duduk tidak jauh dari Jerry. Makan dan diam. Tapi salah tingkahnya minta ampun. Pikirnya, pasti Jerry melahap segala geraknya. Bila Miky mencuri tatap, rasa kecewa selalu menghantam dada. Seperseratus detik saja Jerry tidak pernah melirik padanya.
Bahkan Jerry tidak menyadari kehadirannya di kantin. Yang lebih membuat sakit, Jerry tidak pernah tahu ada seorang Miky di dunia ini, yang mencintainya dengan sangat.
Ah, menyedihkan memang!
"Kamu sih, Mik, pasif banget. Kapan dapatnya tuh Jerry. Sementara dianya juga tidak pernah memperhatikanmu. Agresif sedikit, dong! Kasih sinyal bahwa kamu suka sama dia. Itu lebih baik daripada kamu diam saja. Seperti orang bilang: lebih baik gagal dalam usaha daripada tidak mencoba sama sekali. Makanya, Mik, sosor saja. Daripada ditangkap cewek lain. Kamu juga yang memble nantinya."
Lama Miky termenung. Bicara sih gampang, sungutnya. Memangnya banteng, main sosor. Jerry itu cowok manis. Imut begitu. Rada pendiam juga. Jadi pasti dia tidak suka sama cewek tomboi nan agresif.
"Aku pernah membaca di majalah, lebih baik hidup dengan orang yang mencintai kita, daripada dengan orang yang kita cintai."
"Artinya?"
"Miky harus melupakan Jerry. Dan menyambut cinta Angga. Itu akan membuat Miky jadi bahagia."
Miky menghela napas. Tanpa saran dari Nola, kalau memang bisa, sudah dari dulu dilakukannya. Bukannya Miky tidak pernah mencoba untuk beramah-tamah sama Angga. Miky ingin menjajaki perasaannya dulu. Seperti orang bilang, kebersamaan seringkali akan menimbulkan cinta. Tetapi ternyata, setiap kali dia berdekatan dengan Angga, selalu rasa jenuh dan bosan yang hadir. Barangkali memang, tidak ada cintanya buat Angga.
"Kurasa itu lebih baik, Mik!" Riya menyentuh tangannya. "Jerry saja tidak kenal sama kamu. Kamu juga tidak mau memperkenalkan diri."
Lagi-lagi Miky menghela napas. Membuang pandangan mata keluar jendela. Cuaca yang mendung, membuat dia keenakan di tempat tidur.
***
Miky membuang napas. Mengalihkan pandang pada mahasiswa yang lalu lalang.
"Mik!"
Miky menoleh sebentar.
Angga menatap lembut. Miky benci itu. Harusnya Angga tahu, hati Miky tidak bisa dipaksa untuk mencintainya.
"Mik!"
Miky tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak tega untuk menolak. Angga begitu baik padanya. Tetapi ia juga tidak mampu meluluskan permintaan itu.
"Jawablah, Mik!"
"Kenapa harus aku, Ang? Masih banyak yang lain," desisnya nyaris tidak terdengar.
"Jadi kamu menolak?" patah suara Angga.
Ingin Miky mengangguk. Lehernya terasa kaku. Ia tatap wajah Angga yang sendu.
"Tolonglah, Mik. Kita hanya bersandiwara di depan Mamaku. Agar Mama senang. Itu saja."
"Tapi...."
"Aku tahu kamu tidak mencintaiku. Aku juga tidak memaksa agar kamu mencintaiku. Tapi kumohon, mengertilah, Mik! Ini atas keinginan Mama. Mama ingin ketemu kamu. Dokter bilang, penyakit Mama tidak lagi tertolong. Tinggal menunggu waktu."
"Apa hubungannya sama aku?"
Angga menunduk. "Setahu Mama, kamu pacarku."
Berlipat kening Miky.
"Waktu kamu kuperkenalkan sama Mama, ia bilang suka sama kamu. Karena aku juga suka sama kamu, jadi kubilang saja kita pacaran."
Miky menatap tak suka.
Angga makin menunduk.
"Kamu lancang, Ang!"
"Maaf, aku memang tidak tahu diri."
Miky mengalihkan tatap. Ia tertegun. Dadanya berdebar lebih kencang. Di ujung koridor kelas Jerry berjalan sendiri.
"Mik!"
Miky tergagap.
"Kamu suka sama dia?"
"Kenapa kamu bertanya begitu?"
"Matamu selalu penuh kekaguman bila menatapnya."
Miky menunduk. Ia yakin wajahnya memerah.
"Benar kan, Mik?"
"Jam berapa kamu menjemputku?" tanya Miky mengalihkan pembicaraan.
Senyum Angga mengembang. Kedua bola matanya berbinar-binar. "Kamu serius, Mik?" suaranya hampir tidak percaya.
Miky mengangguk lemah.
***
Miky melepas cincin emas itu dari jari manisnya. Ia angsurkan pada Angga yang pegang setir. Mereka baru pulang dari rumah sakit. Menjenguk Mama Angga.
"Cincin itu sudah dikasih Mama sama kamu. Jadi pakai saja."
"Andai Mamamu tahu cerita sebenarnya, tentu beliau tidak akan memberikan cincin ini padaku."
Sekilas Angga menoleh. Ia menghela napas. Betapa aku ingin meraihmu. Memberimu bahagia sepanjang hidupku. Tapi mengapa hatimu terlalu jauh untuk kugapai?
"Ambillah, Ang! Aku tidak pantas memakai ini."
"Kalau kamu tidak mau memakainya, buang saja. Itu hakmu!" Dingin suara Angga.
Miky terkesiap mendengar suara itu, sampai ia lupa menarik tangannya yang masih mengangsurkan cincin itu. Angga salah menduga, ia kira Miky bersikeras mengembalikannya.
Angga merenggut cincin itu dari tangan Miky dan melemparkan keluar dari jendela mobil yang terbuka setengah. Mobil berhenti tiba-tiba. Bisa saja Miky terjerembab kalau tidak segera menahan keseimbangan tubuh.
"Ang...." pekik Miky.
"Kamu terlalu sombong, Mik! Aku masih bisa terima kamu menolakku. Tapi menolak pemberian Mama? Dengn tulus ia memberi, apa salahnya kamu terima. Atau setidaknya pura-pura kamu terima, lalu kamu campakkan ke comberan tanpa sepengetahuanku." Tinggi suara Angga. Dari tarikan napas yang keras, terlihat Angga tidak bisa membendung emosinya.
"Aku...."
"Maaf, maafkan aku, Mik!" Angga meraih tangan Miky. "Aku khilaf. Itu karena aku kecewa pada diriku sendiri. Mengapa aku tak mampu mendapatkanmu. Hingga terpaksa membohongi Mama di akhir hidupnya."
Miky membuang napas haru.
"Sekali lagi aku minta maaf sama kamu. Juga terima kasih mau menerima undangan Mama. Walau kita hanya memberi Mama kebahagiaan semu."
"Cincin tadi, Ang!"
"Biarlah, kalau kamu susah dibuatnya."
***
Sesaat mata mereka bertemu. Cepat Miky menunduk. Sungguh, ia merasa gugup menentang tatapan cowok itu. Lututnya lemas. Sampai kakinya bergetar.
"Maaf, saya buru-buru. Tidak melihat kamu mau keluar," cowok itu berkata. Tangannya memunguti buku Miky yang terjatuh ke lantai. Lalu ia serahkan ke Miky yang mematung.
Tanpa suara Miky berlalu. Bukan apa-apa. Ia sibuk menata detak jantungnya. Kalau saja dia tahu, makhluk yang menabraknya adalah Jerry, tentu Miky sudah pura-pura terjatuh. Atau pingsan sekalian. Agar Jerry membopong tubuhnya, tidak hanya berkata maaf.
Mata Jerry mengawasi Miky dari belakang.
"Gila, cantik banget! Stambuk baru, ya?" tanyanya pada kawannya.
"Payah kamu. Itu kan Miky. Anak Ekonomi, semester lima. Makanya matamu itu harus jelalatan lihat cewek. Jangan Cuma melototi buku melulu."
Jerry meringis. Di benaknya berkelebat kejadian barusan. Mereka bertabrakan di pintu perpustakaan. Wajah Miky terbenam di dadanya. Dan sampai saat ini, harum rambut Miky masih terasa pada setiap tarikan napasnya.
"Siapa tadi namanya?"
"Miky. Miky Saraswati."
***
"Mik!"
"Hem," sahut Miky. Tangannya sibuk memoles pewarna di bibirnya.
"Angga baru telepon."
Dari kaca rias ia melirik Nola yang berdiri di sampingnya.
"Terus?"
"Ia minta kamu ke rumah sakit. Mamanya kritis. Katanya sudah tidak ada harapan lagi. Ini juga atas permintaan Mamanya."
Miky menarik napas keras. Sejurus ia menatap Nola.
"Malam ini Jerry mengundangku ke rumahnya. Ada pesta perak perkawinan orangtuanya."
"Jadi kamu menolak?" Kening Nola mengerut.
"Terpaksa."
"Kan bisa, Mik, sekarang kamu pergi dulu ke rumah sakit. Baru ke rumah Jerry."
"Sebentar lagi Jerry menjemputku. Apa tanggapannya kalau aku pergi ke rumah sakit menjenguk Mama Angga."
"Dalam situasi seperti ini, Jerry pasti mengerti."
"Tidak bisa, La! Aku sudah bosan mengikuti sandiwara Angga."
"Kamu tidak punya perasaan, Mik!" desis Nola tajam. "Apa salahnya memenuhi keinginan Mamanya itu. Apa salahnya kamu membahagiakan hati orang di akhir hidupnya?"
"Aku...."
"Aku baru tahu, ternyata kamu sangat egois!" Nola berjalan ke pintu. Tidak ada gunanya membujuk lagi. Di ambang pintu Nola berhenti, berbalik menatap Miky.
"Cintamu pada Jerry terlalu buta, kurasa. Sampai kamu tidak bisa memilih mana yang harus diutamakan."
Miky tidak akan diam andai saja Nola tidak keburu membanting daun pintu. Ia tahu Nola marah padanya. Sebenarnya Miky juga tidak tega mengabaikan permintaan Mama Angga. Tapi dengan mengecewakan Jerry?
***
Miky menyusut butiran air di kedua belah pipi. Ada yang hancur dalam hati. Terasa sakit dan perih menusuk. Masih terbayang, ketika di pesta perak perkawinan orangtua Jerry kemarin, diumumkan juga pertunangan Jerry dengan anak gadis rekan kerja orangtua Jerry.
Terluka hati Miky. Meski tadi pagi Jerry datang menemuinya. Dengan sederet kata maaf berkata: ia sama sekali tidak mengetahui rencana pertunangan itu. Dengan linangan airmata berkata, hanya Miky yang ada dalam hatinya.
Semua itu tidak berguna. Karena nyatanya Jerry bertunangan dengan gadis itu. Dan hati Miky terlanjur luka.
"Mik...."
Cepat Miky menghapus airmata di pipinya, sebelum menoleh ke asal suara itu.
"Kamu sudah sembuh?"
Menyipit mata Miky.
"Aku minta maaf, Ang. Waktu Mamamu...."
"Tak apa, Mik! Waktu itu Nola bilang kamu demam tinggi. Mama juga memaklumi hal itu."
Miky menelan ludah yang terasa pahit. Ah, Nola!
"Sebelum meninggal, Mama sempat bilang, agar aku selalu bersamamu. Mama yakin kamu gadis yang baik. Dan Mama akan melihat kita bahagia dari alamnya," Angga tertawa masam. "Mama memang sangat menyayangiku. Jadi Mama takut anak bungsunya ini salah pilih."
"Mengertilah, Ang!"
"Aku sangat mengerti, Mik. Aku juga akan bahagia bila kamu bahagia. Makanya, kejarlah impian kamu itu. Siapa namanya, Mik? Jerry, ya? Ah, dia memang amat istimewa."
Mendengar nama Jerry disebut, airmata Miky mengucur lagi. Ia teringat cintanya yang kandas terhempas.
"Ada yang salah dengan ucapanku?"
Miky menggeleng dengan bahu terguncang. Miky menggigit bibir, menahan tangis agar tidak sampai pecah berderai.
Dengan memberanikan diri, Angga meraih Miky ke dalam pelukan. Miky tidak menolak. Justru tangisnya semakin kuat. Hingga Angga jadi bingung. Tapi perasaannya berkata, ada masalah dengan hubungan Miky dan Jerry.
Tangan Angga bergetar mengelus rambut Miky. Ada yang nikmat ia rasakan kata airmata Miky menembus kemeja dan menyentuh kulit dadanya.
Oh, Tuhan!
Mimpi pun Angga tidak berani kalau Miky akan berada dalam pelukannya seperti sekarang.
Miky masih menangis dalam pelukannya. Kedua mata Angga memejam. Memohon dalam hati, semoga waktu berhenti sampai di sini, agar selamanya Miky berada dalam pelukannya. ©
http://www.cafenovel.com/shortstory_adacintadalamdada.php
Nola dan Riya yang sedang merumpi di tempat tidur sebelah menatap bingung padanya.
"Kamu kenapa, Mik!"
Miky tergagap.
"Mimpi seram, ya? Sampai mandi keringat begitu!"
"Makanya jangan suka tidur kalau sore," sambung Riya.
"Aku bermimpi Jerry menghancurkan keramik kesayanganku," terang Miky. Matanya beralih pada keramik berbentuk dua remaja tengah duduk memancing di tepi kolam. Tangan kanan si lelaki memegang pancing sementara tangan kiri merangkul bahu sang dara, dengan kepala menyandar di bahu sang lelaki.
Tinggi keramik itu sekitar dua puluh sentimeter. Dipajang di atas meja belajar. Miky memang sangat sayang pada keramik itu. Itu oleh-oleh terakhir Mama sepulang dari Cina. Karena waktu itu mobil yang ditumpangi Mama kecelakaan sepulang dari bandara. Sedang Mama meninggal di tempat.
"Ah, Jerry lagi!" ujar Riya kesal.
"Edan, memang tahu dari mana Jerry, kalau kamu punya keramik itu?"
"Mana aku tahu, La! Namanya juga mimpi."
"Mungkin itu sebagai pertanda Jerry tidak suka sama kamu. Kalau dia menyukaimu, tidak mungkin dia tega menyakiti hatimu."
Miky terpekur. Barangkali benar ucapan Riya barusan. Buktinya, sudah dua tahun lebih mereka satu kampus. Sekali saja Jerry tidak pernah menegur dirinya. Padahal terlalu sering Miky 'mendekati'nya. Misalnya, ketika Jerry dan teman-temannya makan di kantin. Miky selalu ada di sana. Duduk tidak jauh dari Jerry. Makan dan diam. Tapi salah tingkahnya minta ampun. Pikirnya, pasti Jerry melahap segala geraknya. Bila Miky mencuri tatap, rasa kecewa selalu menghantam dada. Seperseratus detik saja Jerry tidak pernah melirik padanya.
Bahkan Jerry tidak menyadari kehadirannya di kantin. Yang lebih membuat sakit, Jerry tidak pernah tahu ada seorang Miky di dunia ini, yang mencintainya dengan sangat.
Ah, menyedihkan memang!
"Kamu sih, Mik, pasif banget. Kapan dapatnya tuh Jerry. Sementara dianya juga tidak pernah memperhatikanmu. Agresif sedikit, dong! Kasih sinyal bahwa kamu suka sama dia. Itu lebih baik daripada kamu diam saja. Seperti orang bilang: lebih baik gagal dalam usaha daripada tidak mencoba sama sekali. Makanya, Mik, sosor saja. Daripada ditangkap cewek lain. Kamu juga yang memble nantinya."
Lama Miky termenung. Bicara sih gampang, sungutnya. Memangnya banteng, main sosor. Jerry itu cowok manis. Imut begitu. Rada pendiam juga. Jadi pasti dia tidak suka sama cewek tomboi nan agresif.
"Aku pernah membaca di majalah, lebih baik hidup dengan orang yang mencintai kita, daripada dengan orang yang kita cintai."
"Artinya?"
"Miky harus melupakan Jerry. Dan menyambut cinta Angga. Itu akan membuat Miky jadi bahagia."
Miky menghela napas. Tanpa saran dari Nola, kalau memang bisa, sudah dari dulu dilakukannya. Bukannya Miky tidak pernah mencoba untuk beramah-tamah sama Angga. Miky ingin menjajaki perasaannya dulu. Seperti orang bilang, kebersamaan seringkali akan menimbulkan cinta. Tetapi ternyata, setiap kali dia berdekatan dengan Angga, selalu rasa jenuh dan bosan yang hadir. Barangkali memang, tidak ada cintanya buat Angga.
"Kurasa itu lebih baik, Mik!" Riya menyentuh tangannya. "Jerry saja tidak kenal sama kamu. Kamu juga tidak mau memperkenalkan diri."
Lagi-lagi Miky menghela napas. Membuang pandangan mata keluar jendela. Cuaca yang mendung, membuat dia keenakan di tempat tidur.
***
Miky membuang napas. Mengalihkan pandang pada mahasiswa yang lalu lalang.
"Mik!"
Miky menoleh sebentar.
Angga menatap lembut. Miky benci itu. Harusnya Angga tahu, hati Miky tidak bisa dipaksa untuk mencintainya.
"Mik!"
Miky tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak tega untuk menolak. Angga begitu baik padanya. Tetapi ia juga tidak mampu meluluskan permintaan itu.
"Jawablah, Mik!"
"Kenapa harus aku, Ang? Masih banyak yang lain," desisnya nyaris tidak terdengar.
"Jadi kamu menolak?" patah suara Angga.
Ingin Miky mengangguk. Lehernya terasa kaku. Ia tatap wajah Angga yang sendu.
"Tolonglah, Mik. Kita hanya bersandiwara di depan Mamaku. Agar Mama senang. Itu saja."
"Tapi...."
"Aku tahu kamu tidak mencintaiku. Aku juga tidak memaksa agar kamu mencintaiku. Tapi kumohon, mengertilah, Mik! Ini atas keinginan Mama. Mama ingin ketemu kamu. Dokter bilang, penyakit Mama tidak lagi tertolong. Tinggal menunggu waktu."
"Apa hubungannya sama aku?"
Angga menunduk. "Setahu Mama, kamu pacarku."
Berlipat kening Miky.
"Waktu kamu kuperkenalkan sama Mama, ia bilang suka sama kamu. Karena aku juga suka sama kamu, jadi kubilang saja kita pacaran."
Miky menatap tak suka.
Angga makin menunduk.
"Kamu lancang, Ang!"
"Maaf, aku memang tidak tahu diri."
Miky mengalihkan tatap. Ia tertegun. Dadanya berdebar lebih kencang. Di ujung koridor kelas Jerry berjalan sendiri.
"Mik!"
Miky tergagap.
"Kamu suka sama dia?"
"Kenapa kamu bertanya begitu?"
"Matamu selalu penuh kekaguman bila menatapnya."
Miky menunduk. Ia yakin wajahnya memerah.
"Benar kan, Mik?"
"Jam berapa kamu menjemputku?" tanya Miky mengalihkan pembicaraan.
Senyum Angga mengembang. Kedua bola matanya berbinar-binar. "Kamu serius, Mik?" suaranya hampir tidak percaya.
Miky mengangguk lemah.
***
Miky melepas cincin emas itu dari jari manisnya. Ia angsurkan pada Angga yang pegang setir. Mereka baru pulang dari rumah sakit. Menjenguk Mama Angga.
"Cincin itu sudah dikasih Mama sama kamu. Jadi pakai saja."
"Andai Mamamu tahu cerita sebenarnya, tentu beliau tidak akan memberikan cincin ini padaku."
Sekilas Angga menoleh. Ia menghela napas. Betapa aku ingin meraihmu. Memberimu bahagia sepanjang hidupku. Tapi mengapa hatimu terlalu jauh untuk kugapai?
"Ambillah, Ang! Aku tidak pantas memakai ini."
"Kalau kamu tidak mau memakainya, buang saja. Itu hakmu!" Dingin suara Angga.
Miky terkesiap mendengar suara itu, sampai ia lupa menarik tangannya yang masih mengangsurkan cincin itu. Angga salah menduga, ia kira Miky bersikeras mengembalikannya.
Angga merenggut cincin itu dari tangan Miky dan melemparkan keluar dari jendela mobil yang terbuka setengah. Mobil berhenti tiba-tiba. Bisa saja Miky terjerembab kalau tidak segera menahan keseimbangan tubuh.
"Ang...." pekik Miky.
"Kamu terlalu sombong, Mik! Aku masih bisa terima kamu menolakku. Tapi menolak pemberian Mama? Dengn tulus ia memberi, apa salahnya kamu terima. Atau setidaknya pura-pura kamu terima, lalu kamu campakkan ke comberan tanpa sepengetahuanku." Tinggi suara Angga. Dari tarikan napas yang keras, terlihat Angga tidak bisa membendung emosinya.
"Aku...."
"Maaf, maafkan aku, Mik!" Angga meraih tangan Miky. "Aku khilaf. Itu karena aku kecewa pada diriku sendiri. Mengapa aku tak mampu mendapatkanmu. Hingga terpaksa membohongi Mama di akhir hidupnya."
Miky membuang napas haru.
"Sekali lagi aku minta maaf sama kamu. Juga terima kasih mau menerima undangan Mama. Walau kita hanya memberi Mama kebahagiaan semu."
"Cincin tadi, Ang!"
"Biarlah, kalau kamu susah dibuatnya."
***
Sesaat mata mereka bertemu. Cepat Miky menunduk. Sungguh, ia merasa gugup menentang tatapan cowok itu. Lututnya lemas. Sampai kakinya bergetar.
"Maaf, saya buru-buru. Tidak melihat kamu mau keluar," cowok itu berkata. Tangannya memunguti buku Miky yang terjatuh ke lantai. Lalu ia serahkan ke Miky yang mematung.
Tanpa suara Miky berlalu. Bukan apa-apa. Ia sibuk menata detak jantungnya. Kalau saja dia tahu, makhluk yang menabraknya adalah Jerry, tentu Miky sudah pura-pura terjatuh. Atau pingsan sekalian. Agar Jerry membopong tubuhnya, tidak hanya berkata maaf.
Mata Jerry mengawasi Miky dari belakang.
"Gila, cantik banget! Stambuk baru, ya?" tanyanya pada kawannya.
"Payah kamu. Itu kan Miky. Anak Ekonomi, semester lima. Makanya matamu itu harus jelalatan lihat cewek. Jangan Cuma melototi buku melulu."
Jerry meringis. Di benaknya berkelebat kejadian barusan. Mereka bertabrakan di pintu perpustakaan. Wajah Miky terbenam di dadanya. Dan sampai saat ini, harum rambut Miky masih terasa pada setiap tarikan napasnya.
"Siapa tadi namanya?"
"Miky. Miky Saraswati."
***
"Mik!"
"Hem," sahut Miky. Tangannya sibuk memoles pewarna di bibirnya.
"Angga baru telepon."
Dari kaca rias ia melirik Nola yang berdiri di sampingnya.
"Terus?"
"Ia minta kamu ke rumah sakit. Mamanya kritis. Katanya sudah tidak ada harapan lagi. Ini juga atas permintaan Mamanya."
Miky menarik napas keras. Sejurus ia menatap Nola.
"Malam ini Jerry mengundangku ke rumahnya. Ada pesta perak perkawinan orangtuanya."
"Jadi kamu menolak?" Kening Nola mengerut.
"Terpaksa."
"Kan bisa, Mik, sekarang kamu pergi dulu ke rumah sakit. Baru ke rumah Jerry."
"Sebentar lagi Jerry menjemputku. Apa tanggapannya kalau aku pergi ke rumah sakit menjenguk Mama Angga."
"Dalam situasi seperti ini, Jerry pasti mengerti."
"Tidak bisa, La! Aku sudah bosan mengikuti sandiwara Angga."
"Kamu tidak punya perasaan, Mik!" desis Nola tajam. "Apa salahnya memenuhi keinginan Mamanya itu. Apa salahnya kamu membahagiakan hati orang di akhir hidupnya?"
"Aku...."
"Aku baru tahu, ternyata kamu sangat egois!" Nola berjalan ke pintu. Tidak ada gunanya membujuk lagi. Di ambang pintu Nola berhenti, berbalik menatap Miky.
"Cintamu pada Jerry terlalu buta, kurasa. Sampai kamu tidak bisa memilih mana yang harus diutamakan."
Miky tidak akan diam andai saja Nola tidak keburu membanting daun pintu. Ia tahu Nola marah padanya. Sebenarnya Miky juga tidak tega mengabaikan permintaan Mama Angga. Tapi dengan mengecewakan Jerry?
***
Miky menyusut butiran air di kedua belah pipi. Ada yang hancur dalam hati. Terasa sakit dan perih menusuk. Masih terbayang, ketika di pesta perak perkawinan orangtua Jerry kemarin, diumumkan juga pertunangan Jerry dengan anak gadis rekan kerja orangtua Jerry.
Terluka hati Miky. Meski tadi pagi Jerry datang menemuinya. Dengan sederet kata maaf berkata: ia sama sekali tidak mengetahui rencana pertunangan itu. Dengan linangan airmata berkata, hanya Miky yang ada dalam hatinya.
Semua itu tidak berguna. Karena nyatanya Jerry bertunangan dengan gadis itu. Dan hati Miky terlanjur luka.
"Mik...."
Cepat Miky menghapus airmata di pipinya, sebelum menoleh ke asal suara itu.
"Kamu sudah sembuh?"
Menyipit mata Miky.
"Aku minta maaf, Ang. Waktu Mamamu...."
"Tak apa, Mik! Waktu itu Nola bilang kamu demam tinggi. Mama juga memaklumi hal itu."
Miky menelan ludah yang terasa pahit. Ah, Nola!
"Sebelum meninggal, Mama sempat bilang, agar aku selalu bersamamu. Mama yakin kamu gadis yang baik. Dan Mama akan melihat kita bahagia dari alamnya," Angga tertawa masam. "Mama memang sangat menyayangiku. Jadi Mama takut anak bungsunya ini salah pilih."
"Mengertilah, Ang!"
"Aku sangat mengerti, Mik. Aku juga akan bahagia bila kamu bahagia. Makanya, kejarlah impian kamu itu. Siapa namanya, Mik? Jerry, ya? Ah, dia memang amat istimewa."
Mendengar nama Jerry disebut, airmata Miky mengucur lagi. Ia teringat cintanya yang kandas terhempas.
"Ada yang salah dengan ucapanku?"
Miky menggeleng dengan bahu terguncang. Miky menggigit bibir, menahan tangis agar tidak sampai pecah berderai.
Dengan memberanikan diri, Angga meraih Miky ke dalam pelukan. Miky tidak menolak. Justru tangisnya semakin kuat. Hingga Angga jadi bingung. Tapi perasaannya berkata, ada masalah dengan hubungan Miky dan Jerry.
Tangan Angga bergetar mengelus rambut Miky. Ada yang nikmat ia rasakan kata airmata Miky menembus kemeja dan menyentuh kulit dadanya.
Oh, Tuhan!
Mimpi pun Angga tidak berani kalau Miky akan berada dalam pelukannya seperti sekarang.
Miky masih menangis dalam pelukannya. Kedua mata Angga memejam. Memohon dalam hati, semoga waktu berhenti sampai di sini, agar selamanya Miky berada dalam pelukannya. ©
http://www.cafenovel.com/shortstory_adacintadalamdada.php
Kata-kata Terakhir Darimu
Hari ini adalah hari libur. Aku bahagia banget, karna aku bisa bersenang-senang seharian penuh. Bangun tidur aku langsung bergegas membuka jendela kamarku. Ku rasakan dinginnya pagi dan mentari yang menyinari. Aku lalu bergegas menuju kamar mandi untuk mandi dan bersiap-siap untuk melewati hari ini dengan penuh senyuman. Saat bersiap-siap terdengar dari kamarku suara klakson mobil. “Lety, Nak itu Aldo udah jemput kamu” Mama berteriak dari bawah “Iya Ma, suruh dia nungguin ntar ni aku lagi siap-siap” Sahutku sambil berteriak. “Sorry Al, gw tadi kesiangan bangun” ucapku pada Aldo “Iya kagak apa koq” jawab Aldo “Hmm, ayo cabut ngapain masi disini ??” ajakku segera pergi “Siph, ayo sayang ku” ucapnya sambil membukakan pintu mobil. “Kita mao cabut kmana, Beb?” tanyaku pada pacarku Aldo Driyan Saputra. Aldo adalah cinta pertamaku dia adalah orang yang berarti dalam hidupku. Aldo kamu telah berikan harapan yang indah bagiku. Ku harap kamu adalah Cinta Pertama dan Terakhir ku. “Ngapain kita ke tempat kayak beginian?” Tanya ku pada Aldo karna ia mengajakku ke tempat yang sangat asing bagiku, dan tenpat itu sangat sepi. “Gw mao bilang somethink ma Lu, tapi gw ga mao nyakitin Lu” ucapnya membuat penasaran “Kagak papa kali Beb, Lu crita aja sama gw!!” jawabku memaksa “Lety, yang harus Lu tau hidup gw tu kagak bakalan lama lagi, gw divonis dokter kanker otak stadium4, dan hidup gw bisa di hitung bulan, gw harap Lu bisa nrima gw apa adanya dan Lu kagak bakalan ninggalin gw sampe ajal yang memisahkan kita” ucapnya menyayat hati “Maksud Lu apa Al, Lu kagak nglantur kan? Ga mungkin Al itu semua ga mungkin” aku menangis di depan Aldo “Iya Letytia sayang” jawabnya sambil memeluk erat tubuhku “Tenang Aldo, aku akan temani kamu sampai kapan pun” aku menangisi semuanya “Beb, ayo kita lanjutin perjalanan kita bersenang-senang aku mau di hari-hari terakhirku aku bisa bersama kamu” ucap Aldo yang tambah membuatku tidak sanggup menghadapi semua ini “Ayo beb” ajak Aldo. Melihat wajah Aldo yang tampan aku menuruti semua permintaannya karena mungkin sebentar lagi aku tidak akan melihatnya lagi. Hari ini kulewati dengan keceriaan, walaupun sesuatu yang mengganjal hatiku membuat aku tambah gila. Saat aku tertidur pulas HP ku berbunyi. “Siapa sih ini malem-malem jam segini masi ganggu orang istirahat aja” gumamku sambil membuka mata “Haa? Tante Muti” kagetku dalam hati “Ada apa tante? Apa? Aldo kritis? Iya tante Lety ke sana sekarang” aku menerima telepon dengan kaget. Aldo sekarang kritis. Orang yang aku cintai dalam keadaan antara hidup dan mati. Tuhan mengapa semua ini harus terjadi padaku, aku tak sanggup lagi dengan semua ini. “Mama, Aldo kritis ma, ayo kita ke Rumah Sakit sekarang” ajakku ke Mama sambil aku menangis ketakutan. Sampai di rumah sakit, aku langsung menuju kamar ICU. Disana aku melihat Tante Muti menangis. Aku dan Mama berusaha memberi semangat pada Tante Muti. Sedang Mama menenangkan Tante Muti, aku masuk ke ruang ICU. Aku melihat kekasihku Aldo Driyan Saputra terbujur lemah. “Aldo sayang, aku akan selalu ada buat kamu, kamu adalah cinta pertamaku aku harap kamu cinta terakhirku, Aldo jangan tinggalin aku, aku butuh kamu aku ingin kamu kembali seperti dulu lagi Aldo kamu harus bertahan bertahan demi cinta kita”. Aku menangis dan memegang tangan Aldo dengan erat-erat. “Lety…Lety..Lety” Aldo memanggil-manggil namaku “Aldo ini aku Lety, kamu harus bertahan Aldo bertahanlah” ucapku. Tante Muti dan Mama langsung menghampiri kami. “Lety, kamu adalah gadis yang selalu ada untukku kamu adalah cinta pertama dan terakhir ku, dari dulu hatiku kujaga hanya untuk kamu Lety. Lety, kuharap kamu bisa melupakan ku dan mencari pengganti ku. Lety, kamu adalah jantung bagi kehidupanku Let kamu orang yang tulus. Aku bisa merasakan ketulusan kamu. Tapi, mungkin sampai disini kisah kita. Karna kita tak mungkin bersama lagi. Aku ingin kamu bahagia walaupun bukan bersama ku. Lety aku senang bisa mengenalmu hingga menjadi kekasihmu. Lety selamat tinggal aku titip Mama dan Papa aku. Selamat tinggal Letytia Cyntia Sary ku” kata-kata akhir Aldo sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya. “Aldo jangan tinggalin aku Aldo…Aldo,,” teriakan ku memecah suasana. Setelah pemakaman Aldo selesai aku pulang ke rumah Aldo dan aku bergegas ke kamar Aldo. Disana aku menemukan sebuah Diary. Disana tertulis bagaimana aku bisa bertemu Aldo sampai ajal memisahkan kita. Aldo aku akan selalu ingat kata-kata terakhir darimu itu. Aldo aku sayang padamu. Semoga cinta kita berlanjut di masa yang akan datang. Aku Cinta Kamu Aldo.
http://cerpen.net/cerpen-remaja/kata-kata-terakhir-darimu.html
http://cerpen.net/cerpen-remaja/kata-kata-terakhir-darimu.html
DI SISI PUSARAMU
....Batu Hitam, tanah merah, air mata dan taburan bunga, saksi kepergianmu menuju kedamaian abadi........
****
Ada gelisah yang menerpaku senja itu. Tepat ketika desau angin memberi irama sendu pada dedaunan yang memayungi tubuhku, pun bunga bunga yang betebaran pada gunduk tanah merah masih tetap mencipta warna pada rasa jiwaku yang belum dapat mempercai kenyataan ini.
Ya, sebuah kenyataan pahit yang membawaku untuk menyadari bahwa Dea, seorang gadis yang pernah memberi satu cahaya pada setiap langkah dan hari-hariku, kini telah pergi.
“Sudahlah, Rey. Jangan kamu sesali kepergian Dea,“ Shanty menyentuh bahuku.
“Menyesal ?” gumamku bertanya lirih. Rasa sesal memang menusuki rongga-rongga bathinku saat ini. Namun bukan atas kepergiannya, aku hanya menyesal telah tidak berada dekat Dea di saat-saat kepergiannya. Sebab aku pernah berjanji untuk selalu ada untuknya. Ya, aku memang tidak pernah tahu, mengapa dan bagaimana Dea selama empat bulan belakangan ini. Jelasnya sejak aku pergi meninggalkan Dea di Bandung untuk menetap di Cilegon, sebuah kota kecil yang panas.
Bila sekarang aku berada disini, itu karena sepucuk surat kilat khusus dari Shanty yang kuterima kemarin sore seusai sholat ashar. Aku tak heran apabila Shanty mengetahui alamatku di Cilegon. Andri sahabatku di Bandung yang juga pacar Shanty, adalah satu-satunya orang yang mengetahui dimana sekarang ini aku tinggal, dan tidak sulit bagi Shanty untuk meminta padanya agar memberikan alamatku, ketika memang ia harus memberitahukan aku tentang kematian sahabatnya.
Sore kemarin kupegang surat Shanty.
Ada bimbang yang menyeruak masuk ketika dengan perlahan kutelusuri baris-baris kalimat dalam surat Shanty sore itu...
Rey...., gimana kabar kamu ? Moga sehat dan baek aja, ya! Oya, barangkali surat ini agak ngagetin kamu..
Tapi yang penting, kamu mesti tahu berita yang aku sampein lewat surat ini. Rey...Dea meninggal hari Senen kemarin di rumah sakit. Barangkali baru hari Selasa siang ini dimakamin. Rey, kamu bisa menerima kenyataan ini, kan? Semoga ! Ya, aku harap kamu bisa nerima semua ini. Aku rasa cukup segini, dan aku ngarepin kamu bisa dateng ke Bandung. Ada titipan dari Dea buat kamu.....
Rabu sore itu aku termangu.
Aku limbung dan tetap terdiam ketika kakakku menegurku.
“Ada apa, Rey ?” Tanya Kak Myrna ketika nampak olehnya raut wajahku berubah setelah membaca surat Shanty.
Aku hanya bisa menyerahkan surat itu padanya.
“Kamu harus kesana, Rey !” Kata kak Myrna kemudian setelah membaca surat Shanty, ”apapun yang pernah terjadi diantara kalian, kamu harus ke Bandung !”
Aku mengangguk lemah, seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi. Namun yang pasti, sore itu kurasakan sebagai senja yang hitam dalam hariku dan hari yang membubuhkan tangis di kering jiwaku.
Tatapanku menerawang.
Burung-burung gereja yang beterbangan seolah mengiringi rasa galauku. Ada mendung yang menggelayut pada awan. Ada matahari yang sendu bersinar, dan sepertinya, semua mengerti aku.
Aku kehilangan.
Prasasti asa yang terkoyak, tergelar lebar di dadaku. Crystal kasih yang tertanam disetiap sisi hatiku menangis.
Seusai maghrib hari itu aku menuju Bandung.
***
Dan senja ini aku disini, masih tetap menunduk dan membiarkan air mata menggenang. Biarlah, biarlah di atas kehampaanku kini terpampang jelas seulas senyum Dea. Senyum yang mengukir cinta kasih di setiap relung hati kepunyaanku. Senyum yang juga telah menciptakan getir pada setiap detik-detik yang acapkali menemaniku. Senyum yang menghempaskan aku.
Dalam kesadaranku yang masih mengambang, kusempatkan menggulir do’a. Ya, sebait do’a untuk seorang gadis yang telah membenamkan aku dalam lumpur kasih. Seorang gadis yang telah melahirkan cinta pada setiap tulang belulangku. Sekaligus seorang gadis yang pernah mengekang aku pada tonggak ketidakpastian dan memaksaku untuk memagar diri pada kekecewaan.
“Rey...”
Aku mendongak.
“Udah hampir maghrib, Rey. Kita pulang!” Shanty berucap pelan, “Biarkan Dea tenang disana.”
Aku mendesah. Ada yang membuatku tetap ingin terpaku di sini. Aku masih ingin menemani Dea, dan ini yang menghadirkan rasa engganku beranjak dari sini.
“Kamu pulang duluan, deh !” kataku pada Shanty, “Aku masih ingin menemani Dea barang sebentar.”
“Kasihan Dea, Rey. Dia pasti kecewa kalau kamu seperti ini. Dulu ia begitu bangga dengan ketegaranmu, nyatanya, kamu belum sanggup ngadepin semua ini. Kamu cengeng, Rey !
Aku yakin, Dea akan sedih melihat kamu seperti ini. Ayolah, Rey !” ajak Shanty lagi.
Aku tersudut. Kebimbangan menjerat jiwaku. Sementara masih ada rasa yang membawaku tetap ingin di tempat ini. Menikmati kepedihan yang sengaja merasuk bathinku.
“Rey !” Shanty menegur, “ayolah !”
“Mengertilah aku, Shan !” aku memotong berharap, “biarkan aku disini !”
Shanty mengangkat bahu.
“Baiklah, Rey.. Aku cuma mau ngasih tahu, kalau sekarang udah hampir maghrib dan kamu nggak bisa cuma diam saja disini.” Shanty melangkah meninggalkan aku, “ Oya, titipan Dea ada di dalam mobil, sebentar aku ambilkan.”
Aku mengangguk, dan masih dengan diam kucoba telusuri hari-hari kebersamaanku dengan Dea. Tetap kucoba ketika matahari senja menampakkan kelembutannya memancar jingga dan menuntunku pada titian waktu yang pernah kutempuh bersama Dea. Begitu manis kenangan itu berjalan disetiap relung ingatanku.
Senja ini aku mengenangnya, mengenang Dea dan hari-hari lalu.
***
“Hei, cowok dodol, mau kemana ?” suara yang kukenali menegurku, ketika baru saja menstarter bebek tua-ku. Aku menoleh dan kulihat Dea berlari kecil menghampiriku sambil mengancungkan sebuah majalah.
Aku tersenyum
“Halo cerpenis dodol, gimana ? udah terima honor dari redaksi ? Cerita kamu baru aja Dea baca, pasti kamu sendiri belum lihat. Iya, kan ? Nih !” gadis itu menyerahkan majalah yang diacungkannya tadi.
Aku menerima dan kubuka lembaran pertama.
“Halaman duapuluh satu,” Dea memberi tahu tanpa kuminta, “Bagus lho ceritanya. Cuma, kapan dong acara traktirnya?”
Aku tersenyum seraya membuka halaman tersebut, “kan baru dimuat, jadi honornya belum aku terima dong!”
“Yaa..payoyeh !” Dea cemberut.
Aku menggeleng tersenyum sambil kuacak rambut Dea.
“Mau di mana ?” aku menawarkan seraya mengembalikan majalah tersebut pada Dea.
“Siiiplah ! CFC Merdeka, gimana ?”
Aku mengngguk, “Ya udah naek !”
Dea tersenyum manis sambil menaiki sadel bebek tua-ku, “pelan-pelan ya, Rey !”
Kujalankan sepeda motorku meninggalkan pelataran parkir sekolah untuk menembus Jalan Ir. H. Juanda menuju Jalan Merdeka.
Kelincahan dan kekonyolan Dea membuat aku sulit untuk menutupi rasa sayangku padanya. Itulah kenapa aku seringkali tidak ingin mengecewakannya. Dea begitu baik, segala perhatiannya padaku selama ini, telah menumbuhkan benih-benih rasa yang terpatri halus dalam ruang jiwaku. Namun sampai satu setengah tahun ini dekat dengannya, aku belum mampu mengutarakan satu kata yang tersimpan di sudut hatiku. Aku begitu takut, padahal aku tahu, tidak ada seorangpun yang khusus dalam keseharian Dea selain aku. Namun keyakinan itu hanya sebatas rasa, tanpa ada sebutir asa yang mampu memecahkan karang kokoh di jurang keraguanku akan kasih yang Dea tawarkan.
Barangkali ini bukan tanpa alasan, sebab telah banyak waktu yang kulalui bersama Dea, tapi tidak pernah juga ada sisi cinta yang terucap lewat kisah-kisah Dea setiap kali aku mencoba menyinggungnya. Keceriaan dan kelincahan Dea seolah sirna apabila aku mulai mencoba mencari kalimat untuk menelusuri bias-bias cinta pada hatinya. Keceriaannya segera berganti kemuraman yang menggelayuti wajah manisnya. Binar mata indahnya akan pudar ditelan sinar sendu yang terpancar dari sorot matanya, dan jika sudah seperti itu, selalu saja ia terdiam. Dan jujur, aku tak ingin Dea seperti itu.
“Kok, kamu diam aja, Rey ?” tiba-tiba suara lembut Dea menghamburkan gelisahku, “Ngelamunin siapa ?”
“Ngelamunin siapa, ya ?” kataku pura-pura bingung setelah kukembalikan kesadaranku.
“Kamu ini aneh, Rey?”
“Kenapa ?”
“Kok kamu nggak tau, sih !”
“Apa ?”
“Yang kamu lamunin tadi ?”
“Oooh...” jawabku seraya mengurangi laju bebekku.
“Cewek, ya ?”
“He eh.. “ santai kujawab pelan.
Dea terdiam, mendadak pertanyan-pertanyaannya menguap, hingga perlahan kurasakan tangannya mulai terlepas dari pinggangku.
“Kamu tahu siapa cewek itu ?” tanyaku menetralkan keadaan.
“Nggak !” jawab Dea enggan.
“Kamu..!” jawaban itu sebenarnya yang ingin aku teriakkan, namun bibirku mengucap,” Mpok Atik !”
Dea tertawa keras sambil meyubit pinggangku dan kembali melingkarkan tangannya disana, sepertinya ia lega mendengar jawabanku. Aku pun senang ia kembali seperti itu.
Dea yang manis dengan wajah lembut dan selalu kupanggil Bidadari mata indah itu, adalah gadis yang setiap saat memberi inspirasi pada cerita-cerita yang kutulis. Itulah sebabnya sebongkah cinta dalam jiwaku tersimpan pada ketulusan hati putih milik Dea.
Seminggu berlalu dari saat itu. Dan bersamaan dengan waktu yang berjalan, aku masih mencoba meniti hari dalam ketidakpastian yang mengombang-ambingkan perasaanku. Tetap berdiri pada ujung tonggak keraguan yang menjerat asa di sendi-sendi jiwaku. Hingga kemudian akhirnya, timbul desakan-desakan halus untuk melepaskan segala rasa yang sekian lama mematung di jantungku, pada gadis manis yang malam itu duduk dihadapanku.
“Apa yang mau kamu omongin sama aku, Rey ?”
Aku masih ragu.
Keberanian yang aku kumpulkan sejak di rumah seolah lenyap oleh pertanyaan Dea waktu itu.
Ya, apa yang ingin aku bicarakan ? Cinta ? Lantas mengapa aku masih kelu dalam diam, what’s wrong with me? Kenapa aku tidak terus terang saja, bukankah cinta itu soal hati ?
“Ngomong dong, Rey !” Dea mendesak.
Lagi-lagi aku hanya bisa diam dengan mencoba menatap mata indahnya, lalu kutundukkan kepala seraya kuperhatikan jari-jari tanganku yang mulai sibuk mengetuk-ngetuk meja.
“Kamu mau maen piano ?” Dea bergurau, mencoba menghilangkan ketegangan yang menyusup pada suasana Sabtu malam di serambi rumahnya.
Aku menghentikan gerak jariku sambil kembali menatap matanya, “Kamu manis, De !”
Dea tertawa kecil, “ jadi, kamu cuma mau ngomong itu, Rey ? kamu ini lucu, kan udah sering kamu ngomong kayak gitu, tapi kamu nggak pernah bingung seperti ini, Rey !?”
“Masalahnya....eemh..” aku terdiam.
“Kenapa, Rey ?”
“Masalahnya, eengh..., aku bukan cuma mau ngomong itu.”
“Lantas ?” tanya Dea lagi.
“emh..., gimana, ya !?”
“Lho, kamu ini kenapa sih, Rey !?” Dea heran dengan tingkahku malam itu.
Aku meraih gelas yang isinya masih utuh. Kuteguk air jeruk itu, lalu...
“Kamu nggak marah kalau aku ngomong sesuatu yang lain ?” tanyaku akhirnya.
Dea kembali tertawa, “ Rey, Rey, apa pernah aku marah sama kamu?”
Aku menggeleng.
“Jadi...?”
“Aku Cuma mau ngomong, kalau selama ini aku suka sama kamu. Maksudku, aku pengen kamu jadi pacarku,” ucapku akhirnya dan kurasakan seperti baru saja terlepas dari beban berat yang menghimpitku.
Dea mendadak diam.
Aku gelisah, kupandangi wajah Dea, tampak olehku butir bening mengambang di kedua mata indahnya.
Ah, ada rasa sesal yang datang ketika aku coba menunduk.
Beberapa detik diam berlalu.
Kembali aku mengangkat wajah untuk menatap wajah Dea yang masih diam terpaku.
“Kamu kenapa, De ?” kikuk kupaksakan bertanya.
Kepala Dea menunduk.
“Kamu marah ?” tanyaku lagi pada Dea.
Dea menggeleng.
“Lalu ?”
“Aku,..ngh..” kali ini isaknya terdengar, “aku, aku nggak bisa Rey..”
Aku terkesiap.
“Maafin aku Rey. Aku belum bisa untuk itu.”
Aku terdiam, tak percaya.
“Kamu mau maafin aku kan Rey?” menyesal sekali nadanya.
Aku menggeleng, “nggak ada yang perlu dimaafin, De, nggak sama sekali. Kamu nggak salah !”
Dea menggigit bibirnya, tangisnya tumpah karena tak mampu Dea tahan. Sementara aku tetap memilih diam.
“Kalau begitu aku pulang dulu ya, De.” Kataku seraya bangkit, “ oya, terimakasih buat hari-hari kita yang pernah ada ya, De.”
“Rey ?!” Dea memandangku terkejut.
“Aku tetap sayang kamu, De !” kataku tersenyum meyakinkan Dea sambil mengacak rambutnya dan mendekapkan kepalanya ke dadaku.
“Aku pulang ya, De !”
Dea mengangguk lemah, sambil tetap memandangku.
Entah kenapa, setelah malam itu aku merasa kehilangan sesuatu. Kelincahan dan kekonyolan Dea tidak lagi kutemui pada setiap hari-harinya. Keriangan dan keceriaannya sudah tidak lagi kujumpai di sekolah, bahkan di rumah. Dan aku merasa telah mematahkan tiang-tiang kebahagiaannya.
Kerengganganku dengan Dea saat itu membuatku merasa bersalah, dan rasa bersalah itu pulalah yang membuatku harus melakukan sesuatu. Ya, bagaimanapun Dea harus kembali seperti sebelumnya, kembali kedalam keceriaannya, dan untuk mengembalikan semua itu, maka kuputuskan untuk pergi meninggalkan Bandung, meninggalkan semua cerita kebersamaanku dengan Dea, demi kebahagiaannya, agar Dea tidak lagi canggung mengembalikan keriangan, kekonyolan dan kelincahannya.
Cilegon, kota kecil inilah yang kupilih untuk menghapus segala harapan dan kebahagiaanku bersama Dea, seorang Dea yang dengan pancaran kasih tulusnya telah memaksaku membentur kenyataan, bahwa hatinya tak menyimpan cinta...
***
“Rey, kamu masih ngelamun ?” Shanty memecah diamku.
Aku menoleh, kulihat sesuatu di tangan Shanty, sebuah bungkusan berwarna biru. Inikah titipan itu ?
“Rey, beberapa hari sebelum Dea meninggal, ia memberikan ini padaku, dan Dea pesan agar bungkusan ini aku kasih buat kamu. Dea bilang, ada sesuatu yang bisa bikin kamu mengerti disini,” ucap Shanty seraya menyerahkan bungkusan itu padaku.
Aku menerima, kemudian kutatap Shanty.
Shanty mengangguk.
Ada getar yang menjalari tanganku ketika kucoba membuka bungkusan itu..
Sebuah buku harian, foto album serta sepucuk surat !
Aku menyentuh perlahan benda-benda itu, pelan-pelan kulihat foto-foto yang terpampang dalam album, foto-foto kebersamaanku dengan Dea, dan masih dengan perlahan kucoba membuka dan membaca surat bersampul coklat muda itu...
Buat kamu Rey..
Rey yang baek, barangkali Dea udah nggak ada pas kamu baca surat ini. Terus terang Rey, sebenernya Dea pengen kamu tetep deket Dea. Itulah kenapa Dea sedih waktu kamu ninggalin Dea tanpa salam.
Rey, Dea pengen kamu tau perasaan Dea selama ini sama kamu. Kalau Dea boleh jujur, sebenernya Dea ngerasa seneng yang nggak kepalang waktu kamu bilang kamu pengen jadi pacar Dea.
Sungguh, Rey, ternyata perasaan Dea selama ini nggak bertepuk sebelah tangan. Tapi Dea sadar, hal itu nggak boleh terjadi.
Kamu tau kenapa, Rey ? Selama ini Dea nggak pernah cerita sama kamu, sebab Dea nggak mau dikasihani karena semua itu. Rey, leukemia yang bersarang di tubuh Dea, bikin Dea takut untuk mencintai dan dicintai kamu. Rey, kamu bisa ngerti, kan ? Dea harap begitu.
O iya Rey, benda-benda yang aku kasih ke kamu, adalah rasaku atas kamu. Lewat semua itu, Dea pengen kamu tetap mengenang seorang Dea yang tulus mengasihi kamu.
Sekali lagi Dea minta maaf udah ngecewain kamu, dan Dea Cuma bisa bilang, Selamat tinggal dan kenanglah Dea disetiap hembusan nafasmu.
Dea
Ah, kenapa mesti sekarang kamu beritahu aku, De ? kenapa ? apakah kamu tidak merasakan ada yang tersiksa disini, di dadaku ?
Ada galau yang menerpaku senja itu, tepat setelah membaca surat terakhir Dea. Sepertinya tidak ada lagi yang dapat kuperbuat selain diam dan menyesali diri. Sungguh, aku telah kehilangan kata-kata bila harus mengurai perasaanku saat ini.
Aku hanya bisa bersimpuh dan mencoba merengkuh pusara hitam yang kokoh terpancang di tanah merah bertabur bunga.
Aku menangis.
“Sudahlah, Rey !” Shanty merengkuh bahuku.”Percayalah, Dea sudah tenang disana.”
Aku berdiri, mencoba menatap langit yang kini mulai tersapu awan hitam, kemudian melangkah seiring gema adzan maghrib dan meninggalkan hening sunyi pekuburan ini, sambil tetap kusempatkan berucap lirih...
“Selamat jalan, Dea. Semoga kedamaian senantiasa Tuhan berikan untukmu, sementara biarlah cintaku terpatri disini,
“ya, disini, di sisi pusaramu !”
****
http://cerpen.net/cerpen-cinta/di-sisi-pusaramu.html
****
Ada gelisah yang menerpaku senja itu. Tepat ketika desau angin memberi irama sendu pada dedaunan yang memayungi tubuhku, pun bunga bunga yang betebaran pada gunduk tanah merah masih tetap mencipta warna pada rasa jiwaku yang belum dapat mempercai kenyataan ini.
Ya, sebuah kenyataan pahit yang membawaku untuk menyadari bahwa Dea, seorang gadis yang pernah memberi satu cahaya pada setiap langkah dan hari-hariku, kini telah pergi.
“Sudahlah, Rey. Jangan kamu sesali kepergian Dea,“ Shanty menyentuh bahuku.
“Menyesal ?” gumamku bertanya lirih. Rasa sesal memang menusuki rongga-rongga bathinku saat ini. Namun bukan atas kepergiannya, aku hanya menyesal telah tidak berada dekat Dea di saat-saat kepergiannya. Sebab aku pernah berjanji untuk selalu ada untuknya. Ya, aku memang tidak pernah tahu, mengapa dan bagaimana Dea selama empat bulan belakangan ini. Jelasnya sejak aku pergi meninggalkan Dea di Bandung untuk menetap di Cilegon, sebuah kota kecil yang panas.
Bila sekarang aku berada disini, itu karena sepucuk surat kilat khusus dari Shanty yang kuterima kemarin sore seusai sholat ashar. Aku tak heran apabila Shanty mengetahui alamatku di Cilegon. Andri sahabatku di Bandung yang juga pacar Shanty, adalah satu-satunya orang yang mengetahui dimana sekarang ini aku tinggal, dan tidak sulit bagi Shanty untuk meminta padanya agar memberikan alamatku, ketika memang ia harus memberitahukan aku tentang kematian sahabatnya.
Sore kemarin kupegang surat Shanty.
Ada bimbang yang menyeruak masuk ketika dengan perlahan kutelusuri baris-baris kalimat dalam surat Shanty sore itu...
Rey...., gimana kabar kamu ? Moga sehat dan baek aja, ya! Oya, barangkali surat ini agak ngagetin kamu..
Tapi yang penting, kamu mesti tahu berita yang aku sampein lewat surat ini. Rey...Dea meninggal hari Senen kemarin di rumah sakit. Barangkali baru hari Selasa siang ini dimakamin. Rey, kamu bisa menerima kenyataan ini, kan? Semoga ! Ya, aku harap kamu bisa nerima semua ini. Aku rasa cukup segini, dan aku ngarepin kamu bisa dateng ke Bandung. Ada titipan dari Dea buat kamu.....
Rabu sore itu aku termangu.
Aku limbung dan tetap terdiam ketika kakakku menegurku.
“Ada apa, Rey ?” Tanya Kak Myrna ketika nampak olehnya raut wajahku berubah setelah membaca surat Shanty.
Aku hanya bisa menyerahkan surat itu padanya.
“Kamu harus kesana, Rey !” Kata kak Myrna kemudian setelah membaca surat Shanty, ”apapun yang pernah terjadi diantara kalian, kamu harus ke Bandung !”
Aku mengangguk lemah, seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi. Namun yang pasti, sore itu kurasakan sebagai senja yang hitam dalam hariku dan hari yang membubuhkan tangis di kering jiwaku.
Tatapanku menerawang.
Burung-burung gereja yang beterbangan seolah mengiringi rasa galauku. Ada mendung yang menggelayut pada awan. Ada matahari yang sendu bersinar, dan sepertinya, semua mengerti aku.
Aku kehilangan.
Prasasti asa yang terkoyak, tergelar lebar di dadaku. Crystal kasih yang tertanam disetiap sisi hatiku menangis.
Seusai maghrib hari itu aku menuju Bandung.
***
Dan senja ini aku disini, masih tetap menunduk dan membiarkan air mata menggenang. Biarlah, biarlah di atas kehampaanku kini terpampang jelas seulas senyum Dea. Senyum yang mengukir cinta kasih di setiap relung hati kepunyaanku. Senyum yang juga telah menciptakan getir pada setiap detik-detik yang acapkali menemaniku. Senyum yang menghempaskan aku.
Dalam kesadaranku yang masih mengambang, kusempatkan menggulir do’a. Ya, sebait do’a untuk seorang gadis yang telah membenamkan aku dalam lumpur kasih. Seorang gadis yang telah melahirkan cinta pada setiap tulang belulangku. Sekaligus seorang gadis yang pernah mengekang aku pada tonggak ketidakpastian dan memaksaku untuk memagar diri pada kekecewaan.
“Rey...”
Aku mendongak.
“Udah hampir maghrib, Rey. Kita pulang!” Shanty berucap pelan, “Biarkan Dea tenang disana.”
Aku mendesah. Ada yang membuatku tetap ingin terpaku di sini. Aku masih ingin menemani Dea, dan ini yang menghadirkan rasa engganku beranjak dari sini.
“Kamu pulang duluan, deh !” kataku pada Shanty, “Aku masih ingin menemani Dea barang sebentar.”
“Kasihan Dea, Rey. Dia pasti kecewa kalau kamu seperti ini. Dulu ia begitu bangga dengan ketegaranmu, nyatanya, kamu belum sanggup ngadepin semua ini. Kamu cengeng, Rey !
Aku yakin, Dea akan sedih melihat kamu seperti ini. Ayolah, Rey !” ajak Shanty lagi.
Aku tersudut. Kebimbangan menjerat jiwaku. Sementara masih ada rasa yang membawaku tetap ingin di tempat ini. Menikmati kepedihan yang sengaja merasuk bathinku.
“Rey !” Shanty menegur, “ayolah !”
“Mengertilah aku, Shan !” aku memotong berharap, “biarkan aku disini !”
Shanty mengangkat bahu.
“Baiklah, Rey.. Aku cuma mau ngasih tahu, kalau sekarang udah hampir maghrib dan kamu nggak bisa cuma diam saja disini.” Shanty melangkah meninggalkan aku, “ Oya, titipan Dea ada di dalam mobil, sebentar aku ambilkan.”
Aku mengangguk, dan masih dengan diam kucoba telusuri hari-hari kebersamaanku dengan Dea. Tetap kucoba ketika matahari senja menampakkan kelembutannya memancar jingga dan menuntunku pada titian waktu yang pernah kutempuh bersama Dea. Begitu manis kenangan itu berjalan disetiap relung ingatanku.
Senja ini aku mengenangnya, mengenang Dea dan hari-hari lalu.
***
“Hei, cowok dodol, mau kemana ?” suara yang kukenali menegurku, ketika baru saja menstarter bebek tua-ku. Aku menoleh dan kulihat Dea berlari kecil menghampiriku sambil mengancungkan sebuah majalah.
Aku tersenyum
“Halo cerpenis dodol, gimana ? udah terima honor dari redaksi ? Cerita kamu baru aja Dea baca, pasti kamu sendiri belum lihat. Iya, kan ? Nih !” gadis itu menyerahkan majalah yang diacungkannya tadi.
Aku menerima dan kubuka lembaran pertama.
“Halaman duapuluh satu,” Dea memberi tahu tanpa kuminta, “Bagus lho ceritanya. Cuma, kapan dong acara traktirnya?”
Aku tersenyum seraya membuka halaman tersebut, “kan baru dimuat, jadi honornya belum aku terima dong!”
“Yaa..payoyeh !” Dea cemberut.
Aku menggeleng tersenyum sambil kuacak rambut Dea.
“Mau di mana ?” aku menawarkan seraya mengembalikan majalah tersebut pada Dea.
“Siiiplah ! CFC Merdeka, gimana ?”
Aku mengngguk, “Ya udah naek !”
Dea tersenyum manis sambil menaiki sadel bebek tua-ku, “pelan-pelan ya, Rey !”
Kujalankan sepeda motorku meninggalkan pelataran parkir sekolah untuk menembus Jalan Ir. H. Juanda menuju Jalan Merdeka.
Kelincahan dan kekonyolan Dea membuat aku sulit untuk menutupi rasa sayangku padanya. Itulah kenapa aku seringkali tidak ingin mengecewakannya. Dea begitu baik, segala perhatiannya padaku selama ini, telah menumbuhkan benih-benih rasa yang terpatri halus dalam ruang jiwaku. Namun sampai satu setengah tahun ini dekat dengannya, aku belum mampu mengutarakan satu kata yang tersimpan di sudut hatiku. Aku begitu takut, padahal aku tahu, tidak ada seorangpun yang khusus dalam keseharian Dea selain aku. Namun keyakinan itu hanya sebatas rasa, tanpa ada sebutir asa yang mampu memecahkan karang kokoh di jurang keraguanku akan kasih yang Dea tawarkan.
Barangkali ini bukan tanpa alasan, sebab telah banyak waktu yang kulalui bersama Dea, tapi tidak pernah juga ada sisi cinta yang terucap lewat kisah-kisah Dea setiap kali aku mencoba menyinggungnya. Keceriaan dan kelincahan Dea seolah sirna apabila aku mulai mencoba mencari kalimat untuk menelusuri bias-bias cinta pada hatinya. Keceriaannya segera berganti kemuraman yang menggelayuti wajah manisnya. Binar mata indahnya akan pudar ditelan sinar sendu yang terpancar dari sorot matanya, dan jika sudah seperti itu, selalu saja ia terdiam. Dan jujur, aku tak ingin Dea seperti itu.
“Kok, kamu diam aja, Rey ?” tiba-tiba suara lembut Dea menghamburkan gelisahku, “Ngelamunin siapa ?”
“Ngelamunin siapa, ya ?” kataku pura-pura bingung setelah kukembalikan kesadaranku.
“Kamu ini aneh, Rey?”
“Kenapa ?”
“Kok kamu nggak tau, sih !”
“Apa ?”
“Yang kamu lamunin tadi ?”
“Oooh...” jawabku seraya mengurangi laju bebekku.
“Cewek, ya ?”
“He eh.. “ santai kujawab pelan.
Dea terdiam, mendadak pertanyan-pertanyaannya menguap, hingga perlahan kurasakan tangannya mulai terlepas dari pinggangku.
“Kamu tahu siapa cewek itu ?” tanyaku menetralkan keadaan.
“Nggak !” jawab Dea enggan.
“Kamu..!” jawaban itu sebenarnya yang ingin aku teriakkan, namun bibirku mengucap,” Mpok Atik !”
Dea tertawa keras sambil meyubit pinggangku dan kembali melingkarkan tangannya disana, sepertinya ia lega mendengar jawabanku. Aku pun senang ia kembali seperti itu.
Dea yang manis dengan wajah lembut dan selalu kupanggil Bidadari mata indah itu, adalah gadis yang setiap saat memberi inspirasi pada cerita-cerita yang kutulis. Itulah sebabnya sebongkah cinta dalam jiwaku tersimpan pada ketulusan hati putih milik Dea.
Seminggu berlalu dari saat itu. Dan bersamaan dengan waktu yang berjalan, aku masih mencoba meniti hari dalam ketidakpastian yang mengombang-ambingkan perasaanku. Tetap berdiri pada ujung tonggak keraguan yang menjerat asa di sendi-sendi jiwaku. Hingga kemudian akhirnya, timbul desakan-desakan halus untuk melepaskan segala rasa yang sekian lama mematung di jantungku, pada gadis manis yang malam itu duduk dihadapanku.
“Apa yang mau kamu omongin sama aku, Rey ?”
Aku masih ragu.
Keberanian yang aku kumpulkan sejak di rumah seolah lenyap oleh pertanyaan Dea waktu itu.
Ya, apa yang ingin aku bicarakan ? Cinta ? Lantas mengapa aku masih kelu dalam diam, what’s wrong with me? Kenapa aku tidak terus terang saja, bukankah cinta itu soal hati ?
“Ngomong dong, Rey !” Dea mendesak.
Lagi-lagi aku hanya bisa diam dengan mencoba menatap mata indahnya, lalu kutundukkan kepala seraya kuperhatikan jari-jari tanganku yang mulai sibuk mengetuk-ngetuk meja.
“Kamu mau maen piano ?” Dea bergurau, mencoba menghilangkan ketegangan yang menyusup pada suasana Sabtu malam di serambi rumahnya.
Aku menghentikan gerak jariku sambil kembali menatap matanya, “Kamu manis, De !”
Dea tertawa kecil, “ jadi, kamu cuma mau ngomong itu, Rey ? kamu ini lucu, kan udah sering kamu ngomong kayak gitu, tapi kamu nggak pernah bingung seperti ini, Rey !?”
“Masalahnya....eemh..” aku terdiam.
“Kenapa, Rey ?”
“Masalahnya, eengh..., aku bukan cuma mau ngomong itu.”
“Lantas ?” tanya Dea lagi.
“emh..., gimana, ya !?”
“Lho, kamu ini kenapa sih, Rey !?” Dea heran dengan tingkahku malam itu.
Aku meraih gelas yang isinya masih utuh. Kuteguk air jeruk itu, lalu...
“Kamu nggak marah kalau aku ngomong sesuatu yang lain ?” tanyaku akhirnya.
Dea kembali tertawa, “ Rey, Rey, apa pernah aku marah sama kamu?”
Aku menggeleng.
“Jadi...?”
“Aku Cuma mau ngomong, kalau selama ini aku suka sama kamu. Maksudku, aku pengen kamu jadi pacarku,” ucapku akhirnya dan kurasakan seperti baru saja terlepas dari beban berat yang menghimpitku.
Dea mendadak diam.
Aku gelisah, kupandangi wajah Dea, tampak olehku butir bening mengambang di kedua mata indahnya.
Ah, ada rasa sesal yang datang ketika aku coba menunduk.
Beberapa detik diam berlalu.
Kembali aku mengangkat wajah untuk menatap wajah Dea yang masih diam terpaku.
“Kamu kenapa, De ?” kikuk kupaksakan bertanya.
Kepala Dea menunduk.
“Kamu marah ?” tanyaku lagi pada Dea.
Dea menggeleng.
“Lalu ?”
“Aku,..ngh..” kali ini isaknya terdengar, “aku, aku nggak bisa Rey..”
Aku terkesiap.
“Maafin aku Rey. Aku belum bisa untuk itu.”
Aku terdiam, tak percaya.
“Kamu mau maafin aku kan Rey?” menyesal sekali nadanya.
Aku menggeleng, “nggak ada yang perlu dimaafin, De, nggak sama sekali. Kamu nggak salah !”
Dea menggigit bibirnya, tangisnya tumpah karena tak mampu Dea tahan. Sementara aku tetap memilih diam.
“Kalau begitu aku pulang dulu ya, De.” Kataku seraya bangkit, “ oya, terimakasih buat hari-hari kita yang pernah ada ya, De.”
“Rey ?!” Dea memandangku terkejut.
“Aku tetap sayang kamu, De !” kataku tersenyum meyakinkan Dea sambil mengacak rambutnya dan mendekapkan kepalanya ke dadaku.
“Aku pulang ya, De !”
Dea mengangguk lemah, sambil tetap memandangku.
Entah kenapa, setelah malam itu aku merasa kehilangan sesuatu. Kelincahan dan kekonyolan Dea tidak lagi kutemui pada setiap hari-harinya. Keriangan dan keceriaannya sudah tidak lagi kujumpai di sekolah, bahkan di rumah. Dan aku merasa telah mematahkan tiang-tiang kebahagiaannya.
Kerengganganku dengan Dea saat itu membuatku merasa bersalah, dan rasa bersalah itu pulalah yang membuatku harus melakukan sesuatu. Ya, bagaimanapun Dea harus kembali seperti sebelumnya, kembali kedalam keceriaannya, dan untuk mengembalikan semua itu, maka kuputuskan untuk pergi meninggalkan Bandung, meninggalkan semua cerita kebersamaanku dengan Dea, demi kebahagiaannya, agar Dea tidak lagi canggung mengembalikan keriangan, kekonyolan dan kelincahannya.
Cilegon, kota kecil inilah yang kupilih untuk menghapus segala harapan dan kebahagiaanku bersama Dea, seorang Dea yang dengan pancaran kasih tulusnya telah memaksaku membentur kenyataan, bahwa hatinya tak menyimpan cinta...
***
“Rey, kamu masih ngelamun ?” Shanty memecah diamku.
Aku menoleh, kulihat sesuatu di tangan Shanty, sebuah bungkusan berwarna biru. Inikah titipan itu ?
“Rey, beberapa hari sebelum Dea meninggal, ia memberikan ini padaku, dan Dea pesan agar bungkusan ini aku kasih buat kamu. Dea bilang, ada sesuatu yang bisa bikin kamu mengerti disini,” ucap Shanty seraya menyerahkan bungkusan itu padaku.
Aku menerima, kemudian kutatap Shanty.
Shanty mengangguk.
Ada getar yang menjalari tanganku ketika kucoba membuka bungkusan itu..
Sebuah buku harian, foto album serta sepucuk surat !
Aku menyentuh perlahan benda-benda itu, pelan-pelan kulihat foto-foto yang terpampang dalam album, foto-foto kebersamaanku dengan Dea, dan masih dengan perlahan kucoba membuka dan membaca surat bersampul coklat muda itu...
Buat kamu Rey..
Rey yang baek, barangkali Dea udah nggak ada pas kamu baca surat ini. Terus terang Rey, sebenernya Dea pengen kamu tetep deket Dea. Itulah kenapa Dea sedih waktu kamu ninggalin Dea tanpa salam.
Rey, Dea pengen kamu tau perasaan Dea selama ini sama kamu. Kalau Dea boleh jujur, sebenernya Dea ngerasa seneng yang nggak kepalang waktu kamu bilang kamu pengen jadi pacar Dea.
Sungguh, Rey, ternyata perasaan Dea selama ini nggak bertepuk sebelah tangan. Tapi Dea sadar, hal itu nggak boleh terjadi.
Kamu tau kenapa, Rey ? Selama ini Dea nggak pernah cerita sama kamu, sebab Dea nggak mau dikasihani karena semua itu. Rey, leukemia yang bersarang di tubuh Dea, bikin Dea takut untuk mencintai dan dicintai kamu. Rey, kamu bisa ngerti, kan ? Dea harap begitu.
O iya Rey, benda-benda yang aku kasih ke kamu, adalah rasaku atas kamu. Lewat semua itu, Dea pengen kamu tetap mengenang seorang Dea yang tulus mengasihi kamu.
Sekali lagi Dea minta maaf udah ngecewain kamu, dan Dea Cuma bisa bilang, Selamat tinggal dan kenanglah Dea disetiap hembusan nafasmu.
Dea
Ah, kenapa mesti sekarang kamu beritahu aku, De ? kenapa ? apakah kamu tidak merasakan ada yang tersiksa disini, di dadaku ?
Ada galau yang menerpaku senja itu, tepat setelah membaca surat terakhir Dea. Sepertinya tidak ada lagi yang dapat kuperbuat selain diam dan menyesali diri. Sungguh, aku telah kehilangan kata-kata bila harus mengurai perasaanku saat ini.
Aku hanya bisa bersimpuh dan mencoba merengkuh pusara hitam yang kokoh terpancang di tanah merah bertabur bunga.
Aku menangis.
“Sudahlah, Rey !” Shanty merengkuh bahuku.”Percayalah, Dea sudah tenang disana.”
Aku berdiri, mencoba menatap langit yang kini mulai tersapu awan hitam, kemudian melangkah seiring gema adzan maghrib dan meninggalkan hening sunyi pekuburan ini, sambil tetap kusempatkan berucap lirih...
“Selamat jalan, Dea. Semoga kedamaian senantiasa Tuhan berikan untukmu, sementara biarlah cintaku terpatri disini,
“ya, disini, di sisi pusaramu !”
****
http://cerpen.net/cerpen-cinta/di-sisi-pusaramu.html
Bolehkah Aku Mencintainya Tuhan?
Aku berlari sekuat tenaga menuju kelasku. Peluh membasahi sekujur tubuhku. Sial! Kenapa harus telat di hari sepenting ini! Jika aku tidak sampai di kelas sebelum Pak Judy datang, bisa sia-sia usahaku belajar mati-matian kemarin malam hanya demi ulangan kimia menyebalkan ini. Langkah kakiku semakin cepat dan dengan reflek membawaku ke koridor kelas yang selalu aku lewati. Aku sedikit lega ketika melihat dari jauh pintu kelasku yang masih terbuka. Kutambah kecepatanku dan entah apa yang terjadi kemudian, lututku terasa nyeri sekali. Aku terjerembab di lantai koridor tempatku berlari dan sadarlah aku telah menabrak seseorang dengan begitu kerasnya. Mataku tertuju pada pemandangan di depanku. Seorang gadis berkerudung tengah memunguti lembaran-lembaran kertas yang berterbangan di lantai. Aku bisa melihat darah yang mengalir pada punggung tangannya ketika dia merapikan lembaran kertas itu. Aku berusaha berdiri dan membersihkan seragamku yang penuh debu, kemudian menghampiri gadis yang kutabrak tadi. “maaf, kau baik-baik saja?” tanyaku seraya mengulurkan tangan kepadanya. Dia berusaha berdiri sendiri dengan lutut yang gemetar sambil terus mencengkram erat lembaran-lembaran itu dalam dekapannya. Dia mengangguk perlahan lalu menggeser tubuhnya ke kiri untuk melewatiku. Tidak sedikitpun tatapan matanya tertuju ke arahku. “hey, tanganmu berdarah” kataku lagi. Mungkin dia marah besar padaku karena tak sengaja menabraknya tadi. Gadis itu menghentikan langkahnya untuk mengamati jari-jari tangannya yang berdarah hingga menodai lembaran kertas putih ditangannya. Aku benar-benar merasa bersalah kepadanya. Kuambil sapu tangan dalam saku celanaku dan memberikannya pada gadis itu. Dia menerimanya dan tersenyum memandangku sambil mengucapkan terimakasih kemudian melanjutkan langkahnya lagi. Aku tertegun melihatnya. Tatapan matanya benar-benar ramah dan tak sedikitpun menunjukkan ekspresi marah dalam raut wajahnya yang rupawan. Tak mampu aku mengalihkan pandangan darinya hingga dia menghilang memasuki salah satu ruangan kelas. Aku kembali tersadar. Tapi terlambat. Kulihat pintu kelasku yang telah tertutup rapat dengan tatapan menyedihkan. Dan dengan gontai aku kembali melangkah ke ruang kelasku. Gagal sudah usahaku untuk mengikuti ulangan hari ini. Pak Judy tidak akan membiarkanku masuk begitu saja dan memperbolehkan aku mengikuti ulangannya. Aku duduk bersandar dikursi panjang depan kelasku dan menunggu hingga jam pelajaran pertama usai. ***Esoknya, Hari ini aku datang pagi sekali. Aku sengaja memperlambat langkah kakiku mulai dari tempat parkir hingga ke ruang kelas. Mencoba mengamati satu persatu kelas yang kulewati dangan harapan bisa bertemu dengan gadis itu lagi. Apa aku benar-benar telah jatuh cinta padanya? Pada pandangan pertama? Mustahil… mana mungkin aku jatuh cinta pada gadis berkerudung seperti dia? Aku berhenti sejenak dan memejamkan mata. Berharap bisa meredam perasaan aneh yang tiba-tiba muncul dan mengganggu pikiranku. Berusaha membuang senyumannya dari benakku… “Assalammu’alaikum…” ada suara yang menyapaku. Dengan cepat aku membuka mata dan melihat wajah rupawan yang pernah aku lihat sebelumnya. Hatiku berdesir ringan begitu tahu dari mana asal suara selembut beledu itu datang. Gadis itu… Aku tak tahu apa yang sebaiknya harus kukatakan… “eh, iya. Wa...wa’alaikum salam…” jawabku ragu. Dia tersenyum simpul mendengar jawabanku dan menyodorkan kain seputih gading padaku. Sapu tanganku. Aku mengambilnya dan memandangi sapu tangan itu sejenak sebelum kembali melihat wajahnya. “terimakasih…” katanya. “iya, maafin aku. Karena aku tanganmu terluka” lirihku mengingat kejadian kemarin. “nggak apa… Selamat belajar, Assalammu’alaikum…” katanya lagi. Aku hanya terdiam melihatnya tersenyum. Namun perlahan senyumnya menghilang dan untuk beberapa saat dia menatapku tajam dengan kening berkerut, sebelum aku menyadari apa maksudnya. “eh, maaf… sebenarnya aku nggak biasa menjawab salam dari seorang muslim…” kataku pelan. Aku mencoba agar nada bicaraku selembut mungkin agar tidak melukai perasaannya. Kurasa dia mengerti maksud pembicaraanku. Ada semburat warna merah muda di rona wajahnya. “maaf… aku… nggak tahu kalau…” “nggak apa kok, nggak perlu sungkan…” potongku. Keadaan ini benar-benar membuatnya salah tingkah. “eh, terimakasih… sampai jumpa…” dengan cepat dia membalikkan badannya untuk pergi. “tunggu… siapa namamu?” Tanyaku sebelum dia sempat melangkah lebih jauh lagi. Dia memutar badannya ke arahku. “panggil saja Azkia” jawabnya singkat. “aku Reo, 11 IPA 3. Senang berkenalan denganmu, Azkia…” “sama-sama…” dia menyunggingkan senyumnya lagi kemudian berjalan menjauhiku. Kerudungnya berkibar pelan di belakangnya. Tak urung aku melihatnya pergi hingga menghilang dari jarak pandangku. Azkia…*** “woy, Reo! Dengerin gue bicara nggak sih?” Alec memukul bangkuku gusar. aku tak mengerti apa yang dibicarakannya tadi. Mengganggu saja. “apaan sih!” jawabku kesal. “ngelamun mulu dari tadi… Gue bilang, gue tau sapa Azkia yang lo maksud itu” seketika aku duduk tegak di kursiku. Alec terlihat puas dengan dirinya sendiri. Menyebalkan. “apa lo dapet informasi baru tentang dia?” tanyaku tak sabar. “nah, itu yang baru mau gue omongin…” aku memelototi Alec jengkel, memaksanya untuk segera bicara. “oke, oke… dia ketua Takmir sekolah ini, dia masuk kelas Acceleration. Artinya kalian bakal sekelas bulan depan” Alec tersenyum iseng. Aku mengedipkan mata beberapa kali, tak percaya. Aku? Sekelas dengan gadis yang selama ini mengganggu pikiranku? “sekarang dia di kelas apa?” tanyaku. “11 IPA 1” tanpa pikir panjang lagi aku keluar kelas untuk menemuinya. Setidaknya, aku ingin akrab dengannya walau tak mungkin bersamanya. Aku berlari meninggalkan ruang kelasku hingga ke koridor awal sebelum tikungan. Ragu-ragu kudekati pintu kelasnya. Tak lama, kulihat Azkia sedang menekuni buku di depannya dan sesekali menengok ke arah teman sebangkunya dan tersenyum. Aku bingung apa yang sebaiknya aku lakukan. Apa langsung aku sapa saja dia dari sini? Atau kuhampiri bangkunya terlebih dulu? Bagaimana kalau dia tak mengacuhkanku? Mau kuletakkan dimana mukaku? Tuhan, lakukan sesuatu… “sedang apa disini?” aku mundur selangkah ketika mendengar pertanyaan itu. Azkia! “eh, aku… mencarimu…” kataku kemudian. Azkia menilik ekspresiku dengan tenang. Melihat keseriusan dari raut wajahku. Dia tersenyum. “ada yang perlu kau bicarakan?” tanyanya. “nggak… aku cuma ingin mengobrol denganmu” jawabku canggung. Lagi-lagi dia tersenyum, lalu mengangguk. Azkia memperhatikan aku dengan seksama, menungguku bicara. Sial! Kenapa aku tak bisa berkonsentrasi disaat seperti ini… “Maaf… Ngomong-ngomong, nanti siang kamu ada acara nggak? Aku ingin makan siang bareng kamu…” aku bener-bener udah nggak waras kali ya? Mana mungkin dia akan terima tawaran bodohku ini… “baiklah… Dimana?” apa? Aku tak percaya mendengar kata-katanya barusan. Mustahil… “Reo?” lirihnya tak sabar. Aku diam sejenak sebelum menjawab. “eh, di kafe dekat perpustakaan umum? Aku tunggu kamu disana” kataku gugup. “bolehkah aku mengajak serta teman dekatku?” tanyanya lagi.“tentu saja…” jawabku ringan.“Oke. Sampai ketemu siang nanti, Reo…” ucapnya. “sampai ketemu juga… Makasih sebelumnya, Azkia…” dia tersenyum lagi padaku dan menggangguk. Kemudian masuk kembali ke kelasnya. Aku puas sekali hari ini.*** Setelah makan siang dengan Azkia sebulan yang lalu, kami jadi semakin akrab. Entah kenapa, perasaanku damai banget setiap dia ada di dekatku. Aku ingin tak peduli dengan perbedaan agama yang kita yakini, tapi aku juga tak bisa meninggalkan begitu saja aturan agama yang telah diajarkan kepadaku sejak lahir. Azkia sangat menghormati agamaku. Sebagai ketua takmir, dia tak pernah sekalipun menyinggung atau mencoba membuatku menyukai agamanya. Dia tak mengacuhkan sindiran orang-orang yang syirik padanya karena berteman akrab denganku. Malam ini aku berjanji pada Azkia akan membantunya membuat dekorasi mushola sekolah untuk peringatan datangnya Bulan Ramadhan. Aku tahu pasti apa yang dilakukan umat Islam pada bulan itu. Sampai sekarang aku tak habis pikir, mengapa mereka rela menyiksa diri sendiri hanya untuk menahan makan dan minum selama satu bulan penuh. “sebaiknya kamu pulang, kamu udah banyak membantu hari ini” Azkia tersenyum. Kubalas senyumannya. “kamu juga harus pulang kan? Butuh tumpangan? Sebenernya aku juga pingin tau dimana rumahmu” aku mengedipkan sebelah mataku. Azkia tertawa renyah melihatku. Suara tawanya, membuat perutku bergejolak menyenangkan. Gawat… “kalau kamu nggak keberatan? Aku mau sholat isya’ dulu…” lirihnya. Aku mengangguk dan mengikutinya sampai diteras mushola. Azkia segera beranjak untuk melakukan ibadahnya. Kusandarkan tubuhku kesalah satu tiang didekatku. Tersenyum dalam hati merasakan perasaan aneh ini. Rasanya sudah tak sanggup lagi aku memendam rasa cintaku padanya terlalu lama. Tapi aku juga tak ingin dia menjauhiku karena perasaanku ini. mungkin sebaiknya kusimpan saja dulu. Aku melirik kedalam mushola, dan kulihat Azkia bersembahyang dengan tenang. Kuamati gerakan yang dilakukannya dengan seksama. Semua gerakannya terlihat sangat anggun. Aku benar-benar tersihir dengan pemandangan di depanku. Belum pernah kulihat seseorang dengan raut wajah seikhlas itu. Kelembutan yang terpancar dari dalam hatinya membuat wajahnya seakan bersinar. Sebutir air mata membasahi pipinya ketika dia menengadahkan tangannya. Bisa kulihat kepedihan dari sorot matanya, seakan menuntut pertolongan yang tak kunjung datang. Azkia menangis pada Tuhannya… Begitu kulihat Azkia menyeka air mata dan melipat mukenahnya, aku kembali ke posisiku semula. Selama ini aku tak pernah tahu apa yang membuatnya begitu sedih. Yang kutahu, dia gadis ceria yang penuh sopan santun pada semua orang. Kudengar derap langkah pelan mendekatiku. Aku tahu itu Azkia. Ketika kulihat wajahnya, tak nampak sedikitpun bekas air mata dipipinya. Raut wajah kembali berseri seperti biasa karena senyuman yang selalu menghiasinya. “maaf lama menunggu…” katanya tersipu. “nggak apa kok. Pulang yuk?” jawabku seraya berdiri dan berjalan mendekati mobilku. Azkia menggangguk.
http://cerpen.net/cerpen-sadending/bolehkah-aku-mencintainya-tuhan.html
http://cerpen.net/cerpen-sadending/bolehkah-aku-mencintainya-tuhan.html
Menunggu Keseriusan
“Kia, sebenarnya aku sudah capek, kalo kita kayak gini terus, aku pengen kita berhenti ribut, musuhan dan bertengkar, kamu mau kan?”
“Heh, dengar ya Do, aku sebenarnya juga nggak pengen lagi ribut sama kamu, kamu kira aku juga nggak capek apa?”
“Iya ya, Kia, aku juga pengen bilang ke kamu sesuatu yang selama ini aku pendam, aku pengen ngomong serius sama kamu.”
“Ya udah, ngomong aja, apa?!!!”
“Kia sebenarnya, sejak pertama, sejak dulu sekali aku suka sama kamu, aku sayang sama kamu........”
“Haa .....?!!!! He-he ....he-he....”
“Kamu jangan ketawa, aku serius, dari dulu aku pendam perasaanku ini ke kamu, dan sekarang aku udah capek, makanya aku bilang aja ke kamu semuanya, kalo dari pertama kita kenal aku suka dan sayang sama kamu, tapi ..tapi... sebagai teman.
Apa-apaan sih si Dado ini, aku benar-benar benci sama dia. Beberapa detik yang lalu baru aja dia bilang kalo dia suka dan sayang sama aku, tapi kenapa sekarang dipertegasnya dengan kata-kata sebagai teman, aku jadi nggak bisa mengartikan dengan jelas, apa yang ada di ahti dia sebenarnya. Tapi mata Dado merah, dia seperti mau nangis, aku juga nggak tau harus jawab apa? Sepatah katapun nggak ada keluar dari mulutku.
Akhirnya aku ninggalin dia, dengan perasaan yang binggung dan masih bimbang, rasanya aku ingin mengungkapkan isi hatiku juga, tapi kenapa justru aku cuma bisa diam? Aneh banget? Andai aja Dado tau kalo aku juga punya perasaan yang sama ke dia, tapi kenapa akhirnya dia malah ngomong sebagai teman ya? Apa mungkin karena tadi aku meresponnya dengan ketawa, aduuuuh ....gimana ini? aku salah, andai aja tadi nggak ngetawain dia ......
Hari-hari pun berlalu, aku dan Dado nggak pernah teguran lagi. Selama ini walopun kami sering berantem, tapi satu yang nggak pernah kami lakukan, yaitu saling diam. Nah, sekarang udah hampir 2 minggu kami berdua nggak pernah ngomong lagi. Entah siapa yang mulai duluan. Yang jelas, aku dan Dado sampe sekarang nggak ada yang mengalah.
Siang ini, aku nggak menyangka melihat pemandangan yang membuat jantungku serasa mau copot. Di cafe itu saat jam istirahat aku melihat Dado lagi duduk berhadapan dengan seorang cewek. Dia bukan karyawan di tempat kami kerja. Aku baru pertama kali ini ngelihat dia. Dia cantik, dan kayaknya mereka lagi asik ngobrol sambil ketawa-ketawa. Aku merasa sakit banget, aku cemburu, patah hati, marah dan benci banget sama mereka. apalagi sama Dado, apa maksudnya kayak gini, baru dua minggu yang lalu dia bilang suka dan sayang sama aku, dan cepat banget dia langsung dekatin cewek lain.
Aku terus mencoba menghindari dari Dado, kadang entah Tuhan yang mungkin mengaturnya, aku dan dia selalu aja selisih jalan, sampe-sampe kadang kami malah tabrakan, dan akhirnya dengan spontan kami langsung menghindar. Aku sebenarnya udah capek banget kalo terus kayak gini terus. Entah kapan masalah ini bakal selesai. Sampai akhirnya, aku dengar berita yang membuat aku kaget. Dado sekarang jadian sama cewek yang waktu itu aku pernah aku liat di cafe. Awalnya aku nggak percaya dan mungkin hatiku nggak bisa terima. Cepat banget rasanya Dado membuang jauh perasaannya dulu buat aku. apa mungkin selama ini dia nggak tulus ke aku?
Beberapa bulan berlalu, aku masih merasa menyesal dengan kejadian yang dulu. aku masih sering merasa sakit kalo aku liat Dado dan pacarnya.
Tapi apa boleh buat, semua udah terjadi, penyesalan selalu pasti datangnya belakangan. Sekarang yang membuatku masih tetap mau satu kerja dengan Dado cuma masa depanku, aku harus mikirin masa depanku juga, aku nggak mau gara-gara cowok hidupku hancur. Walopun sebenarnya jauh di hati kecilku, aku emang udah hancur, sakit, perih dan segala macamnya aku rasakan. Tapi untuk menghibur diriku sendiri, aku juga berhasil membenci Dado sepenuh hatiku. Aku bisa menghilangkan penderitaanku dengan cara membencinya. Yang aku rasa semakin hari aku semakin benci Dado.
Suatu hari, waktu bangun pagi aku ngalamin sesuatu yang lain, dalam pikiranku terlintas wajah Dado. Tiba-tiba hatiku jadi lunak, perasaan benci, kesal, sakit, hilang perlahan-lahan. Rasanya pintu maaf buat Dado udah terbuka lebar, tapi aku nggak tau kenapa aku tiba-tiba jadi selembut ini. Aku yang biasanya keras hati dan keras kepala sekarang terasa lemah dan cengeng banget. Nggak kerasa air mataku jatuh begitu aja, aku menangis sejadi-jadinya, perasaan yang campur aduk bermain di hatiku. Aku mulai menerima Dado di hatiku, aku merasa aku harus memaafkan dia, aku harus ikhlaskan dia buat siapapun, karena yang terjadi selama ini sebenarnya aku nggak pernah rela dia bahagia dengan siapapun, makanya timbul rasa benci di hatiku sendiri yang seharusnya nggak boleh aku rasakan. Aku udah jahat dan berdosa. Maafkan aku Tuhan.
Di tempat kerja, entah kenapa Dado kayak mencoba lagi buat deketin aku. Apa dia merasakan hal yang sama denganku? Dia mulai menegurku, dan tentu aja aku nggak nyuekin dia lagi. Di wajah Dado kelihatan ada rasa heran dan kaget, waktu aku merespon dia. Dia mencoba tersenyum, dan aku pun membalas senyumannya dengan tulus. Bahagia banget rasanya bisa membuat orang senang. Dan emang bahagia juga rasanya bila nggak ada rasa benci dalam hati. Sekarang aku udah bisa ikhlas merelakan Dado dengan cewek itu, dia pasti sangat bahagia kan? Di dalam hati aku coba untuk meminta sama Dado, karena terus terang aku belum berani buat langsung ngomong sama dia. Waktu Dado lagi sendirian dan nggak tau lagi mikiran apa, diam-diam aku menatapnya, aku seolah-olah bertelepati dengan dia dan mengirimkan kata maaf ke telinganya. Aku berdoa, ya Tuhan dia dengarin aku.
Malamnya, waktu aku nunggu jemputanku pulang kerja. Rasanya jantungku mau copot waktu Dado datang tiba-tiba menghampiriku. Spontan mengambil dua tanganku.
“Kia, aku mau minta maaf. Kamu mau kan maafkan aku?”
“........ya.”
“Benar Kia? Kamu udah maafin aku? Sekarang berarti kita temanan lagi donk?”
“........ya, aku juga minta maaf Do.”
“Kia, aku senang banget, akhirnya kita bisa temanan lagi, kamu tau nggak? Udah dua bulan kita nggak teguran.Aku nggak percaya selama ini kamu tahan banget kayak gini, kamu benar-benar keras Kia.”
“Yee .... emang kamu apaan donk? Kalo nggak keras juga? Kamu juga tahan kan, kenapa baru sekarang kamu berani tegur aku lagi, coba?”
Akhirnya, beban yang selama ini aku tanggung terlepaskan juga. Emang waktu yang lumayan lama banget untuk punya musuh di dunia ini. Dua bulan, aku nggak pernah teguran sama Dado. Selama itu juga aku jadi cewek jahat, kasar yang sering nyakitin hati Dado. Nggak cuma Dado sih, teman-teman di sekitarku juga kena getahnya lantaran selama ini mereka juga memaksaku buat memaffkan Dado. Tapi toh, dua bulan itu aku keras banget, dan nggak ada yang bisa meruntuhkan aku kecuali perasaanku tadi pagi yang tiba-tiba aja muncul waktu aku bangun pagi. Emang aneh.
Yang masih bikin aku penasaran, gimana ya kabar Dado sama pacarnya? apa mereka masih pacaran, koq anehnya beberapa minggu terakhir ini Dado pun jarang banget jalan sama cewek itu lagi. Apa mereka udah putus? Aku pun nggak pernah dengarin gosip mereka. Dan tiba-tiba aku tertarik banget buat mengetahuinya.
“Cewek kamu mana Do, koq sekarang aku jarang banget liat kalian jalan bareng?”
“Oo.. Dwi? Kita udah putus. Udah sebulan ini nggak ada komunikasi.”
Jadi mana cewek itu Dwi, cewek yang dibilang teman-temanku mirip banget sama Dado. Dan sering banget digosipkan kalo mereka itu bakalan berjodoh karena wajahnya yang mirip. Waktu aku masih benci sama Dado, aku berpendapat, soal jodoh kan di tangan Tuhan, belum tentu mereka jodoh hanya karena wajahnya mirip. Tapi, aku penasaran kenapa sampe putus. Yang aku amati sih, hubungan mereka kayaknya baik-baik aja. Kayak membaca pikiranku, Dado langsung menjawabnya.
“Dwi bukan cewek yang nggak benar, Kia. Ternyata dia suka mainin perasaan cowok, selain itu dia juga matre. Dwi, juga suka bergaul dengan teman-teman cewek yang nggak benar, suka ngerokok, pergi dugem, aahhh .... segala macamlah. Yang jelas, kayaknya aku nggak pernah bisa mencintainya dari dulu sampe sekarang.”
“Maksud kamu?”
“Ya, dari pertama aku kenal Dwi, aku berusaha keras buat cinta sama dia, tapi kayaknya yang selama ini aku rasa nggak pernah tulus. Aku nggak benar-benar mencintai dia.”
“Trus ....?”
“Ya, trus, berarti selama ini aku udah membohongi dia, aku bohong dengan diriku sendiri, dan aku juga udah bohong sama kamu.”
“Maksud kamu? Apa hubungannya dengan aku?”
Dengan pura-pura bego’ aku terus bertanya ke Dado, dan ...
“Kia, aku masih suka dan sayang sama kamu.”
“Ha-ha .....ha-ha apa? Kamu nggak salah, serius ato bercanda?”
Aduuuh ....... kenapa aku tertawa lagi ya, ya Tuhan mudah-mudahan nggak melenceng deh.
“Bercanda ....!!!”
“Oww, bercanda ya Do? Kirain kamu serius tadi, ha-ha ...ha-ha ...ada-ada aja kamu.”
“Ya udah, aku pulang duluan ya, kamu belum dijemput juga?”
“Nggak tau deh, koq belum dateng ya?”
Beberapa saat suasana antara aku dan Dado jadi canggung. Sumpah, aku benar-benar kaget denger Dado bilang bercanda tadi. Aku mengutuk-ngutuk sendiri dalam hati. Jadinya koq malah kayak dulu sih? Gimana ini? Koq aku juga bego ya. Artinya, sebelum Dado pamit dan mencoba menghidupkan mesin motornya, tiba-tiba spontan aku memanggil dia.
“Dado, kamu sebenarnya serius ato bercanda sih? Kamu marah sama aku?”
“Lho, kenapa aku mesti marah sama kamu? Udah, nggak usah dipikirin, aku cuma bercanda koq.......”
Sekali lagi aku tanya sama kamu ya, kamu serius kan Do dengan perasaan kamu?”
“ ...........”
“Do, ayo jawab, aku benci banget dengan Dado yang kayak ini, kenapa sih Do dari dulu sampe sekarang kamu nggak pernah mau ilangin sifat gengsi dan jaim kamu?”
“Iya, Kia .....aku serius masih suka dan sayang sama kamu, dari dulu aku ngak pernah bisa melupakan kamu, walopun aku sudah mencoba membuka hati buat cewek yang lain. Tapi, entah kenapa aku selalu sayang suma sama kamu. Aku pernah berdoa Kia, moga-moga aja Tuhan mempersatukan aku dan kamu.”
“ .......Do, kenapa kamu susah banget buat ngomong kalo kamu itu sayang dan cinta sama aku?”
“Maaaf aku ya, jujur selama ini aku emang selalu mencoba jaim dan gengsi banget sama kamu. Aku malu, lantaran aku masih ragu dengan perasaan kamu sendiri Kia.
“Nggak Do, asal kamu tau, aku udah sayang banget sama kamu sejak pertama kali kamu bilang suka sama aku. Aku sayang sama kamu sampe sekarang Do.”
Akhirnya, semua udah terbongkar dan nggak ada lagi yang tersembunyi. Akupun udah merasa lega dan tenang banget bisa mengungkapkan isi hatiku selama ini. Ternyata perasaan aku dan Dado selama ini sama, cuma kemunafikan yang jadi penghalang kami. Sekarang setelah tau semuanya. aku bisa merasakan kebahagianaan yang dianugerahkan Tuhan buat aku. Terima kasih Tuhan buat semua ini.**
http://www.studentmagz.com/2008/11/menunggu-keseriusan-cerpen-cinta-remaja.html
“Heh, dengar ya Do, aku sebenarnya juga nggak pengen lagi ribut sama kamu, kamu kira aku juga nggak capek apa?”
“Iya ya, Kia, aku juga pengen bilang ke kamu sesuatu yang selama ini aku pendam, aku pengen ngomong serius sama kamu.”
“Ya udah, ngomong aja, apa?!!!”
“Kia sebenarnya, sejak pertama, sejak dulu sekali aku suka sama kamu, aku sayang sama kamu........”
“Haa .....?!!!! He-he ....he-he....”
“Kamu jangan ketawa, aku serius, dari dulu aku pendam perasaanku ini ke kamu, dan sekarang aku udah capek, makanya aku bilang aja ke kamu semuanya, kalo dari pertama kita kenal aku suka dan sayang sama kamu, tapi ..tapi... sebagai teman.
Apa-apaan sih si Dado ini, aku benar-benar benci sama dia. Beberapa detik yang lalu baru aja dia bilang kalo dia suka dan sayang sama aku, tapi kenapa sekarang dipertegasnya dengan kata-kata sebagai teman, aku jadi nggak bisa mengartikan dengan jelas, apa yang ada di ahti dia sebenarnya. Tapi mata Dado merah, dia seperti mau nangis, aku juga nggak tau harus jawab apa? Sepatah katapun nggak ada keluar dari mulutku.
Akhirnya aku ninggalin dia, dengan perasaan yang binggung dan masih bimbang, rasanya aku ingin mengungkapkan isi hatiku juga, tapi kenapa justru aku cuma bisa diam? Aneh banget? Andai aja Dado tau kalo aku juga punya perasaan yang sama ke dia, tapi kenapa akhirnya dia malah ngomong sebagai teman ya? Apa mungkin karena tadi aku meresponnya dengan ketawa, aduuuuh ....gimana ini? aku salah, andai aja tadi nggak ngetawain dia ......
Hari-hari pun berlalu, aku dan Dado nggak pernah teguran lagi. Selama ini walopun kami sering berantem, tapi satu yang nggak pernah kami lakukan, yaitu saling diam. Nah, sekarang udah hampir 2 minggu kami berdua nggak pernah ngomong lagi. Entah siapa yang mulai duluan. Yang jelas, aku dan Dado sampe sekarang nggak ada yang mengalah.
Siang ini, aku nggak menyangka melihat pemandangan yang membuat jantungku serasa mau copot. Di cafe itu saat jam istirahat aku melihat Dado lagi duduk berhadapan dengan seorang cewek. Dia bukan karyawan di tempat kami kerja. Aku baru pertama kali ini ngelihat dia. Dia cantik, dan kayaknya mereka lagi asik ngobrol sambil ketawa-ketawa. Aku merasa sakit banget, aku cemburu, patah hati, marah dan benci banget sama mereka. apalagi sama Dado, apa maksudnya kayak gini, baru dua minggu yang lalu dia bilang suka dan sayang sama aku, dan cepat banget dia langsung dekatin cewek lain.
Aku terus mencoba menghindari dari Dado, kadang entah Tuhan yang mungkin mengaturnya, aku dan dia selalu aja selisih jalan, sampe-sampe kadang kami malah tabrakan, dan akhirnya dengan spontan kami langsung menghindar. Aku sebenarnya udah capek banget kalo terus kayak gini terus. Entah kapan masalah ini bakal selesai. Sampai akhirnya, aku dengar berita yang membuat aku kaget. Dado sekarang jadian sama cewek yang waktu itu aku pernah aku liat di cafe. Awalnya aku nggak percaya dan mungkin hatiku nggak bisa terima. Cepat banget rasanya Dado membuang jauh perasaannya dulu buat aku. apa mungkin selama ini dia nggak tulus ke aku?
Beberapa bulan berlalu, aku masih merasa menyesal dengan kejadian yang dulu. aku masih sering merasa sakit kalo aku liat Dado dan pacarnya.
Tapi apa boleh buat, semua udah terjadi, penyesalan selalu pasti datangnya belakangan. Sekarang yang membuatku masih tetap mau satu kerja dengan Dado cuma masa depanku, aku harus mikirin masa depanku juga, aku nggak mau gara-gara cowok hidupku hancur. Walopun sebenarnya jauh di hati kecilku, aku emang udah hancur, sakit, perih dan segala macamnya aku rasakan. Tapi untuk menghibur diriku sendiri, aku juga berhasil membenci Dado sepenuh hatiku. Aku bisa menghilangkan penderitaanku dengan cara membencinya. Yang aku rasa semakin hari aku semakin benci Dado.
Suatu hari, waktu bangun pagi aku ngalamin sesuatu yang lain, dalam pikiranku terlintas wajah Dado. Tiba-tiba hatiku jadi lunak, perasaan benci, kesal, sakit, hilang perlahan-lahan. Rasanya pintu maaf buat Dado udah terbuka lebar, tapi aku nggak tau kenapa aku tiba-tiba jadi selembut ini. Aku yang biasanya keras hati dan keras kepala sekarang terasa lemah dan cengeng banget. Nggak kerasa air mataku jatuh begitu aja, aku menangis sejadi-jadinya, perasaan yang campur aduk bermain di hatiku. Aku mulai menerima Dado di hatiku, aku merasa aku harus memaafkan dia, aku harus ikhlaskan dia buat siapapun, karena yang terjadi selama ini sebenarnya aku nggak pernah rela dia bahagia dengan siapapun, makanya timbul rasa benci di hatiku sendiri yang seharusnya nggak boleh aku rasakan. Aku udah jahat dan berdosa. Maafkan aku Tuhan.
Di tempat kerja, entah kenapa Dado kayak mencoba lagi buat deketin aku. Apa dia merasakan hal yang sama denganku? Dia mulai menegurku, dan tentu aja aku nggak nyuekin dia lagi. Di wajah Dado kelihatan ada rasa heran dan kaget, waktu aku merespon dia. Dia mencoba tersenyum, dan aku pun membalas senyumannya dengan tulus. Bahagia banget rasanya bisa membuat orang senang. Dan emang bahagia juga rasanya bila nggak ada rasa benci dalam hati. Sekarang aku udah bisa ikhlas merelakan Dado dengan cewek itu, dia pasti sangat bahagia kan? Di dalam hati aku coba untuk meminta sama Dado, karena terus terang aku belum berani buat langsung ngomong sama dia. Waktu Dado lagi sendirian dan nggak tau lagi mikiran apa, diam-diam aku menatapnya, aku seolah-olah bertelepati dengan dia dan mengirimkan kata maaf ke telinganya. Aku berdoa, ya Tuhan dia dengarin aku.
Malamnya, waktu aku nunggu jemputanku pulang kerja. Rasanya jantungku mau copot waktu Dado datang tiba-tiba menghampiriku. Spontan mengambil dua tanganku.
“Kia, aku mau minta maaf. Kamu mau kan maafkan aku?”
“........ya.”
“Benar Kia? Kamu udah maafin aku? Sekarang berarti kita temanan lagi donk?”
“........ya, aku juga minta maaf Do.”
“Kia, aku senang banget, akhirnya kita bisa temanan lagi, kamu tau nggak? Udah dua bulan kita nggak teguran.Aku nggak percaya selama ini kamu tahan banget kayak gini, kamu benar-benar keras Kia.”
“Yee .... emang kamu apaan donk? Kalo nggak keras juga? Kamu juga tahan kan, kenapa baru sekarang kamu berani tegur aku lagi, coba?”
Akhirnya, beban yang selama ini aku tanggung terlepaskan juga. Emang waktu yang lumayan lama banget untuk punya musuh di dunia ini. Dua bulan, aku nggak pernah teguran sama Dado. Selama itu juga aku jadi cewek jahat, kasar yang sering nyakitin hati Dado. Nggak cuma Dado sih, teman-teman di sekitarku juga kena getahnya lantaran selama ini mereka juga memaksaku buat memaffkan Dado. Tapi toh, dua bulan itu aku keras banget, dan nggak ada yang bisa meruntuhkan aku kecuali perasaanku tadi pagi yang tiba-tiba aja muncul waktu aku bangun pagi. Emang aneh.
Yang masih bikin aku penasaran, gimana ya kabar Dado sama pacarnya? apa mereka masih pacaran, koq anehnya beberapa minggu terakhir ini Dado pun jarang banget jalan sama cewek itu lagi. Apa mereka udah putus? Aku pun nggak pernah dengarin gosip mereka. Dan tiba-tiba aku tertarik banget buat mengetahuinya.
“Cewek kamu mana Do, koq sekarang aku jarang banget liat kalian jalan bareng?”
“Oo.. Dwi? Kita udah putus. Udah sebulan ini nggak ada komunikasi.”
Jadi mana cewek itu Dwi, cewek yang dibilang teman-temanku mirip banget sama Dado. Dan sering banget digosipkan kalo mereka itu bakalan berjodoh karena wajahnya yang mirip. Waktu aku masih benci sama Dado, aku berpendapat, soal jodoh kan di tangan Tuhan, belum tentu mereka jodoh hanya karena wajahnya mirip. Tapi, aku penasaran kenapa sampe putus. Yang aku amati sih, hubungan mereka kayaknya baik-baik aja. Kayak membaca pikiranku, Dado langsung menjawabnya.
“Dwi bukan cewek yang nggak benar, Kia. Ternyata dia suka mainin perasaan cowok, selain itu dia juga matre. Dwi, juga suka bergaul dengan teman-teman cewek yang nggak benar, suka ngerokok, pergi dugem, aahhh .... segala macamlah. Yang jelas, kayaknya aku nggak pernah bisa mencintainya dari dulu sampe sekarang.”
“Maksud kamu?”
“Ya, dari pertama aku kenal Dwi, aku berusaha keras buat cinta sama dia, tapi kayaknya yang selama ini aku rasa nggak pernah tulus. Aku nggak benar-benar mencintai dia.”
“Trus ....?”
“Ya, trus, berarti selama ini aku udah membohongi dia, aku bohong dengan diriku sendiri, dan aku juga udah bohong sama kamu.”
“Maksud kamu? Apa hubungannya dengan aku?”
Dengan pura-pura bego’ aku terus bertanya ke Dado, dan ...
“Kia, aku masih suka dan sayang sama kamu.”
“Ha-ha .....ha-ha apa? Kamu nggak salah, serius ato bercanda?”
Aduuuh ....... kenapa aku tertawa lagi ya, ya Tuhan mudah-mudahan nggak melenceng deh.
“Bercanda ....!!!”
“Oww, bercanda ya Do? Kirain kamu serius tadi, ha-ha ...ha-ha ...ada-ada aja kamu.”
“Ya udah, aku pulang duluan ya, kamu belum dijemput juga?”
“Nggak tau deh, koq belum dateng ya?”
Beberapa saat suasana antara aku dan Dado jadi canggung. Sumpah, aku benar-benar kaget denger Dado bilang bercanda tadi. Aku mengutuk-ngutuk sendiri dalam hati. Jadinya koq malah kayak dulu sih? Gimana ini? Koq aku juga bego ya. Artinya, sebelum Dado pamit dan mencoba menghidupkan mesin motornya, tiba-tiba spontan aku memanggil dia.
“Dado, kamu sebenarnya serius ato bercanda sih? Kamu marah sama aku?”
“Lho, kenapa aku mesti marah sama kamu? Udah, nggak usah dipikirin, aku cuma bercanda koq.......”
Sekali lagi aku tanya sama kamu ya, kamu serius kan Do dengan perasaan kamu?”
“ ...........”
“Do, ayo jawab, aku benci banget dengan Dado yang kayak ini, kenapa sih Do dari dulu sampe sekarang kamu nggak pernah mau ilangin sifat gengsi dan jaim kamu?”
“Iya, Kia .....aku serius masih suka dan sayang sama kamu, dari dulu aku ngak pernah bisa melupakan kamu, walopun aku sudah mencoba membuka hati buat cewek yang lain. Tapi, entah kenapa aku selalu sayang suma sama kamu. Aku pernah berdoa Kia, moga-moga aja Tuhan mempersatukan aku dan kamu.”
“ .......Do, kenapa kamu susah banget buat ngomong kalo kamu itu sayang dan cinta sama aku?”
“Maaaf aku ya, jujur selama ini aku emang selalu mencoba jaim dan gengsi banget sama kamu. Aku malu, lantaran aku masih ragu dengan perasaan kamu sendiri Kia.
“Nggak Do, asal kamu tau, aku udah sayang banget sama kamu sejak pertama kali kamu bilang suka sama aku. Aku sayang sama kamu sampe sekarang Do.”
Akhirnya, semua udah terbongkar dan nggak ada lagi yang tersembunyi. Akupun udah merasa lega dan tenang banget bisa mengungkapkan isi hatiku selama ini. Ternyata perasaan aku dan Dado selama ini sama, cuma kemunafikan yang jadi penghalang kami. Sekarang setelah tau semuanya. aku bisa merasakan kebahagianaan yang dianugerahkan Tuhan buat aku. Terima kasih Tuhan buat semua ini.**
http://www.studentmagz.com/2008/11/menunggu-keseriusan-cerpen-cinta-remaja.html
Hari ketika kamu pergi
"Tinggalin mereka, oke?" kata Faris tajam menatapku. Aku balas menatapnya. Pedih. Air mataku belum kering." Nggak bisa Ris! Kamu tau sendiri kan? Mereka sahabat-sahabatku?" sebenarnya ini bukan pertanyaan. Ini pernyataan. Kuharap dia tahu, betapa aku menyayangi sahabatku, Diva, Fia dan Lisa."jadi keputusanmu gimana coba?" Dia duduk disampingku. Aku benci pertanyaan ini, karena tak dapat ku pungkiri aku memang nggak jago sama sekali dalam mengambil keputusan. "jawab dong!" Sahutnya putus apa. "Aku nggak tahu Ris! Mereka udah nyakitin aku! Tapi kalo kamu nyuruh aku ninggalin mereka, jujur aku nggak bisa. Aku ngerasa mereka itu benar-benar sahabatku!""siapa yang nyuruh? Tadi kan kamu tanya pendapatku, jadi aku jawab sebaiknya kamu ninggalin mereka. Yah, aku nggak ngerti sih jalan pikiran cewek, habisnya aku kan cowok. Tapi, walaupun aku cowok, aku ngerti kok kalo nangis itu nggak enak!" Faris meringis.Aku tersenyum lemah. Humor garing!"jadi gimana dong?" rengekku."ye. . . Nih anak tanya lagi" Faris memukul pelan pundakku "ntar ku jawab Tinggalin mereka, disalahin!" Faris menggerutu. Kini giliran aku yang meringis."yah. . . Sori deh! Jawabku manja "tapi kamu kan cowok, yah. . . Sejauh yang ku tau nih, pemikiran cowok kan bisa lebih realistis dari pemikiran cewek""oh yah?" cibirnyaIngatan tentang Faris lagi. Ingatan tentang dia lagi. Sudah berapa kali aku mencoba untuk melupakannya Tuhan? Tapi aku nggak bisa."dia sudah mati Na! Dia sudah mati" teriak Diva untuk kesekian kalinya saat aku bilang aku melihat Faris dua hari yang lalu di halaman SMAku."Tapi itu beneran dia! Itu Faris Div!" Ratapku saat itu."oh, ayolah Na, kita semua tahu dia udah nggak ada! Coba dong kamu ngertiin dia? Biarin deh dia tenang disana.""tapi yang aku lihat itu beneran Faris!""Na!" bentak Fia "oke Saina, siapapun yang kamu lihat kemarin itu bukan Faris, oke?""Nggak!" aku memandang mereka bertiga "kenapa sih kalian nggak pernah percaya sama aku?"Lisa mendekatiku "Nggak gitu Na, kami cuma takut. . .""Takut?" tanyaku. Lisa hampir menjawab tapi kemudiaan"udahlah Lis!" Fia menengahi. Dia memandangku "lagian kamu masih punya kita bertiga kan? Biarin Faris pergi toh kamu masih punya kita bertiga. Kita bisa jadi sahabat kayak dulu lagi. Dan okelah, lupain Faris. Biarin dia tenang"Aku memandang Fia nggak percaya. Tapi, bahkan mereka tak menangkap pandanganku itu. Mereka malah tersenyum seolah nggak ada apa-apa. Tersenyum setelah apa yang Fia katakan?"Aku nggak percaya kamu ngomong kayak gitu" teriakku. Senyum mereka bertiga menghilang. "bisa-bisanya kalian kayak gitu? Bisa-bisanya kamu mikir kayak gitu?" Aku menatap Fia "lupain Faris?" kutirukan ucapan Fia "nggak segampang itu tahu!" bentakku."habis gimana dong Na! Dia udah mati Na! Dan kamu nggak harus terpuruk dalam kehilangan layak gini dong! Kamu masih hidup dan kamu juga masih punya banyak teman yang masih hidup untuk menemanimu" Lisa yang bicara."teman?"aku menatapnya"teman?"aku menatapnya "FARIS SAHABATKU" "DAN KAMI JUGA SAHABATMU!" Diva berteriak padaku. "apa? Sahabat? Aku nggak salah denger?" Aku tertawa sinis " Udahlah Na, aku bosen liat reaksimu yang gitu mulu saat kita bilang sahabat. Kamu tuh berubah sejak kenal si Faris. Kenapa? Kalian berdua pacaran hah? Dan si Faris nyuci otakmu?" "FIA" Lisa menyahut. " kenapa Lis? Sudah saatnya Saina tahu apa yang selama ini kita rasain. Dia sudah berubah. Mungkin Faris udah nyuci otaknya, sampek kita nggak sedekat dulu lagi. Iya kan?" Fia menatapku "kamu pikir kita semua seneng gitu liat kamu kemana-mana sama si Faris? Kita semua tuh muak, bosen, males lihat dirimu yang sekarang! Ninggalin yang lama demi yang baru. . ." "nggak" jerit Diva. "nggak Na, kami nggak gitu. Aku nggak gitu" "bohong" teriak Fia lagi "kenapa? Takut sama Saina? Dia emang gitu kok. Dan kenyataannya kami udah nggak kenal kamu lagi" Teriak Fia padaku. Hanya padaku. Oh Tuhan. Aku hanya bisa diam, terlalu sulit untuk mencerna semua, untuk mengucapkan sepatah kata-pun. Aku shock! Kehilangan Faris sahabat terbaikku, dan sekarang? Aku telah salah mengenal ketiga orang yang dulu kupikir adalah sahabatku. Mereka buruk. "yah, mungkin kalian benar" kataku lirih. Aku tahu, air mataku mulai membasahi pipiku. "aku pernah berpikir betapa rendahnya aku? Betapa piciknya aku? Aku slalu pengen kembali, pada kalian. Tapi kalian nggak kasih aku kesempatan kan?" aku menangis. Benar-benar nangis. "Na, jangan nangis dong"Lisa menatapku prihatin. Entah itu beneran dari lubuk hatinya atau mungkin cuma topeng "udahlah, kenapa sih masih dibahas juga? Ini cuma masalah kecil!" "nggak! Aku nggak mau kayak gini lagi! Plis Lis, aku mau semuanya jelas, sekarang atau begini selamanya!" dan kemudian, entah kenapa Lisa nurut dan diam seribu bahasa. Aku mengambil duduk membelakangi mereka dan menatap jalan raya di taman kota dekat SMA-ku. "kalian pasti ingat betul sejak kapan menurut kalian aku menghindari kalian kan?" "saat ada si Faris kan?" celetuk Fia bosan. Aku menatapnya "Tepat. Sejak Faris pindah ke SMA kita" "Dan menghancurkan semuanya?" kali ini Diva yang berceletuk "Tepat! Dia benar-benar menghancurkan semuanya kan? Persahabatan kita" air mataku menetes "baru nyadar Na?" Lisa ikut-ikutan ngomong. "nggak. Udah lama kok! Faris datang kesini dan cuma aku satu-satunya orang yang dia kenal disini. Aku nganterin dia kesana-kemari dan dengan sinisnya kalian bilang aku seperti orang lupa daratan kan? "Tapi kami nggak. . ." "cukup Div, aku tahu. Aku dengar sendiri saat kalian bertiga bilang kayak gitu. Dan kalian tahu gimana perasaanku dengar kalian ngomong kayak gitu? Perasaanku hancur. Hancur sehancur-hancurnya. Sahabatku ngatain aku lupa daratan cuma karena aku ngebantu seseorang. Aku nggak tahu kenapa kalian begitu, dan saat ku tanya, kalian bertiga bersikap seolah nggak ada apa-apa "padahal aku tahu, kalian ada apa-apa. Kalian mengecapku dan Faris sebagai orang menyebalkan. Aku bingung, kenapa? Kenapa kalian begitu? Hingga akhirnya beberapa bulan yang lalu aku tahu alasannya" aku menghela napas. Ku pastikan jawabanku kali ini nggak akan membuat mereka bosan lagi."kalo kalian semua menyukainya?" kataku setengah berteriak. "apa maksudmu?" Teriak mereka bertiga serentak. Ku memandang jalan raya lagi. "jangan munafik" suaraku terdengar sinis sekarang "kalian semua menyukainya kan? Tapi kalian terlalu gengsi buat bilang kalo kalian suka sama dia" "siapa maksudmu?" suara Fia bergetar "kalian. Kalian semua. KALIAN BERTIGA" Teriakku. "Nggak!" cicit Lisa. "apa perlu ku tunjukin buktinya?" aku memandang Lisa. "gak mungkin kami suka sama cowokmu" Teriak Diva "DIA BUKAN COWOKKU" teriakku "LALU SIAPA? PACARMU?" Diva berteriak lagi. "itu yang aku benci dari kalian" aku berdiri "kalian nggak pernah tanya ke aku dulu sebelum kalian nge-judge aku! Asal kalian tahu ya! FARIS BUKAN PACARKU! DIA ANAK DARI SEPUPU PAPAKU, DAN AKU NGGAK PERNAH MENYUKAINYA! Kalian nggak tahu itu kan? Kupikir pindahnya Faris bakal asyik, aku bisa cerita ke kalian 'hey, aku punya sodara cakep looo' lalu aku bisa jadi mak comblang kalo ternyata salah satu dari kalian ada yang naksir dia! Tapi apa? Kalian nggak mau kan repot-repot nanya ke aku? Boro-boro nanya, tiap aku mau cerita kalo Faris itu sodaraku , baru aku nyebut nama Faris aja kalian udah jealous dan langsung ganti topik. Kalian tahu nggak? Hatiku tuh sakit kalian gituin. Kalian sudah nggak pernah ada di saat ku butuh. Kadang-kadang aku pengen teriak 'DIA SODARAKU. DIA SODARAKU! Jangan musuhin aku! Tapi aku nggak bisa teriak. Aku kesal sama kalian dan ku biarin kalian mikir kalo Faris itu pacarku, biar kalian sakit juga" "gila kamu" "Lalu kamu ada Div? Apa hah? Aku mendekatimu! Aku pengen cerita ke kamu! Tapi kamu nggak peduli. Tiap ku sebut mana Faris kamu mesti langsung jealous. Kamu menyukainya. Sebenernya aku pengen bantuin kamu tapi bahkan kamu nggak mau ngaku kalo kamu suka sama Faris. Lalu kemudian aku ke Lisa, ke Fia, dan hasilnya sama aja tau nggak?" aku menangis. "Na!" "Fia, kamu nggak tahu kan kalo Faris naksir kamu?" air mata Fia menetes "aku?. . . Kenapa?" ujarnya terbata "kenapa kamu nggak bilang?" "dan kenapa juga kamu nggak mau repot-repot bilang ke aku kalo kamu suka sama Faris? Tahu nggak? Aku adalah orang yang paling shock pas tau kalo kamu pacaran sama Ciko. Apalagi aku tahunya dari orang-orang, bukan dari kamu! Kamu harusnya ngerti gimana perasaanku saat itu. Sakit. Terkhianati. Ngrasa kalo aku bukan siapa-siapamu, kalo aku bukan sahabatmu! Dan satu, aku nggak mungkin bilang disaat kamu sudah jadi ceweknya Ciko" "harusnya kamu kasih tau aku sebelum aku pacaran sama Ciko" "aku nggak tau Fia, dulu aku nggak tahu kalo kamu juga suka sama dia, ku pikir cuma Lisa sama Diva yang suka sama Faris" "kenapa kamu lakuin ini sama aku?" tanya Fia lirih. "kalian yang kenapa lakuin ini sama aku? Kalo saja kalian tuh nggak langsung nge-judge aku kayak gitu, ini semua nggak bakal terjadi!" aku menangis lagi. Belum pernah aku sesakit ini. "sakit rasanya diasingkan"aku duduk memandang jalan lagi. Kemudian kami semua terdiam lama banget. Lalu disana. Tepat di seberang jalan sama. Aku melihat seorang cowok melambaikan tangan kearahku, memanggilku. Aku berdiri berjalan menghampirinya, kemudian ku dengar suara Lisa "maafin kami, kami takut kehilanganmu untuk kedua kalinya" dan ajaib. Aku tak mengacuhkannya. Aku terus berjalan menghampiri cowok yang sedari tadi melambai ke arahku. Cowok itu Faris. Dia tersenyum masih melambaikan tangannya ke arahku "Faris?" bisikku, aku berlari menyebrang jalan dengan semangat 45 kemudian ku dengar ada yang berteriak "SAINA!" Hanya selang beberapa detik aku mendengar bunyi rem berdecit dan sebuah benda keras menghantamku. Kurasakan tubuhku terpental entah kemana lalu semuanya gelap.
http://cerpen.net/cerpen-remaja/hari-ketika-kamu-pergi.html
http://cerpen.net/cerpen-remaja/hari-ketika-kamu-pergi.html
CINTA ITU BUTUH KESABARAN
19 Februari 2009,
Rehan membuka bajunya kemudian melemparnya ke kursi yang tak jauh darinya.Kemudian ia berbaring di kasur,mendesah pelan mengingat sesuatu.Perkenalan itu begitu singkat bagiku.Perempuan itu bernama Nurul Aliyah.Ia lulusan Universitas Al-Azhar di Kairo dan ia memakai jilbab.Sangat cantik dan suaranya lembut.Bicara sopan dan santun.Beda dengan gadis-gadis yang ku kenal apalagi yang ku kencani.Perempuan itu bagai mutiara yang tak ingin disentuh.Saatku mengajaknya bersalaman,ia bahkan tak melirik dan membalas tanganku.Tapi bukan itu yang membuatku menerima tawaran mama untuk mengenal Aliyah lebih dekat selama sebulan,istilahnya sih ta’arufan.Aliyah tak ingin pacaran,katanya nanti setelah ia menikah saja.Aku tersenyum mengingat ucapannya,tapi masih ada sesuatu yang lain membuatku ingin mengenal Aliyah,tapi aku sendiri tak tahu jawabannya.
21 Februari 2009,
Sore ini aku mengantarnya pulang bersama temannya.Katanya ia tak ingin berduaan dengan orang yang bukan mahramnya.Aku sempat sedikit tersinggung atas ucapannya,mungkin ia takut aku akan berbuat macam-macam dengannya.Tapi itu sebelum ia menjelaskan padaku tentang sesuatu saat perjalanan ke rumahnya.”Afwan Mas,bukannya aku berfikir yang jelek terhadap Mas tapi dalam Islam,jika seorang wanita dan lelaki berduaan yang bukan mahramnya,maka yang ketiga adalah syetan Mas,lagipula tak baik Mas dilihat tetangga”ucapnya pelan dan lembut tanpa bersikap menggurui.Aku hanya tersenyum kecil,ada sedikit kekaguman di hatiku kepadanya.
29 Februari 2009,
Sudah 10 hari aku berkenalan dengan Aliyah,ada perubahan yang aku sadari pada diriku.Aku tak pernah lagi berkumpul dengan teman-temanku di diskotik.Gadis-gadis yang aku kencani bahkan tak kupedulikan.Sikapku juga agak sopan menurutku,mungkin karena aku melihat tingkah Aliyah yang sopan terhadapku”Ah..ada apa denganku ini?”,apakah aku sudah jatuh cinta padanya?”Tanya Rehan pada dirinya sendiri.Belakangan ini,Aliyah sering mengajakku bergabung dengan perkumpulan yang ia dirikan dengan sekelompok alumni mahasiswa dari berbagai Universitas.Namanya REMUNI,Remaja Muslim Indonesia.Aku membantu beberapa kegiatan yang direncanakan,bahkan aku berkenalan dengan banyak teman.Awalnya aku tidak suka dengan kegiatan ini,yang bisa membuatku malu di hadapan Aliyah.Yah,aku malu jika ikut tadarrusan.Yah,aku malu ikut shalat berjamaah.Dan aku malu ikut kegiatan amal mereka sebab semua hal itu jarang aku lakukan.Aku ingat waktu kecil,aku selalu dibawa ibu ke Mesjid untuk mengaji tapi aku selalu kabur dan menangis jika disuruh kesana lagi sehingga ibu pasrah dan tak membawaku lagi ke tempat itu.Tapi Aliyah selalu memberikanku dorongan batin agar aku ikut dalam kegiatannya hingga akhirnya tak ku sadari aku yang selalu bersemangat jika ada kegiatan baru lagi.
19 Maret 2009,
Hari ini Ulang tahunku yang ke-25,tepat sebulan sejak aku berkenalan dengan Aliyah.Biasanya aku merayakannya dengan teman-temanku dengan pesta,tapi hari ini lain,Aliyah memberiku kado yang agak besar menurutku.Tapi ketika kubuka kadonya di rumah,”Subhanallah”itu kata pertama yang keluar dari mulutku.Sebuah Kitab Suci Al-Qur’an dan sebuah peci hitam.Aku terharu dan semakin yakin dengan keinginanku untuk mengkhitbah Aliyah.
22 April 2009,
Sepuluh hari menjelang pernikahanku dengan Aliyah.Terjadi sesuatu hal yang sebelumnya tak pernah kubayangkan.“Re,ini anak kamu Re.Kamu tak sadar waktu itu,kamu mabuk Re”ucap Angel terisak keras di depanku memohon.Aku masih tak percaya dengan apa yang dikatakan Angel,wanita yang terakhir kali kukencani sebelum aku bertemu Aliyah.Aku yakin tak pernah melakukannya,bahkan aku sangat yakin.Tapi melihat Angel yang menangis di hadapanku berlutut,aku jadi bimbang.“Kacau…kacau…kacau”sekali-kali kulempar barang-barang yg ada di kamarku.Aku pusing,aku takut Aliyah tahu ini.Pikiranku kacau,aku bahkan tak makan sedikitpun dari pagi,tubuhku lemas memikirkan hal ini.Kulihat Ibuku berjalan ke arahku,matanya merah.Ada segudang kekecewaan di wajahnya.“Rehan”ucapnya sambil memegang tanganku.suaranya parau.”Ibu tak tahu harus berkata apa,ibu tak menyalahkan kamu.Kamu harus menyelesaikan ini dengan Aliyah,bicaralah padanya.Ibu yakin,Aliyah seorang wanita kuat,ia pasti mau menerima ini kalau kamu harus menikahi Ang…el”isak Ibu dengan lirih.Tak kuasa aku menahan air mataku,lalu ku peluk ibu dengan erat.
Ketika esok,Dengan sekuat hati,aku menceritakannya kepada Aliyah apa yang terjadi dan aku berusaha meyakinkan dia bahwa aku tak pernah melakukannya.Kulihat ia mencoba mencerna perkataanku.Tak ada sedikitpun raut marah di wajahnya,persis kata Ibu,Aliyah wanita yang kuat.“Aku tak tahu apa itu benar atau tidak Mas.Allahu Allam,aku hanya tahu Allah maha melihat dan mengetahui apa yang terjadi di bumi ini.Aku hanya tahu bahwa Allah telah menentukan takdir kita.Jika Mas bimbang,sholat tahajudlah Mas.InsyaAllah,Allah akan memberimu petunjuk”hanya itu kata Aliyah.
Malam itu,aku bangun mengambil wudhu dan kujalankan tahajjudku yang pertamaDalam sujudku,aku menangis memohon petunjuk-Nya dan berdoa tetap menguatkan hatiku.Esok paginya,aku terbangun dengan air mata di pipi.”Ya…Allah,apakah ini adalah petunjuk yang Engkau berikan kepadaku?”.Aku bermimpi sedang berlari-lari kecil ditaman dengan seorang anak laki-laki.Kami kelihatan sangat bahagia.
Hari ini,kutetapkan hati untuk memberitahu Aliyah aku akan menikahi Angel dan akan menceraikannya setelah anak itu lahir.Tapi lagi-lagi perkataannya semakin meracuni pikiranku.“Astagfirullah Mas,apa yang Mas bicarakan ini?,belum menikah,Mas sudah ada niat untuk bercerai?,segitu tak berperasaankah Mas terhadap perempuan itu”?tanyanya lembut kepadaku.“Tapi Dek,Mas tak mencintainya.Mas mencintai kamu,dan Mas tak bisa hidup tanpa kamu.Percayalah Mas,dek.Tunggulah Mas,sampai ini berakhir”.Kulihat air mata Aliyah.Baru kali ini air mata itu turun di hadapanku,tapi ia masih tersenyum.“Mas,aku memang mencintai Mas.Tapi perasaan ini tak melebihi Cintaku kepada-Nya Mas.Aku ini seorang wanita Mas,sama seperti perempuan yang akan Mas nikahi.Jika Mas menceraikan pereempuan itu demi aku,itu sama saja aku memakan daging saudara perempuanku sendiri,dan aku tak ingin itu terjadi Mas.Sangat tak ingin.Jika memang kita berjodoh,Allah mungkin mempunyai rencana lain terhadap kita berdua Mas.Perceraian itu memang dihalalkan Mas,tapi sangat dibenci Allah.Aku tak ingin Allah membenci Mas karena aku…Mas”ucapnya panjang tersedu.Hatiku miris mendengarnya mendengarnya.Ingin rasanya kupeluk perempuan di hadapanku ini,tapi akku tak bisa melakukannya.”Ya…Allah,terima kasih telah mempertemukan aku dengan wanita ini”ucapku dalam hati.
25 April 2009,
Sesuai permintaan Aliyah,aku mempertemukannya dengan Angel.Mereka berbicara berdua di kamar Aliyah,sangat lama.Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan,perasaanku cemas jika Angel memarahi atau melukai Aliyah.Tapi itu hanya perasaanku saja,mereka keluar dengan wajah ceria.Bahkan mereka kelihatan akrab.Di kamar Aliyah,,,“Ya….Allah.Kuatkanlah hati hamba-Mu,jika ini cobaan yang engkau berikan kepada hamba.Maka hamba akan ikhlas menerimanya Ya Allah.Jika memang Mas Rehan bukan lelaki yang kau kirim untukku,maka tabahkan hati hamba”ucap Aliyah menangis dalam doanya.Aliyah masih bimbang juga dengan perasaannya.Jika ia ingin mengikuti kata hatinya,ia tidak rela Mas Rehan menikahi angel sebelum pembicaraannya dengan Angel kemarin…“Mba Angel…kesinilah”kusuruh ia duduk didekatku.Mukanya kelihatan pucat,matanya sembab.Angel sangat cantik,tubuhnya indah,kulitnya putih mulus,dengan perutnya yang sedikit mebuncit menurutku,tapi wajahnya terlihat raut sedih yang mendalam.Ia begitu pelan-pelan duduk disebelahku.Ia menunduk,begitu resah memainkan tangannya.“Mbak Angel,aku tahu apa yang Mbak rasakan.Jika berada di posisi Mbak,mungkin aku juga akan seperti itu”ucapku sambil memegang tangannya lembut.Tiba-tiba Angel memelukku,terisak pelan.Ku biarkan ia menangis di pelukanku.Ia melepaskan pelukannya saat tenang kembali.”Aliyah…maafkan aku”katanya tanpa menatapku.“Mba’….tak ada yang perlu dimaafkan.Mbak Angel tak sedikitpun bersalah kepadaku”.Tapi Angel masih tersedu.“Aliyah”kali ini ia menatapku,”Aku…aku….tak tahu harus berbuat apa lagi Aliyah.Aku….aku sudah berbohong kepadamu dan kepada Rehan…”katanya terisak.Aku tersentak mendengar perkataannya,”Mba…katakanlah,bukankah suatu kebohongan itu tidak baik.Jika ada yang ingin Mba katakan,katakanlah….Aliyah siap mendengarnya”.Ia kemudian memegang kedua tanganku dan menciumnya,”Maafkan aku aliyah….sebenarnya,aku tak tahu anak siapa yang ada dalam rahim ini.Aku…aku….tak tahu harus bagaimana lagi Aliyah.Aku..tak ingin Rehan tahu soal ini…aku takut……”katanya terisak keras.Aku lebih tersentak mendengarnya,ada sebersit rasa marah dalam diriku pada Mba Angel,tapi aku masih mencoba mencerna.”Tapi Mba’…Kenapa harus Mas Rehan?kenapa?“Aku tak tau harus kemana lagi Aliyah,yang pertama kali muncul dibenakku waktu itu adalah Rehan.Karena ia….ia yang terakhir berpacaran denganku.Sungguh Aliyah,maafkan aku,tolong aku….Kau perempuan Aliyah,kau pasti tau seperti apa perasaanku”.Air matanya sangat deras,membuatku sangat iba.Aku berusaha tenang.Mataku berkaca-kaca,seandainya…seandainya aku yang berada di posisi Mba Angel,apakah aku juga akan berbuat seperti ini Ya Allah?”tanyaku dalam batin.“Mba,ada satu hal yang ingin Aliyah tanyakan kepada Mba’,Apa Mas…Rehan pernah melakukannya dengan Mba’’tanyaku hati-hati tapi tegas.Kulihat ada sedikit kekecawaan dalam raut wajahnya,ia menunduk.”Ti…ti..dak”katanya ragu-ragu.“Subhanallah”ucapku.”Tapi Aliyah,aku mohon,jangan kau katakan ini kepada Rehan.Aku takut…takut…..sangat takut Aliyah”ucapnya masih terisak.“Mba…waktu.Mba melakukannya,apakah rasa takut itu sebesar rasa takut mba kepada Allah?,bukankah Mba tau berzina itu dosa dan hukumnya haram”.Ia mendesah mendengar perkataanku,”aku baru tahu sekarang Aliyah,dulu aku tak pernah ingin tahu apa itu dosa dan apa itu Tuhan.Tapi aku hanya manusia Aliyah,sama seperti kamu yang pernah khilaf,aku baru sadar sekarang bahwa aku telah banyak melakukan kesalahan tapiii…tapii aku ingin berubah Aliyah.Aku ingin berubah…apakah tidak ada kesempatan bagiku untuk berubah Aliyah? Bukankah katanya Allah itu Maha Memaafkan hambanya yang ingin berubah”.Aku kaget mendengar ucapannya,semestinya aku juga tak berhak menghakimi Mba’ Angel.Aku juga tak sempurna dan pasti akan berbuat kesalahan.Lalu kupeluk Mba’ Angel dan kukatakan padanya “Tenanglah Mba’,Jika Allah menginginkan aku berbuat begini maka itu akan terjadi.
3 hari sebelum pernikahan Mas Rehan dan Angel…
“Aliyah…Mungkin kau tak tahu seberapa besar rasa sayangku padamu.Kau yang telah merubahku.Ku yang mebuat hidupku ini berarti.Kau ajarkan aku tentang suatu keikhlasan.Kau ajarkan aku tentang suatu kesabaran.Jika ini memang takdir kita,maka aku berusaha untu ikhlas”ucapku sedikit miris ketika kami berbicara di teras depannya rumahnya.Aliyah tersenyum sangat indah.”Mas…Aliyah tahu itu dan aku tahu mana yang baik untukku.Jika aku memang bukan jodoh Mas,berarti ada yang lebih baik untuk Mas dan untukku.InsyaAllah Mas,Allah maha adil kepada hamba-hambanya”ucapnya.“Aliyah,sebelum Mas menikah,apakah ada sesuatu yang ingin kau minta dari Mas.Mas siap memberikannya sebagai rasa syukurku bahwa aku ditakdirkan bertemu dengan wnaita sepertimu”.Kali ini ia tersenyum lebar “Ada Mas….”ucapnya kemudian.“Apa itu Aliyah,katakanlah…InsyaAlah aku akan mewujudkan?tanyaku bersemangat.“Jika nati Mas telah sah menikah dengan Mba Angel,aku ingin Mas mencium ubun-ubunnya ketika Mas memasuki kamar sambil membacakan doa untuknya,setelah itu,Mas mengajaknya shalat berjamaah agar ia kelak menjadi istri yang sholehah pada mas.Sayangilah ia seperti Mas menyayangi diri sendiri”.Aku terkejut mendengar perkataan Aliyah,aku ingin menangis.”Subhanallah,InsyaAllah Aliyah”hanya itu yang kuucap.“Satu lagi Mas,aku mohon kita jangan terlalu sering berhubungan.Aku ingin menjaga perasaan Mba Angel dan keluarganya serta menjaga diriku sendiri dari ocehan orang-orang yang tidak baik.Mas mengerti kan apa maksudku?”.Hatiku sedih mendengarnya,”InsyaAllah Aliyah..InsyaAllah”hanya itu yang bisa kuucap.
30 April 2009,
Aku menyaksikan ijab Kabul itu,ada perasaan sedih di hatiku meskipun aku bahagia.Mas Rehan dan Mba Angel telah sah menjadi suami istri.Mba Angel terlihat sangat bahagia,ia begitu erat memelukku setelah acara pernikahan.Ia sangat berterima kasih padaku dan ia berjanji akan menjadi Isri yang baik bagi Mas Rehan.Tapi aku tak tahu apa yang terjadi pada Mas Rehan,ia masih kelihatan sangat bimbang.Ada rasa kecewa di raut wajahnya.Tapi aku mencoba untuk tida mempedulikannya.
24 Agustus 2009,
Sudah 3 bulan lebih,sejak pernikahan Mas Rehan dan Mba’ Angel.Aku jarang bertemu mereka.Terakhir bertemu mereka waktu bulan kemarin di acara tujuh bulanan Mba’ Angel.Mba’ Angel kelihatan sangat gembira,dia sangat baik terhadapku.Dia kelihatan berbeda dengan jilbab yang dikebakannya,malah sangat cantik menurutku.Tapi ada yang berbeda hari itu,Mas Rehan kelihatan berubah sikapnya kepadaku.Hanya menanyakan kabarku saja dan berlalu begitu dan tak pernah menolehku lagi.Aku terima dengan sikapnya sebab aku juga tak berhak marah.
20 Oktober 2009,
Hari ini,Mba Angel melahirkan,atas permintaanya kepada Mas Rehan.Ia memanggilku melihat persalinannya.Bayi laki-laki itu sangat tampan.Kulihat Mas Rehan sangat bahagia menggendongnya,begitupun Mba Angel.Akupun ikut bahagia.Tapi..Malam itu,Mba Angel tiba-tiba merintih kesakitan,padahal sebelumnya ia taka apa-apa,kata dokter tubuh Mba Angel melemah setelah proses persalinan.Mba Angel memegang erat tanganku dan tangan Mas Rehan di sampingnya.Ia terbaring lemah,tapi ia masih bisa tersenyum dan berbicara,“Aliyah,sejak aku bertemu denganmu,aku sudah melihat tanda-tanda kebesaran-Nya.Kau memang wanita yang baik Aliyah,pantas jika Mas Rehan sangat mencintaimu”ucap Mba Angel pelan.Aku memandangnya.Seketika itu air mataku turun, ”Mba…istirahatlah.Jangan terlalu banyak bicara kata dokter”kataku.Ia tersenyum dan beralih memandang Mas Reha,”dan kau Mas rehan,kau jangan berpura-pura lagi.Aku tahu kau sangat mencintai Aliyah bahkan setelah kita menikah kaupun masih mencintainya.Kau tahu aku tak cemburu sedikitpun”ucapnya lagi.Kulihat Mas Rehan menggenggam erat tangan Mba Angel,ia tak berkata sedikitpun.Air matanya pun menetes.”Aliyah”kemudian ia kembali berbicara padaku,”aku ingin kau menjaga malaikat kecil itu,sayangi ia seperti kau menyayangi Rehan.Jadikan ia sholeh seperti Mas Rehan.Berjanjilah padaku aliyah”pintanya.Aku menangis mendengarnya.”Dan Mas Rehan,aku ingin kau menyayangi anak kita seperti engkau mencintai Aliyah.Dan Maafkan atas semua kesalahanku selama ini,Lakukanlah apa yang dari dulu kau inginkan.Aku merestui kalian”.Aku dan Mas Rehan terkejut mendengar itu,kami pun menagis bersama-sama.Lalu,”AshaduAllah ilaha Illallah,waashaduanna muhammaddarrsulullah”ucapnya terakhir kali.Mas Rehan tak kuasa menahan tangis sambil memeluk Mba Angel.Air matakupun tak berhenti,”Innalillahi Wainna ilahi Rajiun,semoga engkau diterima disisi-Nya”.
http://cerpen.net/cerpen-cinta/cinta-itu-butuh-kesabaran.html
Rehan membuka bajunya kemudian melemparnya ke kursi yang tak jauh darinya.Kemudian ia berbaring di kasur,mendesah pelan mengingat sesuatu.Perkenalan itu begitu singkat bagiku.Perempuan itu bernama Nurul Aliyah.Ia lulusan Universitas Al-Azhar di Kairo dan ia memakai jilbab.Sangat cantik dan suaranya lembut.Bicara sopan dan santun.Beda dengan gadis-gadis yang ku kenal apalagi yang ku kencani.Perempuan itu bagai mutiara yang tak ingin disentuh.Saatku mengajaknya bersalaman,ia bahkan tak melirik dan membalas tanganku.Tapi bukan itu yang membuatku menerima tawaran mama untuk mengenal Aliyah lebih dekat selama sebulan,istilahnya sih ta’arufan.Aliyah tak ingin pacaran,katanya nanti setelah ia menikah saja.Aku tersenyum mengingat ucapannya,tapi masih ada sesuatu yang lain membuatku ingin mengenal Aliyah,tapi aku sendiri tak tahu jawabannya.
21 Februari 2009,
Sore ini aku mengantarnya pulang bersama temannya.Katanya ia tak ingin berduaan dengan orang yang bukan mahramnya.Aku sempat sedikit tersinggung atas ucapannya,mungkin ia takut aku akan berbuat macam-macam dengannya.Tapi itu sebelum ia menjelaskan padaku tentang sesuatu saat perjalanan ke rumahnya.”Afwan Mas,bukannya aku berfikir yang jelek terhadap Mas tapi dalam Islam,jika seorang wanita dan lelaki berduaan yang bukan mahramnya,maka yang ketiga adalah syetan Mas,lagipula tak baik Mas dilihat tetangga”ucapnya pelan dan lembut tanpa bersikap menggurui.Aku hanya tersenyum kecil,ada sedikit kekaguman di hatiku kepadanya.
29 Februari 2009,
Sudah 10 hari aku berkenalan dengan Aliyah,ada perubahan yang aku sadari pada diriku.Aku tak pernah lagi berkumpul dengan teman-temanku di diskotik.Gadis-gadis yang aku kencani bahkan tak kupedulikan.Sikapku juga agak sopan menurutku,mungkin karena aku melihat tingkah Aliyah yang sopan terhadapku”Ah..ada apa denganku ini?”,apakah aku sudah jatuh cinta padanya?”Tanya Rehan pada dirinya sendiri.Belakangan ini,Aliyah sering mengajakku bergabung dengan perkumpulan yang ia dirikan dengan sekelompok alumni mahasiswa dari berbagai Universitas.Namanya REMUNI,Remaja Muslim Indonesia.Aku membantu beberapa kegiatan yang direncanakan,bahkan aku berkenalan dengan banyak teman.Awalnya aku tidak suka dengan kegiatan ini,yang bisa membuatku malu di hadapan Aliyah.Yah,aku malu jika ikut tadarrusan.Yah,aku malu ikut shalat berjamaah.Dan aku malu ikut kegiatan amal mereka sebab semua hal itu jarang aku lakukan.Aku ingat waktu kecil,aku selalu dibawa ibu ke Mesjid untuk mengaji tapi aku selalu kabur dan menangis jika disuruh kesana lagi sehingga ibu pasrah dan tak membawaku lagi ke tempat itu.Tapi Aliyah selalu memberikanku dorongan batin agar aku ikut dalam kegiatannya hingga akhirnya tak ku sadari aku yang selalu bersemangat jika ada kegiatan baru lagi.
19 Maret 2009,
Hari ini Ulang tahunku yang ke-25,tepat sebulan sejak aku berkenalan dengan Aliyah.Biasanya aku merayakannya dengan teman-temanku dengan pesta,tapi hari ini lain,Aliyah memberiku kado yang agak besar menurutku.Tapi ketika kubuka kadonya di rumah,”Subhanallah”itu kata pertama yang keluar dari mulutku.Sebuah Kitab Suci Al-Qur’an dan sebuah peci hitam.Aku terharu dan semakin yakin dengan keinginanku untuk mengkhitbah Aliyah.
22 April 2009,
Sepuluh hari menjelang pernikahanku dengan Aliyah.Terjadi sesuatu hal yang sebelumnya tak pernah kubayangkan.“Re,ini anak kamu Re.Kamu tak sadar waktu itu,kamu mabuk Re”ucap Angel terisak keras di depanku memohon.Aku masih tak percaya dengan apa yang dikatakan Angel,wanita yang terakhir kali kukencani sebelum aku bertemu Aliyah.Aku yakin tak pernah melakukannya,bahkan aku sangat yakin.Tapi melihat Angel yang menangis di hadapanku berlutut,aku jadi bimbang.“Kacau…kacau…kacau”sekali-kali kulempar barang-barang yg ada di kamarku.Aku pusing,aku takut Aliyah tahu ini.Pikiranku kacau,aku bahkan tak makan sedikitpun dari pagi,tubuhku lemas memikirkan hal ini.Kulihat Ibuku berjalan ke arahku,matanya merah.Ada segudang kekecewaan di wajahnya.“Rehan”ucapnya sambil memegang tanganku.suaranya parau.”Ibu tak tahu harus berkata apa,ibu tak menyalahkan kamu.Kamu harus menyelesaikan ini dengan Aliyah,bicaralah padanya.Ibu yakin,Aliyah seorang wanita kuat,ia pasti mau menerima ini kalau kamu harus menikahi Ang…el”isak Ibu dengan lirih.Tak kuasa aku menahan air mataku,lalu ku peluk ibu dengan erat.
Ketika esok,Dengan sekuat hati,aku menceritakannya kepada Aliyah apa yang terjadi dan aku berusaha meyakinkan dia bahwa aku tak pernah melakukannya.Kulihat ia mencoba mencerna perkataanku.Tak ada sedikitpun raut marah di wajahnya,persis kata Ibu,Aliyah wanita yang kuat.“Aku tak tahu apa itu benar atau tidak Mas.Allahu Allam,aku hanya tahu Allah maha melihat dan mengetahui apa yang terjadi di bumi ini.Aku hanya tahu bahwa Allah telah menentukan takdir kita.Jika Mas bimbang,sholat tahajudlah Mas.InsyaAllah,Allah akan memberimu petunjuk”hanya itu kata Aliyah.
Malam itu,aku bangun mengambil wudhu dan kujalankan tahajjudku yang pertamaDalam sujudku,aku menangis memohon petunjuk-Nya dan berdoa tetap menguatkan hatiku.Esok paginya,aku terbangun dengan air mata di pipi.”Ya…Allah,apakah ini adalah petunjuk yang Engkau berikan kepadaku?”.Aku bermimpi sedang berlari-lari kecil ditaman dengan seorang anak laki-laki.Kami kelihatan sangat bahagia.
Hari ini,kutetapkan hati untuk memberitahu Aliyah aku akan menikahi Angel dan akan menceraikannya setelah anak itu lahir.Tapi lagi-lagi perkataannya semakin meracuni pikiranku.“Astagfirullah Mas,apa yang Mas bicarakan ini?,belum menikah,Mas sudah ada niat untuk bercerai?,segitu tak berperasaankah Mas terhadap perempuan itu”?tanyanya lembut kepadaku.“Tapi Dek,Mas tak mencintainya.Mas mencintai kamu,dan Mas tak bisa hidup tanpa kamu.Percayalah Mas,dek.Tunggulah Mas,sampai ini berakhir”.Kulihat air mata Aliyah.Baru kali ini air mata itu turun di hadapanku,tapi ia masih tersenyum.“Mas,aku memang mencintai Mas.Tapi perasaan ini tak melebihi Cintaku kepada-Nya Mas.Aku ini seorang wanita Mas,sama seperti perempuan yang akan Mas nikahi.Jika Mas menceraikan pereempuan itu demi aku,itu sama saja aku memakan daging saudara perempuanku sendiri,dan aku tak ingin itu terjadi Mas.Sangat tak ingin.Jika memang kita berjodoh,Allah mungkin mempunyai rencana lain terhadap kita berdua Mas.Perceraian itu memang dihalalkan Mas,tapi sangat dibenci Allah.Aku tak ingin Allah membenci Mas karena aku…Mas”ucapnya panjang tersedu.Hatiku miris mendengarnya mendengarnya.Ingin rasanya kupeluk perempuan di hadapanku ini,tapi akku tak bisa melakukannya.”Ya…Allah,terima kasih telah mempertemukan aku dengan wanita ini”ucapku dalam hati.
25 April 2009,
Sesuai permintaan Aliyah,aku mempertemukannya dengan Angel.Mereka berbicara berdua di kamar Aliyah,sangat lama.Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan,perasaanku cemas jika Angel memarahi atau melukai Aliyah.Tapi itu hanya perasaanku saja,mereka keluar dengan wajah ceria.Bahkan mereka kelihatan akrab.Di kamar Aliyah,,,“Ya….Allah.Kuatkanlah hati hamba-Mu,jika ini cobaan yang engkau berikan kepada hamba.Maka hamba akan ikhlas menerimanya Ya Allah.Jika memang Mas Rehan bukan lelaki yang kau kirim untukku,maka tabahkan hati hamba”ucap Aliyah menangis dalam doanya.Aliyah masih bimbang juga dengan perasaannya.Jika ia ingin mengikuti kata hatinya,ia tidak rela Mas Rehan menikahi angel sebelum pembicaraannya dengan Angel kemarin…“Mba Angel…kesinilah”kusuruh ia duduk didekatku.Mukanya kelihatan pucat,matanya sembab.Angel sangat cantik,tubuhnya indah,kulitnya putih mulus,dengan perutnya yang sedikit mebuncit menurutku,tapi wajahnya terlihat raut sedih yang mendalam.Ia begitu pelan-pelan duduk disebelahku.Ia menunduk,begitu resah memainkan tangannya.“Mbak Angel,aku tahu apa yang Mbak rasakan.Jika berada di posisi Mbak,mungkin aku juga akan seperti itu”ucapku sambil memegang tangannya lembut.Tiba-tiba Angel memelukku,terisak pelan.Ku biarkan ia menangis di pelukanku.Ia melepaskan pelukannya saat tenang kembali.”Aliyah…maafkan aku”katanya tanpa menatapku.“Mba’….tak ada yang perlu dimaafkan.Mbak Angel tak sedikitpun bersalah kepadaku”.Tapi Angel masih tersedu.“Aliyah”kali ini ia menatapku,”Aku…aku….tak tahu harus berbuat apa lagi Aliyah.Aku….aku sudah berbohong kepadamu dan kepada Rehan…”katanya terisak.Aku tersentak mendengar perkataannya,”Mba…katakanlah,bukankah suatu kebohongan itu tidak baik.Jika ada yang ingin Mba katakan,katakanlah….Aliyah siap mendengarnya”.Ia kemudian memegang kedua tanganku dan menciumnya,”Maafkan aku aliyah….sebenarnya,aku tak tahu anak siapa yang ada dalam rahim ini.Aku…aku….tak tahu harus bagaimana lagi Aliyah.Aku..tak ingin Rehan tahu soal ini…aku takut……”katanya terisak keras.Aku lebih tersentak mendengarnya,ada sebersit rasa marah dalam diriku pada Mba Angel,tapi aku masih mencoba mencerna.”Tapi Mba’…Kenapa harus Mas Rehan?kenapa?“Aku tak tau harus kemana lagi Aliyah,yang pertama kali muncul dibenakku waktu itu adalah Rehan.Karena ia….ia yang terakhir berpacaran denganku.Sungguh Aliyah,maafkan aku,tolong aku….Kau perempuan Aliyah,kau pasti tau seperti apa perasaanku”.Air matanya sangat deras,membuatku sangat iba.Aku berusaha tenang.Mataku berkaca-kaca,seandainya…seandainya aku yang berada di posisi Mba Angel,apakah aku juga akan berbuat seperti ini Ya Allah?”tanyaku dalam batin.“Mba,ada satu hal yang ingin Aliyah tanyakan kepada Mba’,Apa Mas…Rehan pernah melakukannya dengan Mba’’tanyaku hati-hati tapi tegas.Kulihat ada sedikit kekecawaan dalam raut wajahnya,ia menunduk.”Ti…ti..dak”katanya ragu-ragu.“Subhanallah”ucapku.”Tapi Aliyah,aku mohon,jangan kau katakan ini kepada Rehan.Aku takut…takut…..sangat takut Aliyah”ucapnya masih terisak.“Mba…waktu.Mba melakukannya,apakah rasa takut itu sebesar rasa takut mba kepada Allah?,bukankah Mba tau berzina itu dosa dan hukumnya haram”.Ia mendesah mendengar perkataanku,”aku baru tahu sekarang Aliyah,dulu aku tak pernah ingin tahu apa itu dosa dan apa itu Tuhan.Tapi aku hanya manusia Aliyah,sama seperti kamu yang pernah khilaf,aku baru sadar sekarang bahwa aku telah banyak melakukan kesalahan tapiii…tapii aku ingin berubah Aliyah.Aku ingin berubah…apakah tidak ada kesempatan bagiku untuk berubah Aliyah? Bukankah katanya Allah itu Maha Memaafkan hambanya yang ingin berubah”.Aku kaget mendengar ucapannya,semestinya aku juga tak berhak menghakimi Mba’ Angel.Aku juga tak sempurna dan pasti akan berbuat kesalahan.Lalu kupeluk Mba’ Angel dan kukatakan padanya “Tenanglah Mba’,Jika Allah menginginkan aku berbuat begini maka itu akan terjadi.
3 hari sebelum pernikahan Mas Rehan dan Angel…
“Aliyah…Mungkin kau tak tahu seberapa besar rasa sayangku padamu.Kau yang telah merubahku.Ku yang mebuat hidupku ini berarti.Kau ajarkan aku tentang suatu keikhlasan.Kau ajarkan aku tentang suatu kesabaran.Jika ini memang takdir kita,maka aku berusaha untu ikhlas”ucapku sedikit miris ketika kami berbicara di teras depannya rumahnya.Aliyah tersenyum sangat indah.”Mas…Aliyah tahu itu dan aku tahu mana yang baik untukku.Jika aku memang bukan jodoh Mas,berarti ada yang lebih baik untuk Mas dan untukku.InsyaAllah Mas,Allah maha adil kepada hamba-hambanya”ucapnya.“Aliyah,sebelum Mas menikah,apakah ada sesuatu yang ingin kau minta dari Mas.Mas siap memberikannya sebagai rasa syukurku bahwa aku ditakdirkan bertemu dengan wnaita sepertimu”.Kali ini ia tersenyum lebar “Ada Mas….”ucapnya kemudian.“Apa itu Aliyah,katakanlah…InsyaAlah aku akan mewujudkan?tanyaku bersemangat.“Jika nati Mas telah sah menikah dengan Mba Angel,aku ingin Mas mencium ubun-ubunnya ketika Mas memasuki kamar sambil membacakan doa untuknya,setelah itu,Mas mengajaknya shalat berjamaah agar ia kelak menjadi istri yang sholehah pada mas.Sayangilah ia seperti Mas menyayangi diri sendiri”.Aku terkejut mendengar perkataan Aliyah,aku ingin menangis.”Subhanallah,InsyaAllah Aliyah”hanya itu yang kuucap.“Satu lagi Mas,aku mohon kita jangan terlalu sering berhubungan.Aku ingin menjaga perasaan Mba Angel dan keluarganya serta menjaga diriku sendiri dari ocehan orang-orang yang tidak baik.Mas mengerti kan apa maksudku?”.Hatiku sedih mendengarnya,”InsyaAllah Aliyah..InsyaAllah”hanya itu yang bisa kuucap.
30 April 2009,
Aku menyaksikan ijab Kabul itu,ada perasaan sedih di hatiku meskipun aku bahagia.Mas Rehan dan Mba Angel telah sah menjadi suami istri.Mba Angel terlihat sangat bahagia,ia begitu erat memelukku setelah acara pernikahan.Ia sangat berterima kasih padaku dan ia berjanji akan menjadi Isri yang baik bagi Mas Rehan.Tapi aku tak tahu apa yang terjadi pada Mas Rehan,ia masih kelihatan sangat bimbang.Ada rasa kecewa di raut wajahnya.Tapi aku mencoba untuk tida mempedulikannya.
24 Agustus 2009,
Sudah 3 bulan lebih,sejak pernikahan Mas Rehan dan Mba’ Angel.Aku jarang bertemu mereka.Terakhir bertemu mereka waktu bulan kemarin di acara tujuh bulanan Mba’ Angel.Mba’ Angel kelihatan sangat gembira,dia sangat baik terhadapku.Dia kelihatan berbeda dengan jilbab yang dikebakannya,malah sangat cantik menurutku.Tapi ada yang berbeda hari itu,Mas Rehan kelihatan berubah sikapnya kepadaku.Hanya menanyakan kabarku saja dan berlalu begitu dan tak pernah menolehku lagi.Aku terima dengan sikapnya sebab aku juga tak berhak marah.
20 Oktober 2009,
Hari ini,Mba Angel melahirkan,atas permintaanya kepada Mas Rehan.Ia memanggilku melihat persalinannya.Bayi laki-laki itu sangat tampan.Kulihat Mas Rehan sangat bahagia menggendongnya,begitupun Mba Angel.Akupun ikut bahagia.Tapi..Malam itu,Mba Angel tiba-tiba merintih kesakitan,padahal sebelumnya ia taka apa-apa,kata dokter tubuh Mba Angel melemah setelah proses persalinan.Mba Angel memegang erat tanganku dan tangan Mas Rehan di sampingnya.Ia terbaring lemah,tapi ia masih bisa tersenyum dan berbicara,“Aliyah,sejak aku bertemu denganmu,aku sudah melihat tanda-tanda kebesaran-Nya.Kau memang wanita yang baik Aliyah,pantas jika Mas Rehan sangat mencintaimu”ucap Mba Angel pelan.Aku memandangnya.Seketika itu air mataku turun, ”Mba…istirahatlah.Jangan terlalu banyak bicara kata dokter”kataku.Ia tersenyum dan beralih memandang Mas Reha,”dan kau Mas rehan,kau jangan berpura-pura lagi.Aku tahu kau sangat mencintai Aliyah bahkan setelah kita menikah kaupun masih mencintainya.Kau tahu aku tak cemburu sedikitpun”ucapnya lagi.Kulihat Mas Rehan menggenggam erat tangan Mba Angel,ia tak berkata sedikitpun.Air matanya pun menetes.”Aliyah”kemudian ia kembali berbicara padaku,”aku ingin kau menjaga malaikat kecil itu,sayangi ia seperti kau menyayangi Rehan.Jadikan ia sholeh seperti Mas Rehan.Berjanjilah padaku aliyah”pintanya.Aku menangis mendengarnya.”Dan Mas Rehan,aku ingin kau menyayangi anak kita seperti engkau mencintai Aliyah.Dan Maafkan atas semua kesalahanku selama ini,Lakukanlah apa yang dari dulu kau inginkan.Aku merestui kalian”.Aku dan Mas Rehan terkejut mendengar itu,kami pun menagis bersama-sama.Lalu,”AshaduAllah ilaha Illallah,waashaduanna muhammaddarrsulullah”ucapnya terakhir kali.Mas Rehan tak kuasa menahan tangis sambil memeluk Mba Angel.Air matakupun tak berhenti,”Innalillahi Wainna ilahi Rajiun,semoga engkau diterima disisi-Nya”.
http://cerpen.net/cerpen-cinta/cinta-itu-butuh-kesabaran.html
Langganan:
Postingan (Atom)