Kelam malam telah menuntunku ke alam mimpi yang terasa semakin jauh meninggalkan sadar. Semakin lama, semakin dalam ku arungi lautan bawah sadar itu dan semakin aku mencari-cari sesuatu. Mulai kurasakan apa yang tiap malam ku bayangkan, tiap hari ku inginkan dan tiap saat tak pernah bisa berpaling dari benakku.
Tiba-tiba terasa kembali, sentuhan yang sudah hampir sepuluh tahun menghilang. Sentuhan lembut meskipun dari tangannya yang kasar, yang terasa indah kala membelai mesra rambutku. Terdengar sayup-sayup merdu dari bibirnya, mendendangkan sebuah lagu. Lagu yang baru ku ketahui enam tahun yang lalu, ketika aku menginjak usia remaja adalah lagu tema dari film Titanic, ‘My Heart Will Go On’. Lagu kesukaannya.
Semakin lama, suara itu semakin mengecil, bergeming dan aku tak bisa mendengarnya lagi. Perlahan mataku basah. Aku terjaga, dan aku harus menelan getir kekecewaan karena menyadari bahwa itu hanyalah mimpi belaka.
Setelah benar-benar sadar aku merenungi sosok indah yang hadir dimimpiku itu. Sosok yang sekian lama jauh meninggalkanku dalam sudut galau tanpa harapan. sosok yang aku ingin sekali merengkuhnya, bergelayut manja dalam pelukannya, dan mencium keningnya ketika malam menyambut.
Sosok yang berdiri antara ada dan tiada…
***
suara adzan shubuh sudah berkumandang mengagungkan nama sang pencipta. Ku ambil air wudhu. Rasa dingin segera menjalar di tubuhku, namun hanya sesaat. Hangat kembali kurasakan ketika ku tunaikan ibadahku. Serasa aku berada dalam rengkuhan tuhan.
Selalu kupanjatkan doa untuk ibuku. Doaku, dzikirku, dan air mataku hanya untuk ibu…
Sungguh, tenggorokanku terasa kelu. Dadaku begitu sakit menerima pahitnya kenyataan hidup ini. Tak ada orang yang menyangka bahwa aku sesedih dan sesakit ini. Karena aku selalu mencari kebahagiaan diluar rumah dengan sifatku yang periang. Sesuatu yang tak pernah ku peroleh didalam rumah.
Matahari telah menampakkan keanggunannya di kaki langit. Sinar keibuannya yang tak mengharapkan balasan siap menerangi sang buana, dan menghangatkan anak cucu adam. bersama dengan segarnya embun pagi, ku langkahkan kakiku menuju ruang makan. Disana ayahku sudah siap menungguku untuk menikmati sarapan bersama. Aku duduk terdiam memandangi ayahku sedang menikmati butiran-butiran nasi dengan sepotong ayam goreng di atas piring putih itu.
“Kok nggak dimakan? Nanti kamu terlambat sekolahnya.” Kata ayahku sambil terus mendorong nasi itu ke mulutnya tanpa memandang ke arahku.
“Ini hari minggu , Yah…” jawabku dengan penuh rasa kecewa.
‘Ya tuhan, bahkan ayahku sendiri tak pernah memperhatikan aku. Selalu saja sibuk dengan pekerjaannya sebagai pemborong bangunan yang tak mengenal tanggal merah, minggu sekalipun.’ Aku membatin.
Kebisuan kembali terjadi. Yang terdengar hanya suara benturan antara sendok dan piring yang ditimbulkan oleh ayahku.
“Yah…” panggilku, memecah kebisuan.
“Hmm?” ayah menatap kearahku.
Aku menunduk. Kebingungan menyerang. Lidahku terasa kaku untuk berkata. Sungguh sangat sulit tuk di gerakkan. Mataku berkaca-kaca. Aku tak mau menangis di depan ayah. Ku gigit bibirku guna menahan air mata yang hampir saja menetes. Terlalu lama aku diam, ayahku kembali mengabaikanku.
“Yah, Nessa… Nessa kangen sama ibu. Mana janji ayah buat mempertemukan Nessa sama ibu? Ini udah tahun ke sepuluh Nessa hilang komunikasi sama ibu.” Akhirnya aku berani mengungkapkan isi hatiku yang terdalam. Rasanya bagaikan membuang kerikil cadas yang sekian lama menempel di kelopak mataku.
Ayahku diam.
“Yah… apa ayah tega membiarkan Nessa seperti ini? Nessa butuh ibu yah, Nessa kangen sama ibu…” air mataku tak bisa terbendung lagi. Semakin deras menganak sungai di pipiku.
Ayahku masih saja bertahan dalam diamnya.
“Yah!!!” kesabaranku seolah sudah ku buang begitu saja. aku bagaikan kilat yang siap menyalakan petir.
“Ayah mau berangkat kerja dulu. Jaga diri di rumah, jangan lupa cuci piring dan bersih-bersih. Mungkin ayah baru pulang besok. Kerjaan numpuk.” Kata ayah sambil mengelus kepalaku dan berlalu meninggalkan rumah.
Jawaban ayahku bagaikan bongkahan besi yang menhujam hatuku. Aku menangis di sela kesunyian. Ingin sekali rasanya menangis di pelukan ibu, berada dalam dekapan hangatnya. Ah… selalu saja teringat pada kenangan singkat saat bersamanya. Mungkinkah harapan itu tak kan kembali terjadi? Akankah sampai mati nanti rinduku padanya tak kan terobati?
Dalam diam aku memutar kembali ingatan indahku sepuluh tahun yang lalu, saat aku berusia enam tahun…
“Nessa, kalau Nessa udah besar maunya jadi apa?” Tanya ibuku dengan lembut.
“Nessa maujadi orang kaya, biar punya rumah yang besaaaarrrr…” jawabku polos.
Ibuku tersenyum simpul. “Sayang, kalau mau jadi orang kaya itu harus bekerja. Nah, Nessa maunya jadi apa?”
“Hmmm, Nessa mau jadi bintang film aja deh bu, biar bisa masuk TV, terus ketemu sama Joshua…” jawabku polos.
“iya sayang, ibu akan selalu doakan Nessa. Apapun cita-cita Nessa, ibu berharap mimpi Nessa akan terwujud. Dan, ibu akan selalu ada buat Nessa.”
“janji ya ibu akan selalu ada buat Nessa? Ibu nggak akan pernah ninggalin Nessa?”
“iya sayang, ibu janji…” ibuku tersenyum. Senyuman terindah yang pernah ku lihat dan terekam dalam memori otakku.
“mana jari kelingking ibu?” kataku sambil mengulurkan jari kelingkingku.
Ibu mengulurkan jari kelingkingnya dengan rasa penasaran yang tersirat di wajahnya. Ku kaitkan kelingking ibu dengan kelingkingku.
…
Dadaku semakin sesak rasanya. Masihkah ibu mengingat janjinya kala itu? Pikirku sambil terus memandangi nasi yang ada di depanku. Apakah disana ia sudah makan? Pikiranku semakin tak karuan. Apakah aku harus selamanya begini? Lantas apa yang bisa kulakukan? Sementara keberadaan ibu pun aku tak tahu.
Waktu melangkah, menapaki detik demi detik, dan aku masih terpaku pada kebimbanganku bersama sepi yang mencekam dalam kegalauan hatiku. Seandainya aku tahu dimana ibuku sekarang, atau paling tidak ada nomor telepon yang bisa dihubungi, mungkin aku tak akan segusar ini.
Aku benar-benar merasa sendirian di dunia ini. Ibu pergi entah kemana. Bahkan aku tak tahu, masihkah dia hidup, ataukah… raganya sudah tak bernyawa lagi. Sementara aku juga tak kuasa menahan kesedihan atas perlakuan Ayah yang hanya memikirkan pekerjannya. Sungguh aku merasa tiada hati yang peduli lagi. Aku hanya bisa mengasihani diriku sendiri dengan linangan air mata yang mungkin akan semakin memperburuk keadaanku.
Tiba-tiba rintikan hujan turun. Ia seolah datang untuk mengasihaniku. Hanya ada gemericik air mata langit yang dikirim tuhan untuk menemaniku. Air yang perlahan semakin menggenangi bumi. Dan aku tetap terdiam dalam gundahku, membiarkan setitik angan itu menemukan kebahagiaan dan membiarkan harapan itu melayang bersama ketidakpastian…
SELESAI
http://cerpen.net/cerpen-remaja/setitik-angan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar