Aku paling suka jika bulan ramadhan tiba. Selalu kunanti-nantikan bulan paling mulia itu, dimana seluruh amalan kita akan dilipatgandakan oleh Yang Maha Kuasa. Tapi lebih dari itu, aku menyukai kebiasaan-kebiasaan warga di kampungku yang hanya terjadi pada bulan ramadhan.Dini hari sekali ibu sudah membangunkanku. Aku yang biasanya baru bangun pukul lima pagi merasa berat untuk membuka mata. Kutarik lagi selimut untuk menutupi tubuhku, mencoba mencari kehangatan di antara dinginnya angin malam yang menusuk. Kata ibu, khusus bulan ini aku harus bangun lebih pagi, pukul setengah tiga. Tapi aku tak bisa melawan kantuk yang menguasaiku. Dengan sabar ibu terus membangunkanku, bahkan sedikit memaksa. Setelah separuh kesadaranku utuh ibu akan menuntunku menuju kamar mandi, dengan mataku masih terpejam. Ibu membantuku mengambil air wudhu, membasuh wajahku sampai kantukku lenyap.“Dingin...” rengekku.“Tak apa, nanti juga biasa,” bujuk ibu.Air wudhu selalu ampuh untuk membangunkanku sepenuhnya. Setelah itu aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku berjalan menuju ruangan tempat keluargaku sholat berjamaah. Di sana ayah sudah menungguku. Menyadari kedatanganku ayah menoleh dan tersenyum, lalu melanjutkan bertasbih. Aku suka jika ayah tersenyum, sesuatu yang hangat menyusup pelan di hatiku. Aku bergegas mengenakan mukenah lalu mengambil duduk di belakang ayah. Sebentar kemudian ibu menyusul, wajahnya basah. Kami lalu sholat tahajud berjamaah.Setelah itu kami bertiga makan sahur. Seperti biasa ayah memimpin doa. Lauk makan kami sederhana, hanya makanan sisa semalam yang sudah dihangatkan. Kadang ibu menambahkan mie rebus dan telur ceplok kalau lauknya terlalu sedikit. Aku tidak bisa membayangkan sejak kapan ibu menyiapkan semua ini. bagiku bangun jam setengah tiga sudah terlalu pagi. Lalu bagaimana dengan ibu yang telah bangun lebih dulu? Menyiapkan makan sahur untukku? Dan menghabiskan beberapa menit untuk membangunkanku? Aku tak bisa membayangkan akan jadi apa aku jika memiliki ibu selain ibuku yang luar biasa ini.Ayah tidak akan membiarkanku tidur lagi selesai sahur. Kadang ayah mendongengiku cerita nabi-nabi yang sangat kusukai. Aku paling suka kisah Nabi Sulaiman yang istananya terbuat dari kaca dan emas. Kadang kami hanya duduk menonton acara sahur yang banyak ditayangkan stasiun televisi pada bulan ramadhan. Apapun untuk mengalihkanku dari tidur. Semua ini dilakukan ayah agar bisa mengajakku sholat Subuh berjamaah di masjid. Sungguh ayahku adalah seorang yang religius.“Jangan membiasakan tidur lagi sehabis sholat Subuh. Nanti Allah tidak akan memberikan rezekiNya buat Adek,” begitu ayah selalu menasihatiku. Maka selepas Subuh ayah akan mengajakku jalan-jalan. Tak perlu jauh-jauh, dengan penuh sayang ayah menggandeng tanganku berkeliling kampung. Menghirup udara pagi yang masih segar dan menyaksikan detik-detik matahari akan terbit. Kadang ibu juga turut serta.Ternyata bukan hanya ayah yang berpikiran seperti itu. Banyak warga di kampungku yang jalan-jalan Subuh bersama keluarga maupun teman. Beberapa anak laki-laki bermain mercon untuk mengagetkan yang lain. Benar-benar Subuh yang semarak di bulan ramadhan.Aku akan ikut ayah dan ibu ziarah wali songo. Asik... jalan-jalan. Bagi ayah dan ibu ini adalah perjalanan sakral, ziarah ke makam para penyebar agama Islam. Tapi yang ada di pikiran anak usia tujuh tahun kala itu selain ziarah artinya rekreasi? Sangat menyenangkan. Tak sabar rasanya aku menunggu hari Jumat tiba. Bukan makam-makam yang kunantikan, sungguh bukan itu.aku justru lebih menikmati perjalanan dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Melihat pemandangan yang berupa-rupa eloknya. Aku selalu terkagum-kagum-kagum menyaksikan pohon dan rumah-rumah melompat minggir dan menjauh saat mobil yang kukendarai lewat. Lucu sekali.Tapi sungguh malang. Pakaianku sudah dikemas, besok tinggal berangkat.tapi tiba-tiba malam sebelum berangkat badanku panas. Tidak terlalu parah memang, tapi mampu membuat acara berpergianku batal.“Biar ayah saja yang pergi. Adek ibu yang jaga,” ibu mengompres keningku dengan air es. Sejuk.Aku diam saja, merasa lemah sekaligus marah karena sakitku yang datang tidak pada waktunya.“Nggak usah dibatalkan toh, Bu. Ini kan ibadah,” kakakku Anisah masuk ke kamar. “Ibu berangkat saja sama ayah. Nisah kan libur, biar Nisah yang jaga adek di rumah.”Kak Anisah adalah satu-satunya saudara yang kumiliki. Jarak usia kami terpaut sepuluh tahun. Tapi karena sama-sama perempuan menjadikanku dan Kak Nisah dekat. Kak Nisah bersekolah di madrasah yang ada di luar kota. Sebulan sekali kakak pulang. Saat ini Kak Nisah ada di rumah karena sekolahnya libur menjelang hari raya.Aku tahu ibu belum pernah ziarah wali songo. Saat ini ibu pasti ingin sekali bisa ikut pergi bersama rombongan yang lain. Tapi ibu berat meninggalkanku.Aku tidak boleh mengecewakan ibu, tekadku. Dengan mengusahakan senyum aku mencoba ikhlas membiarkan ibu dan ayah jalan-jalan tanpa aku. Ibu tahu maksud senyumku itu. Sorot matanya penuh terima kasih saat menatapku. Kecewaku sedikit terobati.Esoknya, ibu dan ayah sudah bersiap akan berangkat. Panasku sudah turun, hanya masih lemas. Tidak seperti biasanya saat akan pergi, ibu rasanya berat sekali akan pergi. Mungkin karena ibu dan ayah akan pergi beberapa hari sedang aku baru saja sembuh dari sakit.“Adek nggak boleh nakal ya. nurut sama kakak. Ingat, puasanya nggak boleh batal lho,” pesan ibu sambil menjawil ujung hidungku.“Jangan lupa juga, sholat tepat waktu,” imbuh ayah. “Nggak boleh males-malesan meski ibu dan ayah tidak di rumah,” ayah lalu menoleh ke Kak Nisah, “Jaga adek ya, Kak.”Aku mengantarkan ayah dan ibu ke depan. “Adek minta oleh-oleh apa?”“Mm...” aku berpikir sebentar, “Adek minta dibeliin barbie ya, Bu. Yang rambutnya puanjang,” kurentangkan kedua tanganku lebar-lebar.Ibu tersenyum melihat tingkahku. “Iya iya. Insya Allah ibu belikan.”Aku dan Kak Nisah lalu mencium tangan ayah dan ibu.“Hati-hati di jalan, Yah, Bu,” kata Kakak.Dari pagar rumah kusaksikan mobil carteran yang dinaiki ayah dan ibu berangkat. Kulihat Kak Nisah meneteskan air mata, tapi buru-buru menghapusnya. Entah mengapa aku juga merasakan kesedihan yang luar biasa.Tiga hari setelah itu. Seharusnya ayah dan ibu sudah sampai di rumah. Tapi nyatanya barbie yang kupesan tak ibu belikan. Karena ayah dan ibu tak pernah pulang. Kak Nisah tak pernah melepaskan pelukannya dariku. Air matanya terus berurai setelah dua polisi yang mendatangi rumahku pergi. Aku marah pada polisi yang telah membuat kakakku menangis. Tapi apa yang bisa dilakukan anak kecil sepertku ketika menghadapi orang dewasa yang tampangnya menyeramkan itu? Tidak ada. Aku hanya mematung sementara Kak Nisah memelukku. Terus kupandangi ujung jalan tempat ayah dan ibu dulu berangkat. Karena aku yakin, dari sanalah nanti ayah dan ibu pulang. Aku terus menunggu...Aku tergeragap. Adzan Subuh dikejauhan membangunkanku dari mimpi buruk. Kuraih jam beker di samping ranjangku. Pukul setengah lima. Duh... lagi-lagi aku nggak sahur. Inilah nggak enaknya jadi anak kos, semuanya serba sendiri. Nggak ada Kak Nisah yang selalu membangunkanku untuk makan sahur. Syukurlah semalam sebelum tidur aku sudah berniat puasa.Kusingkap selimut yang membungkus kakiku, lalu berjalan ke kamar mandi mengambil air wudhu. Dingin. Tapi aliran air wudhu selalu mampu membangunkan sel-sel otakku yang masih tertidur.“Tak apa. Nanti juga biasa...”Kudengar suara lembut seorang wanita di telingaku. Aku tersenyum dan semakin memantapkan niat. Setelah itu aku kembali ke kamar. Kugelar sajadahku.“Berdoalah, Nak. Maka Allah akan mengabulkan doa-doamu...”Kali ini suara laki-laki yang kudengar. Begitu lembut dan penuh kasih. Sosok yang tak pernah berhenti kurindukan meski telah dua belas tahun berselang. Tak kuasa air mata meleleh dalam sujudku.“Ya Allah...di sini aku bersimpuh mengharap pertolonganMudua malaikat yang Kau utus menjagakutelah Engkau panggil, ya Allahmaka tak ada lagi tempat aku mengharap kasihselain hanya padaMuYa Allah...berikanlah surga terbaikMu untuk edua orang tuakuhamba-hambaMu yang tak pernah lalaimengerjakan perintahMuYa Rabb...ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuakukasihanilah mereka sebagaimana mereka mengasihaniku dulu
Allahummagh fir lii wa liwaalidayyawarhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa
Amin...”
http://cerpen.net/Cerpen-islami/kasih-ramadhan.html
Cari Blog Ini
Sabtu, 06 Agustus 2011
" Surat Cinta Untuk Jiwa-ku Dan Jiwa-mu "
" Surat Cinta Untuk Jiwa-ku Dan Jiwa-mu "
•*♥*•.¸¸.•*¨*•♫*♥*♥*♫•*¨*•.¸¸¸ .•*♥*•
♥ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ♥
Surat ini kutujukan untuk diriku sendiri serta sahabat-sahabat tercintaku yang insyaAllah tetap mencintai Allah dan RasulNya di atas segalanya, karena hanya cinta itu yang dapat mengalahkan segalanya, cinta hakiki yang membuat manusia melihat segalanya dari sudut pandangan yang berbeda, lebih bermakna dan indah.
Surat ini kutujukan untuk hatiku dan hati sahabat-sahabat tercintaku yang kerap kali terisi oleh cinta selain dariNya, yang mudah sekali terlena oleh indahnya dunia, yang terkadang melakukan segalanya bukan keranaNya, lalu di ruang hatinya yang kelam merasa senang jika dilihat dan dipuji orang, entah di mana keikhlasannya.
Maka saat merasakan kekecewaan dan kelelahan karena perkara yang dilakukan tidak sepenuhnya berlandaskan keikhlasan, padahal Allah tidak pernah menanyakan hasil. Dia akan melihat kesungguhan dalam berproses.
Surat ini kutujukan pula untuk jiwaku serta jiwa sahabat-sahabat tercintaku yang mulai lelah menapaki jalanNya ketika seringkali mengeluh, merasa dibebani bahkan terpaksa untuk menjalankan tugas yang sangat mulia. Padahal tiada kesakitan, kelelahan serta kepayahan yang dirasakan oleh seorang hamba melainkan Allah akan mengampuni dosa-dosanya.
Surat ini kutujukan untuk roh-ku dan roh sahabat-sahabat tercintaku yang mulai terkikis oleh dunia yang menipu, serta membiarkan fitrahnya tertutup oleh maksiat yang dinikmati, lalu di manakah kejujuran diletakkan? Dan kini terabailah sudah nurani yang bersih, saat ibadah hanyalah sebagai rutin belaka, saat jasmani dan fikiran disibukkan oleh dunia, saat wajah menampakkan kebahagiaan yang penuh kepalsuan.
Coba lihat disana ! Hatimu menangis dan meranakah ???
Surat ini kutujukan untuk diriku dan diri sahabat-sahabat tercintaku yang sombong, yang terkadang bangga pada dirinya sendiri. Sungguh tiada satupun yang membuat kita lebih di hadapanNya selain ketakwaan.
Padahal kita menyedari bahawa tiap-tiap jiwa akan merasakan mati, namun kita masih bergulat terus dengan kefanaan. Surat ini kutujukan untuk hatiku dan hati sahabat-sahabat tercintaku yang mulai mati, saat tiada getar ketika asma Allah disebut, saat tiada sesal ketika kebaikan berlalu begitu sahaja, saat tiada rasa takut padaNya ketika maksiat dilakukan, dan tiada merasa berdosa ketika mendzalimi diri sendiri dan orang lain.
Akhirnya surat ini kutujukan untuk jiwa yang masih memiliki cahaya meskipun sedikit, jangan biarkan cahaya itu padam. Maka terus kumpulkan cahaya itu hingga ia dapat menerangi wajah-wajah di sekeliling, memberikan keindahan Islam yang sesungguhnya hanya dengan kekuatan dariNya
"Ya..Allah yang maha membolak-balikkan hati,
tetapkan hati ini pada agamaMU, pada taat kepadaMu dan dakwah di jalanMu "
Semoga dapat membangkitkan iman yang sedang mati atau jalan di tempat, berdiam diri tanpa ada sesuatu amalanpun yang dapat dikerjakan. Kembalikan semangat itu sahabat- sahabat tercintaku...Wallahualam Bishawab
Ada Allah dan orang-orang beriman yang selalu menemani di kala hati "lelah".
♫•*¨*•.¸¸ﷲ¸¸.•*¨*•♫♥::♥::♥ hamba ﷲ♥::♥::♥♫•*¨*•.¸¸ﷲ¸¸.•*¨*•♫.
Semoga kita bisa mengambil Ibroh dari artikel singkat ini ....Insya ALLOH ..
(¯`v´¯)♥ Aamiin Ya Robbal'alamiin ♥
`·.¸.·``(´'`v´'`)♥(¯`v´¯)♥(¯`v´¯)
..♥♥...♥.`•.¸.•´♥. `·.¸.·`.♥`·.¸.·`♥" Sang Pencari Cinta Sejati-Nya "♥
(¯`v´¯)♥:(¯`v´¯)♥:(¯`v´¯)♥ :(¯` v´¯)♥:(¯`v´¯)♥:(¯`v´¯)♥:(¯`v´¯)♥
`·.¸.·`¸.´`·.¸.·`¸.´`·.¸.· `¸.` `·.¸.·`¸.``·.¸.·`¸.``·.¸.·¸.``·.¸.·",
`•.¸.•`.`•.¸.•`_SUBHANALLO H_`•.¸.•`.`•.¸ .•`
(¯`v´¯).•♥•.¸.•*¨).••♥•♥••.(¸. •´.•♥•.(¯`v´¯)
`•.¸.•`_¶**¶_____________¶**¶_ ___`•.¸.•`
___________*¶*___*¶*_____* ¶*__ __*¶*
__________*¶*_______*¶*¶*_____ ___*¶*
_________*¶*__________*___ ____ ____*¶*
_________*¶*__________________ ____*¶*
_________*¶*________ اﷲ___ اﷲ______*¶*
__________*¶*_________________ ___*¶*
___________*¶*____________ ____ _ _*¶*
_____________*¶*_____*____*___ *¶*
______________*¶*_________ ___* ¶ *
________________*¶*________*¶*
__________________*¶*____* ¶*
____________________*¶_*¶*
______________________*¶
♥•*¨*•♥•*¨*•♫♥•*Post By:Renungan Qolbu *•♥♫•*¨*•♥•*¨*•♥
♥•*¨*•♥•*¨*•♫♥•* Thufail Na'im Ar'Syahid *•♥♫•*¨*•♥•*¨*•♥
http://abu-azvhirandha.blogspot.com/2011/08/surat-cinta-untuk-jiwa-ku-dan-jiwa-mu.html
Tuhan, Kutitipkan Salam Cinta Untuknya…
Sinta duduk terdiam mememandangi layar ponselnya yang berkali-kali menyala. Panggilan masuk pada ponsel tidak ia gubris sama sekali. Sesekali ia memejamkan mata dan menggigit bibir mungilnya. Sinta bingung dengan situasi yang sedang ia hadapi. Lelaki itu membuat hidupnya dipenuhi kepura-puraan demi menjaga image-nya. Namun, hatinya tak bisa berkilah dari kenyataan yang ada. Sinta sebenarnya tak dapat memungkiri cintanya pada laki-laki itu, tetapi sisi gengsinya muncul tatkala ia teringat akan nasihat dan cemoohan teman-temannya yang tak menginginkan gadis semanis dan secerdas Sinta menambatkan hatinya kepada laki-laki itu. Tangis Sinta pun pecah tak terbendung lagi. ♥♥♥ Subuh sebentar lagi menghampiri seluruh wilayah kota Yogyakarta. Sementara itu, Sinta masih terlelap dalam tidurnya. Tubuh rampingnya berbalut piyama becorak batik khas Yogyakarta. Rambut panjang menutupi sebagian pipi kanannya yang merekah bagai kue bakpao yang masih hangat. Di samping Sinta terlihat Dian yang tidur mendengkur dengan dekapan guling pada kedua tangannya. Malam itu Sinta menginap di kost Dian karena mengerjakan tugas kuliah yang dikerjakan secara berkelompok. “Kau buat aku bertanya. Kau buat aku mencari tentang rasa ini aku tak mengerti. Akankah sama jadinya bila bukan kamu. Lalu senyummu menyadarkanku. Kau cinta pertama dan terakhirku…”. Suara merdu Sherina dengan lagunya berjudul ‘Cinta Pertama dan Terakhir’ menjadi nada panggil ponsel milik Sinta yang tergeletak di sebelah kanannya. Volume nada panggil itu keras sekali sehingga seketika langsung membangunkan Sinta yang tengah tertidur lelap. Sinta segera meraih ponsel kesayangannya dan tanpa melihat nama penelpon pada layar ponsel, Sinta langsung mengangkat telepon itu. “Assalamu’alaikum…,” ucap Sinta dengan suara khas orang mengantuk.“Wa’alaikumsalam. Pun tangi dereng sampean…? (Kamu sudah bangun belum?),” jawab orang itu dari seberang sana.Mendengar suara itu, mata Sinta yang tadinya masih setengah terpejam langsung terbelalak dan tubuhnya beranjak dari kasur tidurnya. Lampu di kamar kost masih padam. Di luar sana matahari belum menampakkan sinar cantiknya. Sebelum berbicara lebih lanjut, Sinta melihat layar ponselnya untuk memastikan orang yang sedang menelepon dirinya. Mata Sinta menyipit lantaran cahaya dari layar ponsel yang menyilaukan. Pada layar ponselnya waktu menunjukkan pukul 03.45 dan nama penelepon yang muncul pada layar ponsel Sinta adalah…Lukman.“Oh…eh…nggih, Mas (iya, Mas). Ini baru bangun. Eeem…pagi-pagi kok udah telepon? Ada apa ya, Mas?”“Mboten napa-napa (tidak apa-apa). Tak kira sudah bangun,” jawab Mas Lukman dengan santai.Sinta gugup setengah mati begitu suara Mas Lukman mengalir di antara daun telinganya. Ia bingung harus berkata apa setiap kali lelaki itu menelepon dirinya. Sinta hanya mampu berdiam. Namun kali ini, sepertinya Sinta harus mampu berbicara dengan Mas Lukman.“Pripun? Mawar merahè taksih disimpen ta? (Bagaimana? Mawar merahnya masih disimpan kan?) ,” tanya Mas Lukman kepada Sinta yang masih diam membisu. Mendengar pertanyaan itu, hati Sinta menjadi semakin tak karuan. Ia mendadak menjadi bertingkah aneh. Tangannya mengepal dan kakinya menghentak-hentak ke lantai tanpa arti. Suasana pagi yang menyejukkan badan tak membuat tubuh Sinta merasakan kesejukkan itu. Suhu tubuhnya menjadi panas dan sedikit demi sedikit keringat keluar dari pori-pori kulit putihnya.“Nggih, Mas…. Mawarè taksih kula simpen (Iya, Mas. Mawarnya masih aku simpan).” “Berarti saya sudah benar diterima kan?”“Aduh, Mas. Bukannya tadi malam udah kujawab lewat SMS. Mawar merahè sampun kula tampi kan? (Mawar merahnya sudah saya terima kan?),” jawab Sinta gugup. “Ya sudah kalau masih disimpan. Makasih ya, Dik sayang….” Deg. Dik Sayang? Mas Lukman panggil aku ‘dik sayang’? Apa itu artinya dia menganggap aku sebagai…. Oh, gak mungkin! Tadi malam itu aku kan cuma bercanda. Aku cuma iseng kirim SMS itu ke dia. Terus dia membalas SMSku dengan jawaban ‘mawar merah’. Batin Sinta semakin berkecamuk setelah Mas Lukman memanggil dirinya dengan ‘dik sayang’. Jujur dari dalam hatinya, ia senang Mas Lukman memanggil dirinya seperti itu, namun di sisi lain hatinya ia paksa untuk menolak panggilan itu. Tiba-tiba Sinta merasa bersalah pada dirinya sendiri. Ia merasa bodoh telah mengirim SMS itu kepada Mas Lukman. Tadi malam, Sinta mengirim SMS untuk Mas Lukman yang berisi ‘Mawar item buat musuh, mawar kuning buat teman periang, mawar pink buat teman baik, mawar putih buat orang yang kamu sayang, mawar merah buat orang yang kamu cinta. Terus, mawar mana yang mau kamu kirim ke aku?’. Niat Sinta mengirim SMS seperti itu untuk Mas Lukman hanya iseng. Akan tetapi, keisengan Sinta berdampak “petaka” bagi dirinya. Tanpa disangka-sangka, Mas Lukman membalas pertanyaan SMS Sinta itu dengan jawaban yang membuat Sinta tak mampu berkata apa pun. Mawar merah. Itulah jawaban pertama Mas Lukman. Awalnya, Sinta merasa jawaban SMS Mas Lukman itu hanya bercanda. Sinta lantas membalas SMS Mas Lukman dengan ucapan terima kasih. Sinta berpikir bahwa setelah ia mengucapkan terima kasih, Mas Lukman tidak akan membalas SMSnya lagi. Namun, kali ini dugaan Sinta meleset. Tiba-tiba Mas Lukman masih membalas SMS Sinta dengan mengajukan sebuah pertanyaan untuknya. Pertanyaan Mas Lukman itu sangat mengejutkan hati Sinta. Ia terkejut lantaran ia bingung untuk menjawab pertanyaan itu. ‘Kula dereng pernah kasih mawar merah kagem cewek. Kula takutè ndak ditolak. Lha nek sakniki pripun? Ditolak napa mboten? (Saya belum pernah memberi mawar merah buat cewek. Saya takutnya kalau ditolak. Lha kalau sekarang bagaimana? Ditolak apa tidak?)’. Begitulah isi pertanyaan dari Mas Lukman. Sinta bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Ia takut jika ia menjawab ‘diterima’, Mas Lukman akan beranggapan bahwa Sinta menerima cintanya. Namun, jika ia menjawab ‘tidak diterima’, Sinta takut Mas Lukman akan kecewa. Begitu juga dirinya. Tanpa ia sadari, rupanya telah tumbuh benih cinta dalam hati Sinta untuk Mas Lukman. Namun, Sinta mencoba membuang rasa itu. Lama Sinta berpikir untuk mencari jawaban yang tepat. Hati dan pikirannya tidak dapat menyatu. Tak disangka, setelah cukup lama Sinta berpikir mencari jawaban, ia malah melempar balik sebuah pertanyaan untuk Mas Lukman. ‘Mas, misalnya mawar merah itu aku terima gimana?’. SMS terkirim menuju nomor Mas Lukman dan Sinta akan tahu jawaban selanjutnya dari Mas Lukman. Sinta berharap jawaban dari Mas Lukman membuat dirinya sedikit lebih tenang. Grrrrrrrttt…! HP Sinta bergetar pertanda ada SMS masuk. SMS itu adalah jawaban dari Mas Lukman. Sebelum membuka jawaban SMS itu, sesaat Sinta menggenggam erat ponselnya. Perlahan ia membuka isi SMS itu dan membaca dengan hati-hati. Sinta tampak memahami isi SMS itu dan tiba-tiba wajahnya menunjukkan raut kegelisahan yang semakin menjadi. Jawaban SMS dari Mas Lukman menyatakan bahwa dia akan bahagia dunia akhirat jika Sinta mau menerima mawar merahnya dan juga sebaliknya. SMS dari Mas Lukman membuat hatinya sedikit tergoda dan sedikit luluh. Kini Sinta tak tahu lagi akan menjawab apa. Tanpa berpikir lebih jauh, akhirnya Sinta memutuskan untuk menerima mawar merah dari Mas Lukman. Sinta mencoba berpikir sederhana. Ia pikir bahwa itu hanya permainan iseng. Tidak akan mempengaruhi sisi lain dunia asmaranya. Akan tetapi, perkiraan Sinta meleset lagi. Mas Lukman justru semakin membuat Sinta bingung. Mas Lukman tak henti-hentinya “menggiring” Sinta untuk membahas mawar merah itu. Sinta tak menyangka bahwa Mas Lukman kali ini akan menanggapi serius SMS iseng darinya. Kali ini, Mas Lukman membuat pernyataan “gila” dan membuat Sinta tak mampu berpikir lebih jernih. Pikiran Sinta bagaikan benang ruwet yang tak mudah untuk diluruskan. Alis tebal Sinta naik ke atas ketika ia membaca SMS Mas Lukman yang berisi ‘Hainggih yang diterima cuma mawar merahè tapi gak maw nerima sayang&cintanè ta? (Iya yang diterima Cuma mawar merahnya, tapi tidak mau menerima sayang dan cintanya, kan?)’. Skak! Mati gaya Sinta kali ini. Sekarang ia tak bisa lagi mencari jawaban. Sinta melirikkan matanya ke arah Dian yang masih tertidur pulas. Wajah manisnya menampakkan raut kebingungan yang mendalam. Sinta mencoba untuk tenang. Pikiran ruwetnya ia coba untuk diluruskan kembali. Ia menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. Setelah melakukan penenangan diri, Sinta mulai berani menghadapi kenyataan pada awal hari itu. Jari Sinta menyentuh keypad ponsel dan tanpa berlama-lama lagi ia segera merangkai kalimat yang mewakili hati dan pikirannya. ‘ Mas, kula sampun terima mawar merahè. Kalau masalah menerima sayang dan cinta, semua orang kula terima sayang dan cintanè. Kula sayang dan cinta kalih orang-orang sing cinta dan sayang kalih kula’ (Mas, aku sudah menerima mawar merahnya. Kalau masalah sayang dan cinta, semua orang aku terima sayang dan cintanya. Aku sayang dan cinta dengan orang-orang yang juga cinta dan sayang sama aku). Begitulah jawaban yang keluar begitu saja dari hati dan pikirannya. Sinta tak peduli apakah jawaban itu benar untuk dia atau malah sebaliknya. Belum lama setelah Sinta membalas SMS untuk Mas Lukman, tiba-tiba Mas Lukman sudah mengirim SMS balasan untuk Sinta. ‘ Ah, cepat sekali dia balas SMSku.’ Pikir Sinta. Perlahan Sinta membuka isi SMS balasan dari Mas Lukman. ‘ Dik sayang, mau tidak nerima cinta kula? ( Dik sayang, mau tidak menerima cinta saya?). Membaca isi balasan SMS dari Mas Lukman yang seperti itu, hati Sinta mendadak menjadi gugup. Ia tak mengerti tentang perasaan yang ia alami saat ini. Aneh sekali. Detak jantungnya berdegup kencang. Sinta bertekad untuk menyudahi SMS dengan Mas Lukman, tetapi hati kecilnya menginginkan dirinya untuk menjawab pertanyaan dari Mas Lukman itu. Sinta menundukkan kepala di antara kedua lututnya yang ditekuk. Ia mencoba untuk berpikir. ‘ Bagaimana bisa seorang Mas Lukman mencintai gadis seperti aku? Apa yang membuat dia cinta padaku? Aku ini hanya gadis biasa yang menurutku sama sekali tidak pantas jika bersama Mas Lukman. Lagipula, di Magelang sana pasti banyak gadis yang lebih baik dan lebih santun daripada aku. Memang seperti apa sosok diriku di mata Mas Lukman? Apa yang dia cari dari aku?’ Tanpa berpikir panjang, semua pertanyaan yang timbul dari hasil berpikir Sinta itu langsung ia tanyakan kepada orang yang bersangkutan. Ponsel ia raih dan jari-jemarinya memainkan keypad dengan cepat. Sinta sangat penasaran dengan jawaban dari Mas Lukman. Apa yang sebenarnya Mas Lukman cari dari Sinta? Beribu tanda tanya bermunculan dalam benak Sinta. ‘ Sampean memenuhi syarat yang kucari. Sampean baik hartanè, cantiknya, keturunanè, & taat agamanè, type cwok setia&baik ga mungkin kan ke lain hati (Kamu memenuhi syarat yang kucari. Kamu baik hartanya, cantiknya, keturunannya, &taat agamanya, tipe cowok setia&baik gak mungkin kan ke lain hati).’ Jawaban SMS dari Mas Lukman atas pertanyaan dari Sinta cukup membuat Sinta tercengang. Sinta tak habis pikir, bagaimana Mas Lukman bisa menilai dirinya seperti itu. Mas Lukman menemukan sosok gadis impiannya dalam diri Sinta. Perasaan Sinta menjadi semakin amburadul. Namun, jauh dari lubuk hatinya terdalam, Sinta ingin Mas Lukman menunggu dirinya sampai ia meraih semua impiannya. ♥♥♥ Terlihat tubuh mungil menggeliat di atas kasur berukuran 3x1 meter. Matanya pelan-pelan terbuka. Tangannya ia rentangkan ke samping sambil sesekali terdengar suara menguap. “ Sin, telepon siapa kamu pagi-pagi? “ Agak terkejut melihat sahabatnya bangun, Sinta mengatupkan tangannya ke ujung speaker ponsel dan setengah berbisik ia berkata, “ Ssst…. Ini telepon dari Mas Lukman.” Mendengar nama Lukman, Dian langsung memasang tampang cemberut dan kesal. Dian melipat selimut dan segera beranjak dari tempat tidur. Ia berdiri dan memencet tombol lampu yang melekat di dinding kamar. Cahaya lampu kamar kost menerangi seisi kamar. Wajah para penghuni kamar kost itu kini terlihat jelas. “ Mas, teleponè sampun riyin, nggih? Kula mau siap-siap salat Subuh (Mas, teleponnya sudah dulu ya? Aku mau siap-siap salat Subuh) .” “ Nggih, Dik sayang…. Kula seneng banget kalih sampaean (Iya, Dik sayang…. Aku sangat suka kamu) .” “ Oh-eh, iya. Assalamu’alaikum, Mas.” “ Wa’alaikumsalam.” Tut! Keduanya menutup ponsel masing-masing. Sinta terdiam sejenak setelah usai mengakhiri pembicaraan dengan Mas Lukman. Sementara itu, sahabatnya, Dian, sibuk menata kamar yang berantakan seperti kapal pecah. Namun, kesibukkan Dian itu terhenti tiba-tiba.“ Yan, bagaimana bisa laki-laki seperti Mas Lukman mencintai aku? ,” tanya Sinta dengan ekspresi wajah datar dan tatapan mata menerawang jauh entah kemana. Dian menghentikan aktivitas merapikan kamar, kemudian duduk bersila tepat di depan Sinta. “ Sin, kamu itu cerdas, cantik, baik lagi. Cowok mana pun pasti ingin mendapatkan cewek seperti kamu. Apalagi bujang lapuk kayak Mas Lukman itu. Jelas aja dia ngejar-ngejar kamu. Cuma dia itu gak tahu diri. Gak ngaca! Dia itu pantesnya jadi Om kamu. Lagian kenapa sih dia gak cari cewek di sekitar ponpesnya? Kan banyak santri cewek yang cantik, yang santun, dan mungkin lebih baik dari kamu. Huh! Dasar perjaka tong-tong! Sin, aku sebagai sahabat kamu bener-bener gak terima kalau kamu sampai jatuh di tangan Mas Lukman. Bisa-bisa lulus kuliah kamu langsung jadi Bu Nyai.” Sinta menghayati kata-kata dari sahabatnya itu. Ia merasa ada benarnya juga dengan apa yang telah Dian katakan. Akan tetapi, semua itu kembali lagi pada diri Sinta. Sinta sepertinya tidak ingin selalu dinasihati oleh rekan-rekannya, khususnya Dian. Ia ingin dipandang menjadi seorang gadis yang memiliki kriteria tinggi dalam memilih laki-laki sebagai kekasihnya. Gengsi dalam dirinya selalu muncul setiap ia ingat dengan semua predikat yang melekat pada sosok Sinta. Cerdas, cantik, supel, baik, dan idealis.“ HA! Bu Nyai? Ogah lah yaw…. Sorry ya, aku bukan tipe cewek yang langsung mau nikah setelah lulus kuliah nanti. Aku kan calon wanita karir. Masalah nikah belum pernah nempel di otakku. Apalagi nikah sama Mas Lukman. Iiihhh…. Emang di dunia ini gak ada cowok lain? Seleraku gak kayak gitu kaleee.” “ Udah deh, Sin. Kamu cuekin aja tuh si bujang lapuk. Kalau perlu kamu ganti nomor aja biar dia gak ganggu kamu melulu. Aku juga jengkel setiap dia gangguin kamu terus. Kayak dia itu sok masih muda aja,” ujar Dian dengan penuh kekesalan. Perbincangan mereka berdua terhenti setelah bunyi adzan Subuh samar-samar terdengar dari balik kamar kost. Dian beranjak dari duduk dan segera menuju kamar mandi. “ Kamu atau aku dulu yang salat?” “ Kamu dulu aja deh, Yan. Aku mau beresin kasur dulu.” Sementara Dian berwudlu, Sinta masih duduk di atas kasur dan tanpa sepengetahuan Dian, ia membuka ponsel dan membaca kembali SMS dari Mas Lukman. Sinta mencermati setiap kata yang dikirim oleh Mas Lukman. Tiba-tiba di telinga Sinta terngiang suara Mas Lukman ketika telepon tadi. Hatinya berdebar-debar. Apakah aku jatuh cinta dengan Mas Lukman?. Beberapa saat kemudian, Dian masuk ke dalam kamar. Ia menggelar sajadah dan memakai mukena untuk bergegas melaksanakan salat Subuh. Tubuh Dian berdiri tepat di depan Sinta. Sinta memandangi Dian yang sedang khusyuk menghadap Sang Pencipta dan di dalam hati ia seolah mencurahkan isi hatinya kepada Dian. Dian, aku mengerti menapa kamu dan teman-teman tidak rela jika aku menjalin hubungan dengan Mas Lukman. Aku mengerti akan kekhawatiran kalian jika aku menjadi kekasih Mas Lukman. Aku bisa memahami jika kalian tidak menginginkan aku bersama Mas Lukman. Usia Mas Lukman sudah menginjak 35 tahun dan ia juga ingin segera menikah. Tapi, apa salah jika aku mencintai laki-laki yang seharusnya lebih pantas menjadi Omku? Apa mencintai seseorang itu ditentukan oleh usia? Lantas, apa salah jika aku menjadi seorang Bu Nyai, istri dari pemilik pondok pesantren salaf? Dian, jujur dari lubuk hatiku terdalam, aku sebenarnya mencintai Mas Lukman. Aku tidak bisa membohongi nurani kecilku. Aku tidak bisa menghindar dari perasaan itu. Semakin aku menjauhi rasa cintaku kepada Mas Lukman, semakin rasa cinta itu menggema dalam setiap dinding hatiku. Selama ini aku berbohong kepadamu dan juga kepada teman-teman. Aku melakukan semua itu demi menjaga citraku sebagai gadis cerdas dan berpendirian teguh. Aku tidak ingin membuat kalian semua kecewa. Akan tetapi, aku juga tidak ingin membohongi perasaanku sendiri. Maafkan aku, Dian. Maafkan aku, teman-teman. Maaf jika aku tak bisa seperti yang kalian harapkan. Aku hanya gadis biasa. Aku tidak bisa mengelak dari kenyataan jika memang rasa cintaku tertambat pada Mas Lukman. Curahan hati Sinta itu seketika berhenti saat Dian selesai melaksanakan salat. Kini, giliran Sinta untuk menghadap Illahi Rabbi. Sinta berdiri dari duduknya dan keluar menuju kamar mandi untuk berwudlu. Setelah berwudlu, Sinta masuk kembali ke dalam kamar kost dan mengenakan mukena bersiap untuk bersujud kepadaNya. Setiap gerakan salat ia lakukan dengan pelan penuh makna. Setiap ucapan salat ia lafadzkan dengan penuh perasaan hingga merasuk ke dalam qalbu. Napasnya terdengar lirih kala takbir terucap dari bibirnya. Nadinya bergetar kala asmaNya melintas dalam benak dan nuraninya. Tak terasa, tetesan air mata jatuh di atas sajadah mengiringi sujud Sinta yang begitu khusyuk. Usai salat, tak lupa Sinta mengucap doa kepada Tuhan dan di sela-sela doanya mengalir sebuah harapan yang ia tujukan kepada Tuhan. Tuhan, jika memang Mas Lukman jodohku, dekatkanlah aku dengan dia. Namun, jika Mas Lukman bukan jodohku, berikan aku yang terbaik. Tuhan, aku memang mencintai Mas Lukman. Kutitipkan salam cintaku untuknya. Amin.
http://cerpen.net/cerpen-cinta/tuhan-kutitipkan-salam-cinta-untuknyaa%2580%25a6.html
http://cerpen.net/cerpen-cinta/tuhan-kutitipkan-salam-cinta-untuknyaa%2580%25a6.html
Langganan:
Postingan (Atom)