Hari masih lumayan pagi saat aku memasuki kelasku. Karena itu, sekolah masih lenggang. Sambil terus memperhatikan siswa-siswi yang berlalu lalang di dekatku, aku berjalan ke kelasku. Sepertinya kelas masih sepi. Ternyata aku salah, kelas sudah sangat ramai. Bahkan perkiraanku, semua sudah datang. Aku duduk di kursiku sendiri dan melihat teman sebangkuku belum datang. Tumben-tumbenan Karin belum datang, biasanya dia lebih cepat datangnya dari aku. “Clara!” seseorang memanggilku. Ternyata Gilang.“Ya?” tanyaku.“Kamu tahu berita terbaru disini?” Gilang duduk di kursinya Karin.“Nggak. Emang ada apa?”“Yudi meninggal,” kata Gilang lirih.Aku sangat terkejut. Yudi meninggal? Yudi pacarnya Karin? Kini aku tahu kenapa Karin belum datang. Sepertinya Karin masih syok atas meninggalnya Yudi.Masih dengan kekagetan yang tersisa. Aku bertanya.“Kamu tahu kenapadia meninggal?”“Katanya sih kecelakaan.”Aku kembali terkejut. Aku harus cepat-cepat menjenguk Karin, takut dia kenapa-kenapa.Lima menit lagi bel berbunyi, tapi Karin belum juga datang. Aku mulai cemas, apakah ia tidak masuk sekolah? Sedang apa dia sekarang? Pertanyaan yang tidak terjawab berkecamuk di hatiku yang mencemaskan kondisi Karin. Karin itu teman sepermainanku saat SMP sampai saat SMA ini. Lima tahun aku bersamanya. Beberapa kali aku mencoba menelpon handphone-nya. tapi tak ada jawaban. Tidak di angkat.Selama di sekolah aku sangat gelisah. Sampai-sampai pelajaran apapun tidak masuk ke otakku. Bahkan, beberapa kali aku kena teguran oleh beberapa guru karena tidak mencatat.Sampai ketika waktu bel tanda pulangan berbunyi lima belas menit lagi. Aku sudah siap-siap, membersihkan semua peralatan belajarku ke dalam tas. Tapi gerakanku itu ternyata diketahui oleh Bu Dewi, guru sejarah.“Mau kemana kau, Clara Finansi?” tanya Bu Dewi dengan nada tajam.“Mau ke rumah temen, Bu,” jawabku jujur. Percuma berbohong, malah tambah rumit nanti.“Rumah siapa?”“Karin Rytna, Bu.”“Waktu pulangan masih beberapa menit lagi, Clara,” kata Bu Dewi sambil melihat jam.Aku hanya diam, diam yang menyimpan sedikit rasa kelegaan. Karena percakapan tadi kira-kira berkisar sepuluh menit. Dan baru saja Bu Dewi kemballi melanjutkan pelajaran, bel tanda pulangan sudah berbunyi. Otomatis Bu Dewi langsung menyalahkanku.“Gara-gara kamu. Waktu pelajaran saya terpotong sepuluh menit,” semprot Bu Dewi saat aku mendekatinya.“Maafkan saya, Bu. Tapi saya punya urusan yang sangat penting.” Aku menyalami tangannya.“Lain kali jangan ulangi lagi.”“Sip, Bu,” kataku sambil mengancungkan satu jempol. *** Dalam perjalanan ke rumah Karin, aku bersama Andika, pacarku, sangat mencemaskan keadaan Karin. Perasaanku sangat tidak enak.Sampainya di rumah Karin, aku disambut oleh Mama-nya Karin, yang sudah kukenal dengan baik, dengan sangat ramah.“Cari Karin ya?” tanya Mama Karin sambil tersenyum.“Iya, Tante. Karin ada?” kataku.“lagi di kamar. Tuh anak nggak mau keluar. Tolong ya bujuk dia supaya mau makan,” pinta Mama Karin.“Sip, Tante.”Kamar Karin ada di lantai dua. Andika mengikutiku dalam diam. Tiba di kamar Karin, aku tidak langsung masuk seperti biasanya. Aku menoleh ke Andika, meminta dukungan moral agar dapat menerima apapun kondisi yang dialami oleh Karin.Andika mengangguk dan memegang tanganku dengan erat. Aku tersenyum pahit. Aku mengetuk pintu kamar Karin, tidak ada sahutan. Ku tempelkan telingaku pada daun pintu. Nyaris tidak ada suara. Samar-samar aku mendengar tangis tertahan dari dalam. Aku yakin tangis itu milik Karin. Ku buka pintu lebar. Ku edarkan seluruh pandangan ke kamar Karin. Kudapati Karin duduk di lantai sambil bersandar di kasurnya sendiri. Pelan tapi pasti, aku mengangkat tubuh Karin ke kasurnya, dibantu Andika.Ku raih tisu basah yang ada di sebelah kasur Karin. Pelan-pelan aku membersihkan wajah Karin. Karin memperhatikan wajahku, tatapannya kosong. Tiba-tiba ia menghambur ke pelukanku, menangis di sana. Sejenak aku dan Andika tertegun. Dan aku baru sadar setelah bajuku basah oleh air mata Karin yang melebihi batas normal orang menangis.“Mau cerita?” tanyaku.Tak ada jawaban, Karin terus saja menangis. Ingin aku mendesaknya, tapi tangan Andika yangmemegang bahuku.“Jangan dipaksa, biarkan dia bercerita sendiri,”Ketika Andika menyelesaikan kalimatnya, saat itu juga Karin mulai bercerita. *** Karin berjalan pelan, dengan hati yang berbunga-bunga dan senyum manis yang tercetak di bibir pinknya, berjalan ke arah restaurant di pinggir jalan. Restaurant Jepang itu terlihat sepi. Sampai disana Karin mengedarkan pandangannya. Orang yang di tunggunya ternyata ada di meja nomor dua puluh lima, meja yang berada di pojokkan restaurant itu. Senyum Karin bertambah lebar saat Yudi melambaikan tangannya, menyuruhnya duduk di sebelahnya.“Udah nunggu lama ya?” tanya Karin.“Nggak kok, aku baru aja datang,” jawab Yudi.“Udah pesan?”Sebagai jawaban Yudi menggeleng pelan. “Kamu mau pesan apa?”“Apa saja. Tapi jangan yang berat. Aku tadi sudah makan.”“Okelah.”Selagi Yudi memesan pada seorang pelayan, Karin memperhatikan cowok yang ada di hadapannya ini. Yudi adalah pacar Karin yang sudah hampir enam bulan pacaran dengannya. Yudi termasuk cowok yang diidam-idamkan para cewek, cowok yang membuat para cewek tidak bisa tidur karena terbayang wajahnya yang cakep, berdagu tegas. Karin merasa sangat beruntung karena mendapatkan Yudi. “Rin? Karin?” tangan Yudi melambai-lambai di depan wajah Karin, membuat Karin tersadar dari lamunannya.“Hah? Apa? Udah pesan?” Karin tergagap.“Kamu ini. Ngelamun ya? Hayo ngelamunin siapa? Mulai main dibelakang ya kamu?” goda Yudi.“Ih, apaan sih. Siapa juga yang ngelamun?” elak Karin.“Kamu.”“Nggak kok. Siapa yang bilang aku melamun?”“Abisnya kamu... tadi kupanggilin nggak dijawab. Ditanya malah nggak nyambung jawabannya.”“Emang kamu nanya apa?”“Tuh kan. Tadi aku nanya, hari ini kita mau ngapain? Aku punya waktu lima jam nih.”“Hah? Kemana ya? Emang kamu mau kemana sih?”Wajah Yudi berubah pucat pasi. “Aku nggak mau kemana-mana.”“Wajahmu pucat. Kamu kenapa sih?” tanya Karin menyelidik.Pertanyaan yang tidak terjawab, karena pesanan sudah datang. Mereka makan dalam diam. Selesai makan, mereka memutuskan akan ke bukit bintang. Yudi mewanti-wanti waktu yang dimilikinya hanya sekitar empat jam. Karin tidak lagi bertanya, karena ia tahu pertanyaan itu tidak akan dijawab oleh Yudi.Sampainya di bukit bintang. Karin dan Yudi tetap berada di mobil. “Karin?” panggil Yudi.“Ya?” Karin menoleh.“Jaga diri baik-baik ya.”“Loh?”“Aku nggak bisa jagain kamu terus-menerus. Waktuku hampir habis,” kata Yudi sambil menghela napas dengan berat.“Waktumu hampir habis? Kamu emang mau kemana sih?” tanya Karin heran. Tapi berikutnya ia sadar. pertanyaan yang tidak akan mendapatkan jawaban.“Sudah kubilang. Aku tidak kemana-mana, sayang.”“Bohong! Kamu pasti mau pergi. Nggak mungkin kamu ngomong kayak gini kalau nggak mau kemana-mana. Pasti ada apa-apa.” Karin bersikeras.“Sayang, aku nggak kemana-mana. Percaya deh. Aku pernah bohong kah sama kamu selama ini?” Yudi mengelus puncak kepala Karin.Karin hanya diam. Diam yang menyimpan kekesalan, kekecewaan.“Kita mau kemana lagi?” tanya Yudi.“Keliling Jakarta aja deh,” kata Karin.Yudi tersenyum kecil dan menjalankan mobilnya menjauhi bukit bintang.Hari itu, Yudi membuat Karin tertawa terus-menerus tanpa henti. Keliling Jakarta dilakukan Yudi dan Karin dalam waktu tiga setengah jam. Walaupun belum puas, akhirnya Karin mengalah. Karena waktu yang dimiliki oleh Yudi hampir habis.Karin pun setuju di antar pulang. Selama perjalanan, Karin mulai tertawa-tawa lagi mendengar celetuk-celetukkan dari Yudi yang menggelitik perut. Tak terasa mereka sampai di rumah Karin.“Makasih ya,” kata Karin sebelum keluar dari mobil.“Rin.” Yudi mencekal satu tangan Karin. Dengan gerakan cepat, Yudi menempelkan bibirnya di pipi Karin. Lalu membisikkan satu kalimat. “Aku sayang kamu.”Wajah Karin merona merah, ia keluar mobil dengan bahasa tubuh yang menandakan bahwa ia malu. Setelah mobil Yudi berjalan pelan manjauhi rumah Karin. Karin masuk ke rumah dengan wajah merona dan hati yang berbunga-bunga. Baru saja Karin menginjakkan kakinya di teras rumah, terdengar dengan jelas orang berlari sambil berteriak. “WOI! ADA TABRAKAN!”Secepat kilat Karin berlari menuju tempat kecelakaan, disusul oleh Mama dan Papa-nya. Perasaannya tidak enak. Sekitar sepuluh meter dari tempat kecelakaan, tiba-tiba Karin berhenti. Terpaku di tempatnya berdiri. Kaki, tangan, otak, dan hatinya sepertinya tidak berfungsi.Ia tidak mempercayai apa yang ada didepannya. Mobil itu rusak parah. Mobil itu manabrak pick-up dari arah berseberangan. Mobil itu akan mengubah hidupnya. Mobil itu adalah mobilnya... Yudi.Karin langsung terjatuh dan berjongkok. Airmatanya jatuh dengan deras. Tubuhnya yang terduduk langsung di tangkap oleh Papa-nya. *** Aku mengigit bibirku. Tak percaya dengan apa yang diceritakan oleh Karin. Andika pun sama sepertiku. Aku melihat dengan jelas. Karin sangat terpukul, ia mencoba menahan kesedihan yang melingkupi dirinya.Antara percaya dan tidak percaya. Ternyata Karin dapat menceritakan saat-saat terakhir ketika ia masih bersama Yudi. Saat-saat terakhir yang mengubah hidupnya. Tak tega aku melihat Karin yang begitu kehilangan. Air mataku pun jatuh tanpa bisa ditahan.Kupeluk Karin yang menangis, sedangkan Andika hanya bisa mengelus punggung Karin sambil mengumamkan. “Sabar, Rin.”Dalam hati aku membenarkan ucapan Andika. Sabar, Rin...
by: firadestiny
Cerpen.Net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar