Cari Blog Ini

Senin, 06 Desember 2010

Rasa Ini Takkan Pernah Mati

November 30, 2008 by wi2n.sgirl  
Filed under Kehilangan, Patah Hati
Hati yang pernah singgah
Rasa cinta yang dulu pernah ada
Mungkin takkan bisa hilang
Hingga terkubur jauh direlung jiwa
Rasa sakit inipun takkan pernah mati
Karna kalian tega mengkhianati
Kasih yang slama ini aku beri
Bahkan oleh kakakku sendiri
Mulai kini putus sudah ikatan kita
Takkan lagi ada rangkaian cerita
Terbersik diri ini ’tuk melihat wajahmu kini tak pernah ada
Karna kalian tlah tega
Menusukku dari belakang hingga tembus tepat didada
Tuhan! Semoga apa yang kurasa mereka juga merasakannya
Lebih dari sakit yang kurasa
Karena mereka tega menyakiti hatiku seperti ini
Luka yang mereka ukir
Tlah menggores luka dihidupku slama ini
21 May 2008
Email wi2n.sgirl@gmail.com
Mobile 085731270635

Ratapan dalam Duka

February 10, 2009 by Achmad  
Filed under Cinta 2 Insan, Patah Hati
Tak akan lagi aku sanggup
Mengepak saya mengitari bumi
Menyibak kabut di pagi
Sungguh aku tak akan sanggup
Walau hanya memandang dunia
Sebab badan ini
Menanggung sakit tiada bertabib
Menanggung lara tiada pelipur
Dirangka sayapku yang patah
Melawan badai tadi siang
Sebab badan ini
Menanggung sakit tiada bertabib
Menanggung lara tiada pelipur
Dihati yang tersayat oleh rasa
Melawan benci diruang cinta
Sebab badan ini
Menanggung sakit tiada bertabib
Menanggung lara tiada pelipur
Dijantung yang tertusuk duri
Hingga aku tiada tersadar lagi
Bahwa aku telah mati
By: Achmad
Kupersembahkan puisi ini kepada Dia yang mengajarai aku tentang cinta
Yang mengajari akau tentang kebencian
Yang mengajariku tentang arti hidup

Teriakan Hati

disaat terpikir tenteng dia
yang entah ada di mana
terkadang hati teriak dengan kehampaannya
mencari dan menunggu hati cintanya
ku menangis tanpa air mata
ku teriak tanpa suara
hanya merasakan sakitnya hati
begitu tersiksa menunggu yang di nanti
begitu berat melepaskan rasa ini
yang sudah merasuk dalam hati
mungkin bila aku nanti mati
sesalku akan abadi
akankah penantian ini berujung bahagia
ataukah hanya asa semata
tapi hatiku kan selalu tegar menghadapinya
walau akhirnya hanya membuat luka

Sabtu, 30 Oktober 2010

Satu Rasa Satu Cerita

“Ini dengan siapa ya. . .?”
“Oh iya maaf,
nama saya Ridwan, apa benar saya berbicara dengan Rina?”
“Iya saya sendiri, tapi maaf, Ridwan siapa yah?”
“Masa Lupa sih. . ., coba ingat-ingat lagi!”
“Hmm, Ridwan . . ., persaan ga punya temen namanya Ridwan,”
“Whualah, teganya kau pada diriku, sungguh dan sungguh terlalu”
“Ih. .  Ridwan si jarang mandi (Terkejut), gila wan, itu kamu?”
“semua temen perasaan kalo denger nama Ridwan, pasti jawabnya si jarang mandi, apa ga ada sebutan lain yang bagus dikit kek?”
“Apa lagi coba nama yg cocok selain itu?, Becanda wan, ini tuh bener ridwan?”
“ya iyalah”
“Ya ampun ridwan, ga nyangka loh itu kamu,  soalnya beda banget gaya ngomongnya sama yg dulu.”
“Dulu ya dulu, sekarang ya sekarang lah. . ., jaman juga bisa berubah rin, masa saya ga bisa berubah, Gimana nih kabarnya?”
“Alhamdulillah sehat, kalau kamu wan gimana?”
“Alhamdulillah sehat, ngomong2 kamu masih di bandung aja nih, terus pujaan hatimu gimana (tertawa kecil) , masih dipikirin aja nih sampe sekarang?”
“Masih tetep dibandung ko wan, ah jangan ungkit perasaan itu lagi wan ah.”
            Tawa, rindu, kesal, sedih, dan perasaan yang campur aduk di keluarkan oleh Rina yang menerima telepon dari sahabat kecilnya yaitu Ridwan, hampir satu jam mereka mengobrol via telepon, karna kedua sahabat itu yang sudah cukup lama tidak bertemu, sekitar 5 tahun tak berjumpa, mereka saling menceritakan pengalaman2 pribadinya, dan itu sangat banyak jadi tidak bisa di ceritakan hanya dengan satu jam.
“Heh rin, Kita ketemuan yuk, kangen nih pingin nyubit kamu, becanda rin, ada cerita nih yang mesti di ceritain dan wajib di dengerin.”
“Halah, mana bisa wan, kejauhan, masa saya harus ke jakarta. . .?”
“ga usah kaleee, saya lagi di bandung ko, lagi liburan sama kakak.”
“ah yang bener ( sangat – sangat terkejut ), asik donk, traktir jajan yah kalo gitu, dah lama juga ga di jajanin nih sama kamu.”
“iya iya tenang aja, kalau gitu mau dimana ketemuanya rin?”
“ah terserah kamu aj kalau itu, tapi jangan besok ya, besok kan ada jam kuliah, jadi hari minggu aja, soalnya lagi kosong.”
“Ya ya aku ngerti, gimana kalau . . .  di rumah mu aja, boleh ya, soalnya banyak banget pemandangan2 yg indah disana, sekalian juga refresh otak ku yang lelah ini”
“Hhaaa ( Terkejut ), a . . . ”
“Kenapa (Memotong pembicaraan rina), ayam, anjing,asin,asem, kenapa?”
“iih, asik lah, tapi ga bisa di teraktir donk, gantinya bawa oleh2 aja ya buat aku?”
“ia ia tenang aja, tapi boleh kan?”
“ya tentu donk”
“bagus, ya udah pamit aja dulu deh, kelamaan nih, ntar tagihan telepon jebol lagi,
Assalamuallaikum rin. . .”
“wa’allaikum sallam”
            Dengan rasa senang rina langsung bercerita kepada mamanya akan kehadiran sosok sahabat kecil ke rumahnya, ia akan mempersiapkan segalanya untuk menyambut kedatangan sang sahabat di hari minggu nanti. Tapi, setelah ridwan mengatakan “Pujaan Hati”, rina menjadi teringat lagi masa lalunya dan itu sungguh kenangan yang sulit untuk dilupakan. Tapi itu nanti saja di certikannya, sekarang rina bersiap untuk berangkat kuliah.
“mama aku pergi dulu ya, assalamuallaikum. . ”
“wa’allaikum sallam ( sahut mama )”
            Rina pergi menuju halte bus untuk berangkat kuliah, Rina memilih menggunakan angkutan umum seperti bis dan lain – lain karna bila Rina menggunakan Kendaraan pribadi, maka hari ini ia tidak akan puas menjalani hidupnya, Rina sangat rindu pada hari yang sedang di lewatinya, jadi ia ingin menghabiskan harinya penuh dengan kegiatan yang menyenangkan.
 Sebuah Bus datang mendekat menuju halte, Rina bersiap untuk naik, rina melihat seseorang, seorang lelaki yang tidak asing baginya.
“Siapa itu ya, perasaan pernah liat, tapi dimana ya . . .” ( Dalam Hati )
            Ternyata eh ternyata, dia adalah orang yang pernah di puja atau bahasa lainya cinta yang tak bisa tersampaikan. Namanya adalah Arman, kebetulan atau apalah, tapi Rina sama Arman tuh SD,SMP,SMA selalu satu sekolah terus, tapi selama itu juga Rina belum pernah satu kelas sama Arman.
            Arman pun melirikan matanya ke arah Rina, ternyata Arman pun menyadari keberadaan Rina, Menurut Rina, Arman tuh memliki perasaan yang sama dengan perasaan Rina dulu, sama – sama saling mengagumi, tapi kenapa sampai sekarang belum satupun yang berani berbicara tentang perasaannya, itu hanya mereka yang tahu.
“Nyapa, jangan. . . . nyapa. . . jangan” itu yang sedang dipikirkan oleh Rina
“Hey, ini Rina ya. . .” sungguh sapaan yang sangat sopan, sampai – sampai yang asalnya Rina tuh auranya panas, kena sapaan langsung dingin, aduh Rina rina.
“I. . . iia, kamu Arman bukan. . .?”
“Iya, wah udah beda yah sekarang mah, pangling uy.”
“hhhee ( tertawa kecil), kamu juga berubah ko, jadi tambah ganteng aja nih, uppss!”, keceplosan tuh si Rina.
“Upps kenapa Rin, Hhhaa ( tertawa kecil ).”
“Ga, kenapa – napa, ngomong2 mau kemana man?”
“mau kuliah, kalau kamu rin, mau kemana naik bus gini?”
“Sama, mau kuliah, emang Arman kuliahnya dimana?”
“ITB.”
“Haaaaah. .. .. ..,”Suara yang cukup  untuk membangunkan orang yang lagi tidur di dalam bis itu, sungguh dan sungguh terlalu kau rin
“walah, kenapa rin, ko kaget sampe segitunya, hhiihi.”
“satu kampus sama aq man, kobisa ya?” sambil garuk2 kepala yang sebenarnya ga gatal.
“Ko bisa ya. ., tapi ko aku belum pernah liat mu rin di kampus selama satu semester?”
“Iya ya, kalau aq ngambil jam kuliahnya malem man, kalo kamu ngambil jam apa?”
“jam pagi rin, tapi ko kamu hari ini pagi2 berangkatnya?”
“Cuma mau ngumpulin tugas doank man, jadi biar malem ga kuliah lagi.”
“Oh gitu ya, bagus donk kalo gitu. . “
“Bagus apanya man. .?”
“Ngga rin”
            Akhirnya mereka sampai di tempat kuliah, mereka jalan bersama menuju kantin, Arman mengajak Rina untuk menemaninya makan dikantin, kenapa Rina langsung aja menerima ajakan itu, makan geratis itu yang di utamain sama Rian.
            Setelah itu mereka berpisah dan kembali ke tujuan semulanya, yaitu kalau Rina harus mengumpulkan tugasnya dan kalau Arman harus menjalani kuliahnya, sungguh rina merasakan perasaan yang sangat menganehkan, “sebenarnya siapa sih yang suka?”itu yang sedang dipikirkan oleh Rina, tapi mengapa Rina menjadi terbawa arus nya Arman?, perasaan Rina yang memandang Arman sebagai pujaan hatinya tapi sekarang Rina dipandang Arman sebagai sahabat, Sungguh – sungguh aneh, tapi ini kesempatan buat Rina yang ingin mendekati Arman.
“Halo, wan jadi ga kerumahku nya?”
“Salam dulu kek. . , ga ada sopanya nih cewe!”
“Assalamuallaikum, ini dengan Ridwan, masa harus gituh, buru2 nih wan.”
“Buru2 kenapa neng, dikejar hansip, dikejar anjing, kebelet pipis, mules, kenapa?”
“Kepingin mandi, ah kau wan, serius nih lagi di ruang dosen.”
“Kalau lagi di ruang dosen, kenapa telefon saya?, ga ada kerjaan bener kau rin.”
“Iya juga sih, ah. ..  gausah dipikirin, ada yang nyambet di pikiranku untuk nelfon mu wan.”
“Kangen ya rin, aaaah, hhii.”
“Kepedean lu wan, gimana. . jadi ga kerumah ku, soalnya ada jadwal di hari itu.”
“Jadwal apa rin, jadwal main futsal, main golf, main kelereng, main layangan?”
“Ah tebak tebakan dah, kaya dukun aja, ada jadwal kuliah wan, tapi kalo ga dateng juga ga apa2.”
“bener nih ga ap2?, soalnya takut ngerepotin.”
“Ga ap2.”
“Ya udah jadi, tapi ga ngerepotin ga?”
“Ya engga lah buat sahabatku yang baik, masa dari 5 tahun Cuma ngorbanin satu hari ga bisa.”
“bagus deh kalo gitu.”
“Ada cerita bagus nih wan, aq mau cerita nih sama kamu.”
“cerita apaan rin?”
“Ada deh, ntar aja di rumah ku.”
“Ah kau rin, kebiasaan mu tuh bikin orang penasaran aja.”
“Udahan dulu telfonnya, assalamuallaikum wan.”
“wa’allaikumsalam rin.”.Padahal tuh si Rini lagi duduk di ruang dosen doank, tapi kok ngomong nya lagi buru2, dasar kau rin. Cuma untuk ngalihin rasa bosenya kali ya.
            Sungguh lelah sekali, Rina sangat merasa lelah dan itu entah kenapa lelah sekali, padahal kan Rina cuma ngumpulin tugas doank, bukan kuliah, tapi ko lelah banget.
            Rina berjalan menuju halte bis, sungguh suasana pulang Rina sangat kelam, ada persaan yang menganehkan yang dirasakan Rina. Rina duduk menunggu di kursi yang memanjang, hanya ada 3 oran yang sedang duduk disana, tak lama kemudian ada seseorang datang untuk duduk di kursi itu.
“Arman. . ,”
“Iya, namaku emang Arman, ko tahu ya, tau dari mana mba nama saya?, hhee.”
“Iih Arman. . . , ko udah pulang lagi?”
“Emang kenapa, ga suka ya aku disini?”
“ngga – ngga. ., aku cuma nanya doank ko man, ko gituh sih jawabnya?”
“Hahaha, becanda rin, ko gitu aja kaget, tadi dosennya ga ada, jadi pulang aja deh,
Kamu pulang juga rin?”
“Iyah man.” ‘Huah, untung becanda’ ( dalam hati )
“Ko bisa bareng lagi ya?, kalau kata orang tuh kalau suka ketemu terus katanya jodoh rin.”
“iih bisa aja man.” Hahaha, mukanya Rina merah banget, sungguh kata2 yang memojokan perasaan Rina
“Heheh, becanda rin, sendirian aja nih rin?”
“Iya, emang harus ada orang yang ada deket sama aq gituh?”
“Hhehe ( tertawa kecil ), bisa aja kau rin, gini nih maksudku, ga sama temen mu gituh pulangnya?”
“Emang biasanya sendiri, kalo sendiri tuh bawaanya enak aja, ga ada beban, terus kalau aq orang nya suka sendiri, tapi bukan ga bisa gaul, temenku banyak, tapi aq lebih suka menyendiri soalnya kalau menyendiri tuh bisa nenangin perasaan sama pikiran ku, itu sih menurutku, tapi gatau tuh kata orang.”
“Oh gitu ya, tapi kalo kelama laman sendiri terus ga bagus loh.”
“Ga bagus gimana man.”
“Eh bis nya dateng tuh, ayo naik.”
“Ah, jawab dulu kek, dasar bis ga tau diri, main nyelonong aja datangnya, ntar dulu kek.” Ngomong di dalam hati, coba kalo ngomong di depan Arman, gimana tuh kejadianya kalau gitu.”
            Bangku bus tinggal satu lagi yang kosong, Arman melirik Rina, melirik bukan menggoda atau apalah, tapi Arman menyuruh Rina untuk duduk di kursi itu, tapi ko baik banget Arman kepada Rina?, apakah ada apa2?, atau  emang dasarnya laki2 tuh ngalah sama perempuan?”
“Hehehe.”
“Ko aq yang duduk, bukanya kamu yang lebih deket tuh sama kursinya man?”
“Ngga aja, kasihan aja liat kamu yang keliatanya lagi cape.”
“Iiih, makasih deh kalo gitu mah.”” Ngomong jangan, ngomong jangan”, Rina tuh masih penasaran sama kata – kata Arman tadi
“Eh, lanjutin yang tadi man, emangnya kenapa kalo sendiri terus?” penasaran deh si Rina.
“Oh, yang tadi,  kalau kata orang sih bakal jauh sama jodoh rin, hehe.”
Ko Arman ngomongnya jadi gitu ya, apakah Arman punya rasa kepada Rina, atau Cuma becandaan nya Arman. Pipi Rina memerah, malu kali ya. ..
“Ah Arman becanda mulu.”
“Biarin ah, biar asyik aja nih bawaanya, abisnya kamu rin keliatnya cape banget, jadi sedikit – sedikit aku hibur deh, tapi gatau  garing gatau bagus ngehiburnya, heheh.”
”Alah Arman, ga segitunya juga kali ngehiburnya, itumah bikin deg – degan doank, ups!”
Kelepasan lagi tuh si Rina, dasar mulut ember.
“deg – degan Kenapa rin, hehe ( tertawa kecil ).”
Kayanya Arman tahu yang sedang dirasakan Rina, sungguh apakah yang akan terjadi nantinya.
“Ngga.”
            Laju mobil yang tenang, alunan lagu dari Utopia – Hujan, suasana yang mendung, diawalai dengan rintik – rintik hujan membasahi jendela kaca bus. Rina sangat menyukai suasana ini, melihat indahnya dunia di balik kaca, sungguh tenang nya. . .
“Ngga cape man berdiri terus?”
“Ngga ko, kalo liat kamu semua yang kurasakan ga akan pernah cape.”
            Tatapan tenang dari seorang Arman membuat Rina mengerti arti jalan cerita ini.
“Kiri. ..”
“Ko disini rin, mau kemana. . .?”
“Ga tau man.”
“Ko gituh sih jawabnya?”
“Becanda ko man, heheh, yuk ikut bareng aq.”
“Emang mau kemana rin?”
“Udah ikut dulu aja, ntar juga tau.”
            Sungguh, Rina melakukan itu karna Rina sudah tidak tahan lagi dengan ke bohongan ini, apakah Rina akan membuka semuanya?, Sungguh tindkan yang cukup berani rin. Arman bingung, genggaman Rina memegang erat – erat tangan Arman, seakan Arman merasakan apa yang di rasakan Rina, sungguh romantis nya rin. . . .. Matahari mulai menampakan senyumanya, Rina menghentikan langkahnya.
“Dimana ini rin?”
“Tempat yang sama seperti tempat yang ada di dalam hatiku man, aku jg ga tau tempat ini, hati ku yang membawa kesini.”
“Emang bisa rin hati ngasih tau tempat yang indah ini?”
“Itu hanya hatiku yang bisa menjawabnya.”
“Tapi kita disini mau ngapain rin?”
“Aku ingin ngomong sesuatu sama kamu man.”
            Arman mendekati Rina yang sedang duduk di rumput hijau, Arman melihat sepucuk bunga yang nan indahnya, Arman mengambilnya tanpa Rina ketahui.
“Sini man duduk.”
“Iya rin, emang mau ngomong apa? Kayanya penting.”
“Emang, ini penting banget buatku.”
“Emang penting ya?”
“Penting man.”
“Emang mau ngomong apa rin?”
            Arman menyembunyikan bunganya di belakang badannya.
“Gini man, dari dulu tuh perasaanku sungguh tak terbendung, liat sana pingin, liat sini ngarep, tapi hati ku tuh tetep teguh  sama satu pendirian dan pendirian itu tak akan ku ingkari, hanya karna hasrat ku untuk memilikinya, banyak sekali harapan yang ku inginkan ketika melihat semua, satu persatu harapan itu memaksaku untuk menggapainya, tapi aq tak bisa, hanya karna satu hal man, dan satu hal itu adalah harapan lamaku, harapan memilikimu.”Arman kaget, yang ada di pikiran Arman, ko berani banget ya Rina mengatakan semua ini, padahal Arman pun tak berani mengatakan semua ini.
“Bolehkah hatiku memiliki hatimu man?”
Menghirup napas dalam – dalam dan lalu menghembuskanya
“Gini rin.” Arman memegang tangan Rina yang dingin, entah karna apa tangan Rina menjadi dingin.
“Sebenarnya tuh hatiku sudah ada yang memiliki, benar, dulu tuh aku sempet suka sama kamu, tapi apa daya, aku tak berani mengatakanya, jadi ku pendam impianku, itu cukup lama, dan cukup untuk menjadi pujaan hati orang lain, dan ternyata aku menerima permintaan seorang wanita dan aku menerimanya. Sungguh, maafkan aku rin.”
            Tahu kah perasaan Rina sekarang?, Rina sungguh sakit perasaanya ketika mendengar semuanya, Rina merasa salah, mengapa tidak dari dulu ia katakan semuanya dan bukan hari ini dan di tempat ini Rina mengatakannya, tertusuk oleh kata – kata itu dan lalu ia menangis.
“Kok nangis rin, emang nya aku salah rin?”
“Ga.”
“Ko gitu jawabnya.”
“Emangnya harus gimana ngomonnya?”
“Ya tapi jangan marah gitu donk rin, aku kan jadi ngerasa salah.”
“Yang marah tuh aku, ko kamu jadi yang ngerasa salah.”
“sebenarnya aku tuh ngerasa salah banget sama kamu rin.”
“Terserah.”
“Ko gitu jawabnya sih rin, senyum donk, dunia itu pasti berputar rin, jadi kita harus terus maju kedepan walaupun beribu ribu rintangan menghadang kita.”
“Sok tau lu.”
“Ko jadi marah – marah cantik?”
“Kenapa lu sebut gw cantik, apa ga ada rasa setia sama sekali, konsisten donk jadi cowo.”
“Yah, bicaranya udah ga bener nih.”
“lo yang ga bener man, sakit banget hati ini, kau teganya padaku.”
“Ayo, terus ungkapin semua unek – unek mu yang ada di hati, keluarin aja semuanya rin ( tertawa kecil ) hehe.”
“Masih bisa ketawa lo, tega ya, tega banget sih lo, ga bisa ngerasain sakitnya hati seorang perempuan, perempuan tuh gampang banget sakit hatinya, hati permpuan tuh tipis banget, lu tusuk hati gw pake pedang, pake ranting pun hatiku sudah bisa merasakan sakitnya itu, apalagi pakai pedang, gimana rasanya, coba lo inget itu.”
“Ga akan aku ingat, buat apa coba di inget rin?”
“BULLSHIT, terserah kamu, kamu mau apa itu terserah kamu.”
            Rina berdiri dan ia berlari menjauhi Arman, tapi. . .
Genggaman tangan hangat menggenggam tangan Rina. Kedua tangan Rina di genggam oleh Arman.
“Hay Rina, aku Arman, boleh kenalan ga, nomor hape kamu berapa, terus rumah kamu dimana, boleh ga kapan – kapan aku kerumah kamu, boleh ya. .?,”
“Lepasin. . !”
“Senyum donk rin, aku pingin liat senyuman mu sekali saja, sebelum kita berpisah, maukah kau berikan itu pada ku?” Rina terdiam, Rina teringat mimpinya, mendapatkan Arman, tapi kini tidak bisa, Arman hanya meminta senyuman perpisahan.”
( Senyuman dari wajah Rina yang sangat cantik mensunyikan semua suasana yang ada di sekitarnya)
            Langit pun menjadi mendung, seakan langit merasakan kesedihan yang dirasakan Rina, sungguh sangat romantisnya. . .
“Aku mau ngomong satu hal rin, tapi kamu harus denger, Cuma satu hal doank, selanjutnya itu terserah kamu, apa kamu mau lari, mau pulang, mau nangis dan lainya terserah kamu, tapi denger dulu ya. .?”
“Iya.” Dengan isak – isak tangis yang ditahanya, ia mendengarkan semua kata yang di katakan Arman.
“Sebenarnya, dari pertama ku ngucapin semuanya, aku ngerasa salah banget.”
“Sal. .” Arman memotong jawaban Rina
“sssttt, diem dulu.”
“iya”
“Sebenarnya,aku sangat merasa bersalah banget sama kamu rin, dari awal aku coba bicara baik – baik, dan ternyata kamu percaya itu, dari awal . . . . sebenarnya. . “
“Ken. .” Arman memotong lagi.
“diem dulu cantik, sebenrnya aku tuh ngerasa salah, AKU NGERASA SALAH NOLAK KAMU UNTUK JADI PACARKU.”
            Rina kaget, Rina tidak percaya, tapi ada satu hal lagi yang mendukung semuanya.
“Nih buat kamu.” Setangkai bunga yang tadi, Arman menyimpannya di celana belakangnya, Sungguh romantisnya, Rina tidak percaya semuanya.
“Apa ini man?”
“Ini bunga rin, bunga yang sangat cantik secantik dirimu.”
“Ko kamu kasih ke aku.”
“Dari awal, aku Cuma becanda ko rin, sebenarnya aku tuh belum ada yang punya, aku Cuma becanda, tapi ko kamu percaya – percaya aja ya, hehe, sebenarnya aku juga sama, sama sepertimu, aku suka kamu, aku menyimpan semuanya di dalam hati hingga saat ini, tapi aku tak berani mengungkapkan semua perasaanku, tapi, apa boleh kata, kamu yang mengawalinya, aku merasa tidak enak, masa seorang cewe menembak seorang pria, ya jadi aku pindahkan laju jalan mu rin.”
Rina terdiam, apa yang akan Rina katakan.
“Maukah hatiku memiliki hatimu rin?, aku sangat mencintaimu, akan kulakukan apa saja agar kita bisa bersama, kan ku jaga semuanya sampai aku menutup mata, kan kujaga ikatan kita ini sampai mati, maukah, maukah kau jadi miliku, bersamaku, menemaniku dan semua yang kau inginkan menjadi milik kita bersama?”
“Rina, jawab donk?”
“Rina, ko diem sih?”
“Ko nangis sih, jawab dulu rin?”
            Pelukan erat, Rina memeluk erat Arman, Rina menangis, tangisan kebahagiaan, kebahagiaan yang baru ia dapat, Rina terus memeluk Arman, terus dan terus memeluk Arman. Hujan turun, tapi Rina tetap tidak melepaskan pelukanya kepada Arman, Arman membelai rambut halusnya seorang yang menjadi kekasihnya, sungguh, tak ada satu pun yang dapat menghentikan semua ini, hujan pun tak dapat menghentikanya, hembusan angin, dinginnya suasana ini, tapi tetap saja tak terlepaskan. Ciuman di kening Rina mengakhiri semuanya, Rina menatap Arman, dengan harapan – harapan baru yang akan ia gapai.
“Aku cinta kamu rin.”
“Aku juga man, aku sangat mencintaimu.”
“Hhehe.”
“Tapi, ntar ntar jangan becanda kaya gini lagi man.”
“ia ia aku janji cantik”
Sambung besok lagi ah, BERSAMBUNG YA.



by: Rasyid
cerpen.net

Pelangi Dalam Hatiku

 
Namaku Aurora yang artinya cahaya. Orang tuaku memberi nama Aurora padaku dengan harapan aku bisa menjadi lentera dalam hidup mereka yang sepi. Namun aku sendiri tak pernah bisa melihat secercah sinar pun dalam hidupku karena aku terlahir dengan kondisi buta. Mungkin tidak akan ada yang percaya ketika aku bilang aku sangat menyukai pelangi karena pada kenyataannya aku memang tidak dapat melihat pelangi itu melalui mataku. Tapi aku beruntung karena ada dia, Baruna sejak dulu dia selalu menjadi mataku saat pelangi itu muncul. Menggambarkan betapa indahnya lukisan Tuhan yang tiada duanya itu padaku. Berada di sampingku setiap kali pelangi itu muncul bersamaan dengan mentari yang muncul dari balik awan kelabu.
Hei...dengar itu, suara hujan yang dari tadi mengguyur bumi sudah mulai reda. Aku bisa merasakan lembutnya sinar matahari yang memancar dari balik awan kelabu dan berusaha keras mengusir hawa dingin yang tadi menyelubungi bumi.
“Wah, kau memulai tanpa aku ya” tiba-tiba saja ada suara yang mengagetkanku. Suaranya sangat aku kenal, mungkinkah itu dia, Baruna?
“Baruna...kaukah itu?”
“Tentu saja. Kau pikir siapa lagi?” dia tertawa sambil menepuk-nepuk kepalaku dengan pelan lalu duduk di salah satu bangku di beranda itu yang letaknya tepat di sebelahku. Entah apa sebabnya dia mulai berteriak kegirangan, membuatku sedikit terkejut karenanya.
“Ada apa?”
“Pelanginya muncul” ujarnya begitu girang.
“Benarkah? Kamu tidak membohongiku kan?”. Benarkah kali ini pelangi itu muncul atau seperti biasanya Baruna hanya membohongiku saja. Memang maksudnya baik ingin membuatku bahagia tapi itu berlebihan bagiku.
“Bukankah Tuhan akan selalu tersenyum setelah hujan reda dan alam akan menyambutnya dengan suka cita dan menyuguhkan lukisan yang luar biasa pada bumi untuk menunjukkan kemurahan hati Sang Pencipta”
“Jurus itu lagi”
Baruna kembali tertawa geli sambil menepuk-nepuk pelan kepalaku.
“Hei, kemarilah biar kutunjukkan padamu”. Dia membimbingku ke ujung beranda, menggenggam tanganku dengan begitu erat entah apa maksudnya.
“Benar-benar muncul ya? Seperti apa bentuknya?”
“Persis seperti senyummu saat ini, melengkung dengan sempurna. Warnanya terlihat begitu indah merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Hei, lihat itu ada burung yang terbang memutari pelangi itu...”
“Pasti indah, seandainya aku bisa melihatnya” ujarku tertunduk sedih.
“Tenanglah, kau akan selalu melihatnya. Biar aku yang menjadi matamu” ucapnya sambil kembali mengelus-elus kepalaku dengan penuh perhatian.
Baruna, terimakasih. Tapi sampai kapan kamu akan tahan dengan semua ini? Sampai kapan kamu akan tahan berada di sisiku dan menjadi mataku untuk bersama-sama melihat pelangi itu?

¶¶¶

Tadi Baruna telepon dan memintaku menemui dia di taman kompleks. Katanya ada sesuatu yang mau dia tunjukkan padaku, entah apa itu, tapi semoga bukan sesuatu yang aneh seperti yang biasa dia lakukan untuk menjahiliku.
Heh...untung saja cuaca hari ini sangat cerah jadi mama mengijinkanku keluar rumah sendirian. Hei, dengarkan itu suara burung yang saling bersahut-sahutan, benar-benar sangat merdu...
GEDUBRAK!!!! Aduh, sakit...sepertinya aku menabrak sesuatu atau mungkin malah seseorang?
“Hei, kalau jalan pakai mata dong!”. Orang yang aku tabrak itu berteriak-teriak memarahiku, tapi ini memang salahku. Jadi tidak apa-apa...
“Maafkan aku”
Orang itu tampaknya benar-benar tidak terima dan sekarang dia berjalan mengitariku lalu dia dan teman-temannya tertawa terbahak-bahak mungkin menyadari kalau aku itu buta.
“Pantas saja. Orang nggak punya mata” orang itu merebut paksa tongkatku dan melemparkannya entah kemana. Dia dan teman-temannya kembali tertawa lalu mendorongku hingga jatuh terjengkang.
“Hei, apa yang sedang kau lakukan”. Suara itu? Mungkinkah itu Baruna? Dari nada suaranya aku tahu dia benar-benar marah. Baruna membantuku berdiri dan menyerahkan tongkat yang tadi dibuang oleh gadis itu. “Apa yang sedang kamu lakukan pada dia!” Baruna kembali membentak gadis itu. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan wajah Baruna yang sedang marah seperti saat ini. Pasti sangat menakutkan. Wajahnya yang selalu ceria kadang membuatku lupa kalau dia juga bisa marah.
“Baruna...untuk apa kamu memperdulikan gadis itu, dia itu cuma gadis buta yang tidak berguna. Em...lebih baik sekarang kita pergi dari sini”. Rupanya gadis itu mengenal Baruna dan sepertinya dia menyukai Baruna, lihat saja sekarang dia menggelayut manja di pundak Baruna. Tapi secara kasar Baruna mendorong gadis itu.
“Asal kamu tahu, gadis ini jauh lebih berarti bagiku dari pada kau yang tidak tahu diri itu” ucap Baruna masih dengan nada suara tinggi.
“Apa maksudmu?”
“Dia pacarku”
“Pacarmu? Kamu pasti bercanda” gadis itu kembali tertawa terbahak-bahak tidak percaya dengan apa yang Baruna ucapkan.
“Apa kau melihat wajahku ini seperti sedang bercanda”
“Tidak mungkin! Itu tidak mungkin!” gadis itu berteriak histeris.
“Menyingkirlah!” Baruna mendorong gadis itu agar menjauh darinya lalu menarik tanganku agar segera pergi dari tempat yang tidak menyenangkan itu.
Dia masih terus memegangi tanganku dengan sangat erat belum juga mau melepaskannya. Aku tidak tahu dia mau membawaku kemana. Dari deru nafasnya yang rusuh aku tahu dia masih sangat marah akibat kejadian tadi jadi aku rasa tidak tepat kalau aku bertanya padanya saat ini. Dia berhenti di suatu tempat lalu membantuku duduk di kursi yang ada disitu, aku rasa ini bangku taman sebab aku masih dapat mencium bau segar pepohonan dan rumput yang tumbuh subur di taman ini.
“Hei, kenapa diam” Dia duduk di sebelahku dan suaranya sudah kembali terdengar ceria. Tapi aku tidak tahu dengan raut wajahnya, mungkin dia berusaha menyamarkan suaranya untuk membuatku tidak merasa khawatir.
“Kamu terdengar menakutkan saat marah” kukatakan yang sejujurnya dan dia kembali tertawa. Tawa renyah seperti biasanya dan seperti biasanya pula dia lalu mengelus-elus kepalaku.
“Sudah tidak apa-apa. Maaf kalau membuatmu takut”
“Sepertinya kalian saling mengenal”
“Siapa?”
“Baruna dan gadis itu”
“O...dia. Cuma salah satu gadis sok di sekolahku”
“O...”. Aku tahu ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku saat ini, aku bisa merasakannya dari nafasnya yang tidak teratur sepertinya masih sangat marah. Tapi jujur aku benar-benar tidak sanggup mendengar apa pun lagi mengenai Baruna dan gadis itu, aku tidak tahu kenapa tapi rasanya hatiku jadi merasa sakit. “Em...Baruna terimakasih untuk yang tadi”
Baruna tidak menjawab hanya tersenyum dan kembali mengelus kepalaku pelan.
“Tentang ucapan Baruna yang tadi itu...”
“Kau tidak perlu memikirkannya kalau itu hanya membuatmu tidak nyaman”
“Justru karena itu, tolong beritahu aku” Aku tidak tahu apakah memang ini yang aku inginkan tapi aku benar-benar harus tahu maksud ucapan Baruna saat dia menolongku tadi, apakah itu hanya tipuan saja?
“Aku...aku memang menyukai Aurora”
Dia mengatakannya, dia sungguh-sungguh mengatakannya, sekarang apa yang harus aku lakukan. Aku tidak tahu.
“Kau tidak perlu mengatakan apapun, asalkan kamu tetap membiarkanku berada di sampingmu itu sudah cukup”.
Otakku rasanya jadi beku dan sama sekali tak bisa kugunakan untuk berfikir, aku hanya dapat mengangguk pelan dan tidak tahu harus berkata apa. Tuhan kenapa malah jadi sekaku ini? Tidak bisakah kembali saja seperti semula.
Baruna menarik nafas dengan rusuh lalu tertawa sangat keras sepertinya berusaha untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman itu dari hatinya. “Kubawakan sesuatu untukmu” suaranya kembali ringan seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa tadi. Terimakasih Baruna, terimakasih.
Kuterima benda itu dari tangan Baruna tanpa berkata apa pun, ternyata itu sebuah buku. Tapi yang ini berbeda hurufnya menyembul dan bisa aku rasakan dengan jelas, sebuah buku yang ditulis dengan huruf Braille. Kuraba sampulnya dan kubaca judul buku itu ‘Pelangi Dalam Hatiku’ dan Ya Tuhan pengarangnya adalah Baruna.

Tuhan akan selalu tersenyum saat hujan reda maka alampun akan menyambutnya dengan suka cita. Menyuguhkan lukisan yang begitu indah kepada manusia di bumi untuk menunjukkan kemurahan hati Sang Pencipta.
Maka itulah pelangi yang tercipta dari senyum Tuhan, kemurahan hati Sang Pencipta, suka cita alam semesta, keindahan dan harapan.
Tak pernah kusadari keajaiban itu sampai aku berjumpa dengan gadis ini, seorang gadis yang menunjukkan betapa indahnya pelangi dan harapan yang menyerupai ujung pelangi itu.
Dialah keindahan pelangi itu bagiku, keindahan lengkung pelangi itu adalah senyum yang merekah dari bibirnya dan sinar pelangi itu adalah pancaran cemerlang di matanya. Dialah pelangiku, Pelangi Dalam Hatiku. Aurora.
by: smiling angel

Cerpen.Net

saat-saat terakhir

Hari masih lumayan pagi saat aku memasuki kelasku. Karena itu, sekolah masih lenggang. Sambil terus memperhatikan siswa-siswi yang berlalu lalang di dekatku, aku berjalan ke kelasku. Sepertinya kelas masih sepi. Ternyata aku salah, kelas sudah sangat ramai. Bahkan perkiraanku, semua sudah datang. Aku duduk di kursiku sendiri dan melihat teman sebangkuku belum datang. Tumben-tumbenan Karin belum datang, biasanya dia lebih cepat datangnya dari aku. “Clara!” seseorang memanggilku. Ternyata Gilang.“Ya?” tanyaku.“Kamu tahu berita terbaru disini?” Gilang duduk di kursinya Karin.“Nggak. Emang ada apa?”“Yudi meninggal,” kata Gilang lirih.Aku sangat terkejut. Yudi meninggal? Yudi pacarnya Karin? Kini aku tahu kenapa Karin belum datang. Sepertinya Karin masih syok atas meninggalnya Yudi.Masih dengan kekagetan yang tersisa. Aku bertanya.“Kamu tahu kenapadia meninggal?”“Katanya sih kecelakaan.”Aku kembali terkejut. Aku harus cepat-cepat menjenguk Karin, takut dia kenapa-kenapa.Lima menit lagi bel berbunyi, tapi Karin belum juga datang. Aku mulai cemas, apakah ia tidak masuk sekolah? Sedang apa dia sekarang? Pertanyaan yang tidak terjawab berkecamuk di hatiku yang mencemaskan kondisi Karin. Karin itu teman sepermainanku saat SMP sampai saat SMA ini. Lima tahun aku bersamanya. Beberapa kali aku mencoba menelpon handphone-nya. tapi tak ada jawaban. Tidak di angkat.Selama di sekolah aku sangat gelisah. Sampai-sampai pelajaran apapun tidak masuk ke otakku. Bahkan, beberapa kali aku kena teguran oleh beberapa guru karena tidak mencatat.Sampai ketika waktu bel tanda pulangan berbunyi lima belas menit lagi. Aku sudah siap-siap, membersihkan semua peralatan belajarku ke dalam tas. Tapi gerakanku itu ternyata diketahui oleh Bu Dewi, guru sejarah.“Mau kemana kau, Clara Finansi?” tanya Bu Dewi dengan nada tajam.“Mau ke rumah temen, Bu,” jawabku jujur. Percuma berbohong, malah tambah rumit nanti.“Rumah siapa?”“Karin Rytna, Bu.”“Waktu pulangan masih beberapa menit lagi, Clara,” kata Bu Dewi sambil melihat jam.Aku hanya diam, diam yang menyimpan sedikit rasa kelegaan. Karena percakapan tadi kira-kira berkisar sepuluh menit. Dan baru saja Bu Dewi kemballi melanjutkan pelajaran, bel tanda pulangan sudah berbunyi. Otomatis Bu Dewi langsung menyalahkanku.“Gara-gara kamu. Waktu pelajaran  saya terpotong sepuluh menit,” semprot Bu Dewi saat aku mendekatinya.“Maafkan saya, Bu. Tapi saya punya urusan yang sangat penting.” Aku menyalami tangannya.“Lain kali jangan ulangi lagi.”“Sip, Bu,” kataku sambil mengancungkan satu jempol. *** Dalam perjalanan ke rumah Karin, aku bersama Andika, pacarku, sangat mencemaskan keadaan Karin. Perasaanku sangat tidak enak.Sampainya di rumah Karin, aku disambut oleh Mama-nya Karin, yang sudah kukenal dengan baik, dengan sangat ramah.“Cari Karin ya?” tanya Mama Karin sambil tersenyum.“Iya, Tante. Karin ada?” kataku.“lagi di kamar. Tuh anak nggak mau keluar. Tolong ya bujuk dia supaya mau makan,” pinta Mama Karin.“Sip, Tante.”Kamar Karin ada di lantai dua. Andika mengikutiku dalam diam. Tiba di kamar Karin, aku tidak langsung masuk seperti biasanya. Aku menoleh ke Andika, meminta dukungan moral agar dapat menerima apapun kondisi yang dialami oleh Karin.Andika mengangguk dan memegang tanganku dengan erat. Aku tersenyum pahit. Aku mengetuk pintu kamar Karin, tidak ada sahutan. Ku tempelkan telingaku pada daun pintu. Nyaris tidak ada suara. Samar-samar aku mendengar tangis tertahan dari dalam. Aku yakin tangis itu milik Karin. Ku buka pintu lebar. Ku edarkan seluruh pandangan ke kamar Karin. Kudapati Karin duduk di lantai sambil bersandar di kasurnya sendiri. Pelan tapi pasti, aku mengangkat tubuh Karin ke kasurnya, dibantu Andika.Ku raih tisu basah yang ada di sebelah kasur Karin. Pelan-pelan aku membersihkan wajah Karin. Karin memperhatikan wajahku, tatapannya kosong. Tiba-tiba ia menghambur ke pelukanku, menangis di sana. Sejenak aku dan Andika tertegun. Dan aku baru sadar setelah bajuku basah oleh air mata Karin yang melebihi batas normal orang menangis.“Mau cerita?” tanyaku.Tak ada jawaban, Karin terus saja menangis. Ingin aku mendesaknya, tapi tangan Andika yangmemegang bahuku.“Jangan dipaksa, biarkan dia bercerita sendiri,”Ketika Andika menyelesaikan kalimatnya, saat itu juga Karin mulai bercerita. *** Karin berjalan pelan, dengan hati yang berbunga-bunga dan senyum manis yang tercetak di bibir pinknya, berjalan ke arah restaurant di pinggir jalan. Restaurant Jepang itu terlihat sepi. Sampai disana Karin mengedarkan pandangannya. Orang yang di tunggunya ternyata ada di meja nomor dua puluh lima, meja yang berada di pojokkan restaurant itu. Senyum Karin bertambah lebar saat Yudi melambaikan tangannya, menyuruhnya duduk di sebelahnya.“Udah nunggu lama ya?” tanya Karin.“Nggak kok, aku baru aja datang,” jawab Yudi.“Udah pesan?”Sebagai jawaban Yudi menggeleng pelan. “Kamu mau pesan apa?”“Apa saja. Tapi jangan yang berat. Aku tadi sudah makan.”“Okelah.”Selagi Yudi memesan pada seorang pelayan, Karin memperhatikan cowok yang ada di hadapannya ini. Yudi adalah pacar Karin yang sudah hampir enam bulan pacaran dengannya. Yudi termasuk cowok yang diidam-idamkan para cewek, cowok yang membuat para cewek tidak bisa tidur karena terbayang wajahnya yang cakep, berdagu tegas. Karin merasa sangat beruntung karena mendapatkan Yudi. “Rin? Karin?” tangan Yudi melambai-lambai di depan wajah Karin, membuat Karin tersadar dari lamunannya.“Hah? Apa? Udah pesan?” Karin tergagap.“Kamu ini. Ngelamun ya? Hayo ngelamunin siapa? Mulai main dibelakang ya kamu?” goda Yudi.“Ih, apaan sih. Siapa juga yang ngelamun?” elak Karin.“Kamu.”“Nggak kok. Siapa yang bilang aku melamun?”“Abisnya kamu... tadi kupanggilin nggak dijawab. Ditanya malah nggak nyambung jawabannya.”“Emang kamu nanya apa?”“Tuh kan. Tadi aku nanya, hari ini kita mau ngapain? Aku punya waktu lima jam nih.”“Hah? Kemana ya? Emang kamu mau kemana sih?”Wajah Yudi berubah pucat pasi. “Aku nggak mau kemana-mana.”“Wajahmu pucat. Kamu kenapa sih?” tanya Karin menyelidik.Pertanyaan yang tidak terjawab, karena pesanan sudah datang. Mereka makan dalam diam. Selesai makan, mereka memutuskan akan ke bukit bintang. Yudi mewanti-wanti waktu yang dimilikinya hanya sekitar empat jam. Karin tidak lagi bertanya, karena ia tahu pertanyaan itu tidak akan dijawab oleh Yudi.Sampainya di bukit bintang. Karin dan Yudi tetap berada di mobil. “Karin?” panggil Yudi.“Ya?” Karin menoleh.“Jaga diri baik-baik ya.”“Loh?”“Aku nggak bisa jagain kamu terus-menerus. Waktuku hampir habis,” kata Yudi sambil menghela napas dengan berat.“Waktumu hampir habis? Kamu emang mau kemana sih?” tanya Karin heran. Tapi berikutnya ia sadar. pertanyaan yang tidak akan mendapatkan jawaban.“Sudah kubilang. Aku tidak kemana-mana, sayang.”“Bohong! Kamu pasti mau pergi. Nggak mungkin kamu ngomong kayak gini kalau nggak mau kemana-mana. Pasti ada apa-apa.” Karin bersikeras.“Sayang, aku nggak kemana-mana. Percaya deh. Aku pernah bohong kah sama kamu selama ini?” Yudi mengelus puncak kepala Karin.Karin hanya diam. Diam yang menyimpan kekesalan, kekecewaan.“Kita mau kemana lagi?” tanya Yudi.“Keliling Jakarta aja deh,” kata Karin.Yudi tersenyum kecil dan menjalankan mobilnya menjauhi bukit bintang.Hari itu, Yudi membuat Karin tertawa terus-menerus tanpa henti. Keliling Jakarta dilakukan Yudi dan Karin dalam waktu tiga setengah jam. Walaupun belum puas, akhirnya Karin mengalah. Karena waktu yang dimiliki oleh Yudi hampir habis.Karin pun setuju di antar pulang. Selama perjalanan, Karin mulai tertawa-tawa lagi mendengar celetuk-celetukkan dari Yudi yang menggelitik perut. Tak terasa mereka sampai di rumah Karin.“Makasih ya,” kata Karin sebelum keluar dari mobil.“Rin.” Yudi mencekal satu tangan Karin. Dengan gerakan cepat, Yudi menempelkan bibirnya di pipi Karin. Lalu membisikkan satu kalimat. “Aku sayang kamu.”Wajah Karin merona merah, ia keluar mobil dengan bahasa tubuh yang menandakan bahwa ia malu. Setelah mobil Yudi berjalan pelan manjauhi rumah Karin. Karin masuk ke rumah dengan wajah merona dan hati yang berbunga-bunga. Baru saja Karin menginjakkan kakinya di teras rumah, terdengar dengan jelas orang berlari sambil berteriak. “WOI! ADA TABRAKAN!”Secepat kilat Karin berlari menuju tempat kecelakaan, disusul oleh Mama dan Papa-nya. Perasaannya tidak enak. Sekitar sepuluh meter dari tempat kecelakaan, tiba-tiba Karin berhenti. Terpaku di tempatnya berdiri. Kaki, tangan, otak, dan hatinya sepertinya tidak berfungsi.Ia tidak mempercayai apa yang ada didepannya. Mobil itu rusak parah. Mobil itu manabrak pick-up dari arah berseberangan. Mobil itu akan mengubah hidupnya. Mobil itu adalah mobilnya... Yudi.Karin langsung terjatuh dan berjongkok. Airmatanya jatuh dengan deras. Tubuhnya yang terduduk langsung di tangkap oleh Papa-nya. *** Aku mengigit bibirku. Tak percaya dengan apa yang diceritakan oleh Karin. Andika pun sama sepertiku. Aku melihat dengan jelas. Karin sangat terpukul, ia mencoba menahan kesedihan yang melingkupi dirinya.Antara percaya dan tidak percaya. Ternyata Karin dapat menceritakan saat-saat terakhir ketika ia masih bersama Yudi. Saat-saat terakhir yang mengubah hidupnya. Tak tega aku melihat Karin yang begitu kehilangan. Air mataku pun jatuh tanpa bisa ditahan.Kupeluk Karin yang menangis, sedangkan Andika hanya bisa mengelus punggung Karin sambil mengumamkan. “Sabar, Rin.”Dalam hati aku membenarkan ucapan Andika. Sabar, Rin...
by: firadestiny

Cerpen.Net

Mati ku Untuk Mu

Aku jatuh cinta… =(
Aku jatuh cinta dengan orang yang salah, orang yang slalu dan slalu membuat aku bimbang. Kadang, aku merasa dia tau tentang perasaan ku, tapi kadang dia membuat aku merasa dia tidak tau tentang perasaan ku. Dia… Sangat membuat aku bimbang setengah mati, kadang dengan mudahnya dia membuat ku menangis, tapi dia juga dengan mudahnya membuat ku tersenyum dan tertawa.
Aku bingung, haruskah aku senang ataukah sedih dengan perasaan ini. Dia… begitu membuat ku bahagia, membuat ku melayang ke awan.
Namanya, Tyan, teman satu kelompok ku. Aku mulai suka sejak pertama kali bertemu di OSPEK jurusan. Sangat aneh, dengan mudahnya aku jatuh cinta dengannya. Aku suka caranya bicara, aku suka bahasanya yang berbeda dengan ku, aku sangat suka dengan semua hal yang ada di dirinya.
Waktupun terus berjalan, aku semakin di buat suka dengannya. Slalu kumpul kelompok, walaupun sebenarnya aku nggak pengin kumpul. Aku juga slalu bahkan slalu berusaha membantunya, menarik perhatiaannya, slalu dan slalu memperhatikannya. Semua status di FB (facebook) ku hanya ada dia, aku slalu dan slalu berharap dia tau. Bayangkan bagaimana senangnya saat dia coment status ku. Bagaimana senangnya saat dia nge-like status ku. Semua itu membuat aku berharap.
Tapi… pada akhirnya aku sadari, dia tidak pernah menyadari perasaan ini. Aku ingin saat mengatakan perasaan ini, bahkan sangat ingin mengatakan bahwa ‘aku mencintai-mu Tyan’. Tapi ternyata, nggak ada yang membuat aku bertahan mencintai kamu. Orang yang aku cintai bahkan tidak mau peduli dengan perasaan ku. Dan sahabat ku (orang yang tau perasaan ku dengan Tyan) menghindari ku, menjauhi ku.
Aku terdiam sambil terpaku memandang kedepan, aku slalu dan slalu begini. Aku slalu dan slalu hanya bisa mencintai tanpa dicintai. Aku berjalan kedepan sambil menghapus airmata yang sejak tadi tidak berhenti. Mungkin lebih baik, aku akhiri semua ini, mungkin loncat dari lantai 5 kampus ini.
“Sae!” Teriak seseorang menghentikan langkah ku. “Elo apa-apaan?”
Aku menoleh. “Vin…” Aku memandang sahabat ku, aku lalu tersenyum, senyuman yang dipaksakan. “Kenapa? Ada yang salah?”
“Otak loe sarap ya?! Loe bikin geger satu kampus! Turun nggak!” Teriak Kevin. “Jangan Cuma gara-gara masalah Tyan, loe jadi kayak gini! Pengecut! Pecundang loe!”
Aku terdiam lalu kembali memandang kedepan. “Gue emang pecundang, gue pengecut.”
“Tapi nggak kayak gini juga!” Teriak Kevin. “Elo pikirin orang yang mencintai loe! Nyokap bokap loe!”
“NGGAK ADA YANG CINTA SAMA GUE, VIN!” Teriak ku sambil berbalik menatapnya, tiba-tiba mata ku terbelalak saat melihat Tyan berjalan menuju aku. “Tyan…”
Tyan memandang ku iba. “Maaf, aku nggak tau perasaan kamu.” Bisiknya.
“Banyak orang yang cinta sama loe! Termasuk Tyan!” Teriak Kevin.
Tyan menatap ku sambil mengangguk, ia memegang tangan ku. “aku cinta sama kamu.”
Aku menyentuh dadanya pelan sambil merasakan detak jantungnya. “Bohong…” Aku makin menangis. “Nggak ada debaran keras saat kamu bersama ku.” Aku mundur beberapa langkah. “Bohong, kamu bohong…” Aku semakin melangkah mundur. “Bye, Tyan.”
“SAE!” Teriak seseorang menarik tangan ku, ia memegang tangan ku erat.
Aku memandang keatas, wajah penuh kekhawatiran Kevin. “Lepasin.”
“Loe harus rasain detak jantung gue, loe harus rasain, seberapa kerasnya debarannya.” Mata Kevin berkaca-kaca. “Gue suka sama loe, gue suka dari pertama kali kita ketemu, gue suka bahkan sangat sangat suka sama loe. Tapi bodohnya loe nggak pernah ngerasain perasaan gue! Loe malah slalu dan slalu bilang suka sama Tyan didepan gue! Loe kira gue nggak kesel?”
Aku terdiam sambil menatapnya.
“Naik! Loe nggak boleh jatuh! Loe harus hidup!” Teriak Kevin sambil menarik tangan ku.
Ia menarik tangan ku, dia berjuang menarik ku, dia berjuang untuk mengembalikan hidup ku.
“Elo harus hidup.” Kevin menatap ku.
Keseimbangan badannya mulai goyah karena menarik tangan ku, tubuhnya terpeleset.
“KEVIN!!!!!!!!” Teriak ku saat melihat tubuh Kevin terjatuh dari lantai 5, aku hanya bisa diam, terpaku memandangnya.
Tyan memeluk ku yang kini sedang berontak, kini aku merasakan debaran keras saat dipeluk Tyan. Aku terdiam, apa yang harus aku lakukan, bahagia kah atau harus sedih?

by: Sekar Sae Khoirunnisa

Cerpen.Net.

Sejak Kau Tiada

October 26, 2010 by hadi way  
Filed under Patah Hati
Tak kumiliki lagi yang sepertimu
Tuk kedua kali ..
Tiada harapan lagi sejak kau tiada
Tinggalkan aku ..
Apakah mungkin harapan mati yang kuharapkan
Sejak kau pergi . .
Apakah mungkin
Semua t’lah berakhir ..
Tak pernah terlupakan
Indah raut wajahmu ..
Tak akan mampu hilang
Cinta tulus darimu ..
Sejak kau tiada ..
Menutup kenangan antara kita
Tak mungkin ada harapan lagi
Kau tak tergantikan ..
Sejak kau tiada
Menutup kenangan antara kita ..
Technorati Tags: , ,

Burung dalam sangkar

November 26, 2008 by sanca boy  
Filed under Sosial, Tema Umum
Dunia ini begitu luas …
Namun,
Hidupku bagai …
Burung dalam sangkar …
Aku ingin terbang tinggi …
Tapi,
Aku tak mampu …
Karena adanya pembatas dunia …
Aku ingin mencari kawan …
Namun,
Aku tak mampu …
Karena adanya sangkar pembatas …
Rasanya …
Aku ingin menghancurkan sangkar itu
Namun,
Aku hanyalah mahluk kecil tak berdaya…
Hingga …
Hidup ini hanya satu tujuan
yaitu …
Menanti ajal yang menjemput …
Technorati Tags: ,

Minggu, 24 Oktober 2010

Lagu Terakhir Untuk Ita

Sudah hampir dua jam Ita mondar-mandir mengelilingi kamarnya, gadis ini terlihat sangat gelisah. Berulang kali dia melirik hp kecil yang ada di tempat tidurnya, tapi tak ada satu pun pesan masuk yang tampak di hp itu.

“Kamu kemana, sih? Kok sms ku nggak di balas-balas” gerutu Ita sambil memencet nomer telepon dengan cepat.

Sebelum Ita sempat menelpon, sebuah SMS masuk dan di layar ponsel itu tertulis My Prince. Secepat kilat dia membuka SMS itu lalu membacanya dengan tidak sabar. Ternyata orang yang selama ini dia tunggu itu baru saja selesai bertanding dalam turnamen voli. Setelah membalas SMS itu, Ita memejamkan matanya untuk tidur, karena malam telah larut.

Keesokan harinya...

Seperti biasa, Ita selalu mengirimkan ucapan selamat pagi pada kekasihnya sebelum dia berangkat kuliah. Namun, hatinya kembali tak tenang ketika sang kekasih belum juga membalas SMS-nya hingga sore hari. Berkali-kali dia mengirimkan SMS, hingga akhirnya balasan yang ditunggu datang.
-aku udah solat dan makan kok-

Ita langsung membalas SMS itu, tapi setelah beberapa kali SMS-an, dia merasa ada yang aneh dengan pesan dari kekasihnya itu. Hingga akhirnya dia tahu kalau ternyata yang membalas SMS itu bukanlah Ivan pacarnya, tapi temannya. Hal itu membuat Ita sangat marah dan tidak membalas SMS itu lagi. Dia berharap pacarnya akan menghubunginya dan meminta maaf langsung padanya.

Tapi pertengkaran itu malah berlanjut hingga malam hari. Meskipun Ivan telah meminta maaf, tapi Ita masih juga kesal dengan sikap Ivan yang tidak mau membalas SMS-nya. Dan malam itu pun berakhir tanpa ada SMS dari keduanya.

Pertengkaran kedua pasangan itu berakhir dengan kata putus yang dikirimkan lewat SMS oleh Ivan. Hal itu membuat Ita yang sejak awal sudah sedih akhirnya menangis di depan sahabat-sahabatnya. Dia tidak menyangka pacar yang selama ini sangat dicintainya ternyata tega memutuskan hubungan mereka begitu saja. Namun, setelah mendengar alasan Ivan yang sudah merasa tidak nyaman lagi dengan dia, Ita akhirnya menerima keputusan itu dengan hati yang hancur.

Malam harinya, Ita yang masih stres dengan kenyataan yang menyakitkan itu mendadak jatuh sakit. Tubuhnya demam dan kadang dia menggigil. Dia berharap Ivan akan menghubunginya dan bilang kalau mereka tidak jadi putus. Tapi harapan itu, hanya menjadi harapan semata, karena tak satu pun SMS dari Ivan yang masuk ke hp-nya.

* * *
Sudah hampir seminggu Ita sakit, hingga akhirnya dia harus di rawat di rumah sakit. Tapi kondisinya belum juga membaik. Maag yang selama ini di deritanya ternyata sudah sangat parah hingga menimbulkan pendarahan. Dokter pun mengatakan kalau salah satu faktor yang menyebabkan penyakit Ita semakin parah adalah stres yang dialaminya hingga membuat kondisi tubuhnya menurun.

Gati, sahabat Ita yang paling mengerti keadaan Ita hanya bisa menatap iba tubuh sahabatnya yang sekarang terkulai lemah diatas tempat tidur. Wajahnya pucat dan tubuhnya semakin kurus. Gati sangat mengerti perasaan Ita yang merasa sangat kehilangan Ivan kekasihnya. Kadang samar-samar dia mendengar Ita menyebut nama Ivan dalam tidurnya, dan hal itu membuat Gati menangis, tak sanggup melihat penderitaan yang di rasakan oleh sahabatnya itu.

“Ta, gmn keadaan kamu sekarang?” tanya Gati ketika sahabatnya baru saja bangun.

“Alhamdulillah udah mendingan, udahlah nggak usah cemas gitu” jawab Ita, wajahnya terlihat pucat.

“Kamu masih mikirin Ivan, ya?”

“Maksud kamu?”

“Dari kemarin aku dengar kamu memanggil nama Ivan berkali-kali saat kamu lagi tidur. Kamu kepikiran dia lagi?” tanya Gati cemas.

“Iya, aku kangen sama dia. Apa dia menghubungiku?” jawab Ita.

“Setahu aku, sih, belum ada SMS ataupun telepon dari dia. Kenapa?”

“Enggak apa-apa, cuma mau tahu aja dia peduli atau nggak” jawabnya, wajahnya terlihat sedih.

“Apa perlu aku telepon dia untuk kasih tahu keadaan kamu?”

“Enggak usah, aku nggak mau dikasihani sama dia.”

Gati hanya bisa diam mendengar jawaban sahabatnya itu. Rasa kagum dan sedih bercampur di hatinya. Kagum akan ketegaran sahabatnya itu, tapi sedih melihat penderitaan yang harus dialami Ita. Gati tahu di saat sakit seperti itu, pasti Ita ingin Ivan ada bersamanya, dan nggak meninggalkannya seperti ini.

Hampir tiga minggu Ita di rawat di rumah sakit, dan selama itu juga Gati selalu memperhatikan perkembangan kesehatan sahabatnya itu. Setiap kali Ita merasa sakit di tubuhnya ataupun tubuhnya demam, Ita selalu mendengarkan sebuah lagu ciptaan Ivan, mantan kekasihnya. Dan seperti mukjizat, keadaan Ita perlahan membaik setelah mendengar lagu itu. Gati akhirnya mengerti kerinduan Ita pada Ivan sangatlah besar hingga menyiksa seluruh tubuhnya bukan hanya hatinya.

Hingga suatu hari, tanpa sepengetahuan Ita, Gati menelpon Ivan yang ada di luar kota. Dia menceritakan keadaan Ita pada cowok itu, dan dia juga meminta Ivan untuk datang menemui Ita. Tapi, Ivan masih belum juga mau menemui Ita.

“Aku mohon sama kamu, Ita butuh kamu. Tolong datanglah ke Jakarta dan temui Ita walaupun hanya sebentar” ucap Gati.

“Aku belum bisa menemui dia, lagipula kehadiranku malah bisa membuat dia semakin sakit” jawab Ivan.

“Satu kali saja, tolong temui dia. Mungkin dengan bertemu denganmu dia bisa sembuh. Atau kamu akan menyesal” paksa Gati.

“Apa maksud kamu? Memang penyakitnya itu parah?”

“Datang dan lihatlah sendiri keadaan Ita sekarang. Sebelum kamu menyesal untuk selamanya” ucap Gati sebelum mengakhiri teleponnya.


* * *

Beberapa hari setelah telepon itu, Ivan mengabari Gati kalau dia akan ke Jakarta untuk menemui Ita. Gati yang mendapat kabar menggembirakan itu langsung menemui Ita. Tapi sayangnya Ita sedang tidur saat itu. Gati hanya bisa menunggu, sampai Ivan tiba di Jakarta dua hari lagi.

Hari itu akhirnya tiba juga. Ivan, orang yang selama ini di tunggu kedatangannya oleh Ita dan Gati akhirnya datang. Dia meminta Gati mengantarkannya ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Ivan terdiam melihat keadaan gadis yang ada di kamar rawat itu. Sosok yang selama ini tidak pernah di jumpainya, kini dilihatnya dengan kondisi yang memprihatinkan. Selang infus terpasang di tangannya, matanya terpejam, tapi di kedua telinganya terpasang headset agar Ita bisa selalu mendengarkan lagu musik yang bisa menenangkan.

“Dia hanya sedang tidur. Tunggu saja, sebentar lagi juga dia bangun” ucap Gati yang berdiri di belakang Ivan.

“Sudah berapa lama dia seperti ini?” tanya Ivan, dia mulai berjalan mendekati tempat tidur Ita.

“Hampir satu bulan dia terbaring di tempat tidur itu. Sekarang coba kau dengar lagu yang sedang di dengarkan Ita” ucap Gati sambil melepas satu headset itu dan memberikannya pada Ivan.

Ivan terkejut ketika mendengar lagu itu, lagu yang pernah dia ciptakan untuk Ita dulu. Dia tidak menyangka gadis itu masih menyimpan rekaman lagu itu. Kedua matanya menatap wajah Ita yang tertidur.

“Itulah yang membuat Ita bertahan selama ini. Itu yang dia lakukan bila sedang merindukanmu. Suaramu yang sangat dia rindu” ucap Gati.

Ivan yang masih merasa terkejut perlahan memegang tangan Ita, kedua matanya tak lepas dari wajah Ita. Terlihat masih ada kasih sayang yang dalam dari tatapan itu. Tiba-tiba tangan yang di pegang Ivan bergerak, Ita bangun dari tidurnya. Dan dia terkejut ketika ada seorang cowok duduk di sampinya sambil memegang tangannya.

“Tenang, Ta. Dia Ivan, orang yang selama ini kamu rindu” ucap Gati.

“Ivan? Kenapa bisa ada disini?” tanya Ita yang masih terkejut.

“Maaf, ya. Aku yang menelpon dia dan meminta dia untuk datang menjengukmu. Karena aku nggak tega melihat kamu seperti ini terus.”

“Kenapa kamu bisa sampai kayak gini? Kenapa kamu nggak menjaga kesehatanmu?” tanya Ivan yang masih tetap menatap wajah Ita.

“Itu bukan urusanmu” sahut Ita sambil melepaskan genggaman Ivan.

“Waktu itu kamu kan udah janji, bisa terima keputusanku untuk mengakhiri hubungan kita, dan berjanji akan baik-baik saja. Tapi kenapa sekarang kamu kayak gini?”

Ita hanya diam dan memalingkan wajahnya dari Ivan. Sementara Ivan masih terus berbicara pada Ita. Gati yang melihat itu hanya berharap keadaan Ita akan membaik setelah bertemu Ivan. Dan ternyata benar, setelah berdebat cukup lama akhirnya Ita dan Ivan mulai akrab kembali. Wajah Ita yang tadinya pucat juga mulai berubah cerah.

Pertemuan antara Ita dan Ivan terus berlangsung selama seminggu, dan selama itu keadaan Ita berangsur membaik. Suatu hari, Ita ingin pergi ke pantai bersama Ivan, dia ingin melihat sunset bersama orang yang di cintainya. Walaupun awalnya dokter, orang tua Ita, dan Ivan tidak setuju, tapi demi kesembuhan Ita, akhirnya mereka menyetujui permintaan Ita itu. Dan pergilah mereka berdua ke pantai untuk melihat sunset.

Di pantai itu, Ivan menyanyikan lagu yang baru di buatnya untuk Ita. Lagu yang liriknya adalah ciptaan Ita, dulu dia pernah meminta Ivan untuk menciptakan lagu dari lirik yang dibuatnya. Dan kini lagu itu telah selesai dan Ivan menyanyikannya secara langsung untuk Ita.

Keadaan yang sangat romantis itu membuat Ita bahagia. Berkali-kali dia tersenyum dan tertawa saat bersama Ivan. Kebahagiaan yang entah akan bertahan sampai kapan.

“Aku bahagia banget hari ini, karena bisa pergi sama kamu, tertawa dan melihat sunset bersama kamu. Dan yang lebih membahagiakan, aku bisa mendengar lagu itu secara langsung” ucap Ita sambil memandang langit.

“Aku juga senang bisa jalan sama kamu. Makanya kamu harus cepat sembuh, nanti kita bisa jalan-jalan lagi” sahut Ivan.

“Iya. Rasanya aku nggak ingin ini berakhir, aku ingin terus bersama kamu. Bahagia seperti ini.”

Ivan hanya bisa tersenyum mendengar ucapan Ita. Lalu mencium kening Ita dengan lembut. Ita yang terkejut hanya bisa menatap Ivan, lalu tersenyum.

“Aku sayang kamu. Cepat sembuh, ya” ucap Ivan.

Air mata mengalir dari mata Ita. Suasana mengharukan itu terlihat sangat membahagiakan. Setelah itu mereka kembali ke rumah sakit karena Ita masih harus di rawat.

* * *

Sebuah kabar mengejutkan membuat Ivan dan Gati datang ke rumah sakit lebih pagi dari biasanya. Keadaan Ita yang belakangan ini mulai membaik, tiba-tiba drop. Semua dokter dan perawat sibuk mengatasi keadaan itu. Sedangkan Ivan, Gati dan keluarga Ita hanya bisa menunggu dan berdoa dari luar ruang ICU.

Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya dokter membolehkan mereka untuk masuk ruangan itu dan melihat kondisi Ita yang sudah sadar. Wajah gadis itu semakin pucat dan tubuhnya dingin. Tapi dia masih tersenyum saat melihat keluarga dan dua orang yang berharga baginya itu masuk ke kamarnya.

“Kamu nggak apa-apa kan, sayang?” tanya orang tua Ita.

“Aku baik-baik aja kok, Bu” sahut Ita yang masih lemah.

“Ivan, aku mau mendengar kamu menyanyi. Tolong nyanyikan lagu itu sekarang. Aku mau dengar” ucap Ita dengan suara yang hampir seperti bisikan.

“Nanti saja, sekarang kamu istirahat dulu” sahut Ivan.

“Aku mau mendengarnya sekarang. Aku lelah, ingin istirahat. Aku ingin mendengar lagu itu untuk menemani tidurku.”

“Nyanyikan saja” ucap Ibu Ita.

Akhirnya Ivan menyanyikan lagu yang ingin di dengar Ita itu. Tangannya menggenggam tangan Ita yang dingin, Ita juga menggenggamnya dengan erat seperti tak mau lepas lagi. Perlahan matanya terpejam dan akirnya dia tertidur. Tapi bukan tidur biasa, karena monitor yang menunjukkan gerakan jantung Ita perlahan berhenti, hingga akhirnya sebuah garis muncul di monitor itu. Dan tak ada lagi pergerakan grafik detak jantung Ita. Ivan yang dari tadi menggenggam tangan Ita merasa tangan Ita perlahan melepas genggamannya.

Mereka terus memanggil Ita, tapi dia tidak juga membuka matanya. Dokter juga sudah mengatakan kalau Ita telah pergi untuk selamanya. Air mata seperti tak bisa berhenti mengalir dari mata keluarga, Gati dan Ivan. Mereka tidak menyangka, Ita yang mereka kira akan segera sembuh ternyata meninggalkan mereka secepat itu.

Begitu juga Ivan, dia tidak mengira kalau lagu yang dia nyanyikan itu adalah lagu terakhir untuk Ita. Sebelum wajah Ita di tutupi kain putih, Ivan mencium kening gadis yang pernah di cintainya itu dengan lembut.

“Selamat jalan, sayang. Maafkan aku yang telah membuatmu seperti ini. Semoga kau tenang disana.”

Wah, cerpen remaja ini endingnya sedih banget, yah...

http://gen22.blogspot.com/2010/10/cerpen-remaja-lagu-terakhir-untuk-ita.html

Badai Di Hatiku

badai di hatiku hempaskan lenaku
menghantam sudutnya hingga porak-poranda
meluluhlantakkan rindu hingga tak sempat berbuah cinta
meretakkan dinding-dinding hati
di mana di sana kuukir indah wajahmu

badai di hatiku kian menggelora
ketika petikan gitarku tak mampu mengiringi sayatan gemulai biolamu
ketika detik yang terketik untuk syairku terdengar picisan oleh senandungmu

aku melupakan diri
terdengar desah angin lembah
membisikkan getar-getar gairah
api kecintaan untuk dirimu

tergeletak dalam layu dan sosok gersang
terkulai dalam lagu dan kata usang

badai di hatiku hancurkan jiwaku
luruhkan teguhnya hingga erosi
mengikis yakinnya hingga abrasi

aku bersenandung dalam bingung
dengan tembang liriknya bimbang

aku merintih sedih
aku menjerit sakit
aku khilaf lalu kalap
aku menyerah dan kalah

kasih...
lepaskanlah hatiku
dari cintamu yang berkabut
 
http://gen22.blogspot.com/2010/06/puisi-sedih.html

APA KABAR?

 Apakah desah itu masih setia mengiring harimu?
Di antara debar jantung yang merindukanmu
Aku memilin seraut wajah yang menghantui malam-malamku
Kuingin engkau ada dalam keputusasaanku
Menantimu hingga kaki-kaki tak mampu lagi berjalan

Seandainya desah itu masih bisa kucium di sudut malam ini
Akan kukatakan pada awan hitam
Aku ingin menyapamu meski hanya lewat semilir angin
Tak kuasa sudah aku ingin rebah di lapang hatimu
Dan menangis di ujung matamu

(Mayank Ponimiring II ** bibirmerahmembabibuta@yahoo.com)

Cinta

Cinta
by: Ivan

cinta adalah saat ia menangis

biarkan ia menangis dipelukanmu


cinta adalah saat kau melihatnya,

kau kan berkata kau adalah anugrah terindah


cinta padanya akan selalu menantimu

dengan kesetiaan dan tulus nya cinta


http://gen22.blogspot.com/2010/06/puisi-cinta-kumpulan-puisi-cinta.html

Jumat, 22 Oktober 2010

makna kehidupan

kehidupan memberikan sejuta makna
ada dosa, kebajikan dan ampunan
setiap baris doa memohonkan satu tempat di surga

sang hamba hanya dapat diam tak berkata-kata
penyesalan yg tak terkira
dalam bingkaian air mata
dan luruhnya rasa

angin illahi masih terasa di sekujur nadi
menguatkan hati yang ingin berperi
menghiba tuk bertemu Tuhannya
dalam singgasana istana surga
atau di sidhratul muntaha

By: Rudi Hartono (http://myhartono.multiply.com/)

Perbuatan Baik Tidak Pernah Sia-Sia

Al kisah ada seorang dermawan yg berkeinginan untuk berbuat kebaikan.
Dia telah menyiapkan sejumlah uang yang akan dia berikan kepada beberapa orang yang ditemuinya.
Pada suatu kesempatan dia bertemu dengan seseorang maka langsung saja dia menyerahkan uang yang dimilikinya kepada orang tersebut. Pada keesokan harinya tersiar kabar bahwa ada seseorang yang telah memberikan sejumlah uang kepada seorang penjahat beringas. Mendengar kbr ini si dermawan hanya mengatakan” Ya Tuhan aku telah memberikan uang ke pada seorang penjahat”
Di lain waktu, dia kembali bertemu dengan seseorang, si dermawan pada hari itu juga telah berniat untuk melakukan kebaikan. Ia dengan segera memberikan sejumlah uang kepada orng tersebut. Keesokan harinya tersiar kabar bahwa ada seseorang yang telah memberikan uang kpd seorang koruptor. Mendapat kabar ini si dermawan hanya berkata “Ya Tuhan aku telah memberikan uang kepada koruptor”.
Si dermawan ini tidak berputus asa, ketika dia bertemu dengan seseorang dengan segera dia menyerahkan sejumlah uang yang memang telah disiapkannya. Maka esok harinya pun tersiar kabar bahwa ada seseorang yang telah memberikan sejumlah uang kepada seorang kaya raya. Mendengar hal ini si dermawan hanya berkata. ” Ya Tuhan aku telah memberikan uang kepada penjahat, koruptor dan seorang yang kaya raya”.
Sekilas kita bisa menyimpulkan bahwa si dermawan ini adalah seorang yang “Ceroboh” Asal saja dia memberikan uang yang dimilikinya kepada orang yang tidak dikenalnya, padahal jika dia  lebih teliti maka niat baik nya itu bisa lebih berguna tersalurkan kepada orang yang memang membutuhkan.
Tapi ternyata suatu niat yg baik pasti akan berakhir dengan baik, pun begitu pula dengan “kecerobohan” si dermawan.
Uang yg diberikannya kepada sang penjahat ternyata mampu menyadarkannya bahwa di dunia ini masih ada orang baik, orang yg peduli dengan lingkungan sekitarnya. Penjahat ini bertobat dan menggunakan uang pemberian sang dermawan sebagai modal usaha. Sementara sang koroptor, uang cuma-cuma yg diterimanya ternyata menyentuh hati nuraninya yang selama ini telah tertutupi oleh keserakahan, dia menyadari bahwa hidup ini bukanlah tentang berapa banyak yang bisa kita dapatkan. Dia bertekad mengubah dirinya menjadi orang yang baik, pejabat yang jujur dan amanah. Sementara itu pemberian yg diterima oleh si kaya raya telah menelanjangi dirinya, karena selama ini dia adalah seorang yg kikir, tak pernah terbesit dalam dirinya untuk berbagi dengan orang lain, baginya segala sesuatu harus lah ada timbal baliknya. Dirinya merasa malu kepada si dermawan yang dengan kesederhananya ternyata masih bisa berbagi dengan orang lain.
Sahabat, tak akan ada yang berakhir dengan sia-sia terhadap sutau kebaikan. Karena kebaikan akan berakhir pula dengan kebaikan. Hidup ini bukanlah soal berapa banyak yang bisa kita dapatkan, tapi berapa banyak yang bisa kita berikan.
Rangga Prayuda
<rangga_prayuda@yahoo.co.id>
http://www.resensi.net

Hidup, Semangat dan Perjuangan

Ketika dalam perjalanan pulang setelah mengikuti kegiatan rutin, di samping kiri aku melihat seorang bapak mengendarai sepeda motor dengan gerobak disampingnya. Nampaknya dia sudah selesai berjualan dan hendak pulang.
Awalnya, aku tidak peduli….sampai aku melihat sesuatu yang menurutku ganjil.
Oh Tuhan…Kakinya tidak menapak pada “pancatan” (aku ga tahu apa namanya) sepeda motor. Kakinya hanya menggantung kecil ….kira2 hanya berjarak 40cm dr pangkal pahanya. Diujung kaki itu, dikenakan sebuah sepatu yg bagus..bersih…dan arah sepatu itu terbalik…ujung jari yg seharusnya ke depan…ini justru ke belakang.
Sejenak aku merasa miris. Aku kagum dengan semangat bapak itu. Walau keadaannya seperti itu, dia tetap semangat bekerja. Dia tidak meminta-minta. Dia tidak berpakaian kusut supaya dikasihani, tp justru berpakaian rapi dan bersepatu. Dan dia bekerja sampai semalam ini (pkl 21.30)
Aku terus menatap bapak itu sampai hilang dr pandanganku….
Aku merenung. Adakah aku lebih semangat dr bapak itu? Aku lebih sempurna secara fisik. Lebih banyak hal yg bisa aku lakukan. Tapi sampai seberapa mampu aku mengolah segala yang aku miliki. Sering kali aku memoles diri supaya dikasihani…menempatkan diri sebagai sosok yang menderita..memiliki persoalan hidup terberat…memasang muka masam…dan putus asa untuk berusaha.
Tapi…seorang bapak yang tidak kukenal …malam ini telah mengajar aku … bahwa apapun keadaan diri kita, jgn kita berputus asa. Semua ada jalan…asal kita mau berusaha. Teruslah bersemangat.. Tampilah sebagai orang yang pantas dihargai..bukan dikasihani.
Terima kasih Tuhan…

by;Lia Krisna
http://www.resensi.net/hidup-semangat-dan-perjuangan/2010/02/21/#more-651

Pudarnya Pesona Cleopatra

engan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalam kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal.

�Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo dulu,� kata ibu.


�Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan untuk
memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu�, ucap beliau dengan nada mengiba.


Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku menuruti
keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi mentari pagi
dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku.


Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai. Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang baby face dan anggun.


Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama sekali.
Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, �cantiknya alami, bisa jadi bintang iklan Lux lho, asli ! kata tante Lia. Tapi penilaianku lain, mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan bibir yang merah.

Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia.


Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari
pernikahan datang. Duduk dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta, Pestapun meriah dengan emapt group rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas baktiku pada ibuku yang kucintai.

Rabbighfir li wa liwalidayya!


Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya.

Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan kepura-puraanku. Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota Malang.

Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing. Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja.

Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang tamu atau ruang kerja.

Aku merasa hidupku ada lah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia.

Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama, karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab � tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah tangga� Ada kekagetan yang kutangkap diwajah Raihana ketika kupanggil �mbak�, � kenapa mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa mas sudah tidak mencintaiku� tanyanya dengan guratan wajah yang sedih.

�wallahu a�lam� jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca

Raihana diam menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk
kakiku, �Kalau mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad nikah?

Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa mas diam saja, aku harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku didunia ini�.

Raihana mengiba penuh pasrah. Aku menangis menitikan air mata buka karena Raihana tetapi karena kepatunganku. Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap melayaniku menyiapkan segalanya untukku.
Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai dirumah habis maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi,

Memang aku berangkat pagi karena ada janji dengan teman. Raihana memandangiku dengan khawatir. �Mas tidak apa-apa� tanyanya dengan perasaan kuatir. �Mas mandi dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih� lanjutnya.

Aku melepas semua pakaian yang basah. �Mas airnya sudah siap� kata Raihana.

Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri didepan pintu membawa handuk. �Mas aku buatkan wedang jahe�

Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan.

Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. � Mas masuk angin.

Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa, pakai balsam, minyak putih, atau jamu?� Tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar.

�Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membantu Mas�.

� Biasanya dikerokin� jawabku lirih.

� Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana kerokin� sahut Raihana sambil tangannya melepas kaosku.

Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengerokin
punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus. Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur.

Kulihat Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal
Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin menangis, Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadis mesir titisan Cleopatra.

Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku untuk makan malam di istananya.� Aku punya keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan aku perkenalkan denganmu� kata Ratu Cleopatra. � Dia memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu�.
Aku mempersiapkan segalanya. Tepat puku 07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk di kursi yang berhias berlian.

Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba � Mas, bangun, sudah jam setengah empat, mas belum sholat Isya� kata Raihana membangunkanku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa.

� Maafkan aku Mas, membuat Mas kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya� lirih Hana sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam.

Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi
semakin tidak suka sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku.

Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya.

Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.

� Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng, tidak enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak datang� Suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe.

Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja.
� Maaf..maaf jika mengganggu Mas, maafkan Hana,� lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak meninggalkan aku di ruang kerja.

� Mbak! Eh maaf, maksudku D..Din..Dinda Hana!, panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan.

� Ya Mas!� sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil �dinda�. Matanya sedikit berbinar.

�Te..terima kasih Di..dinda, kita berangkat bareng kesana, habis sholat dhuhur, insya Allah,� ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan.


Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar dibibirnya.

� Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar dinda siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?�
.
Hana begitu bahagia.

Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya.

Tapi wajah tidak sukanya belum pernah. Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini., Tapi, setetes embun cinta yang kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan Cleopatra itu? Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri di dunia ini.


Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana membawa sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga.

�Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam keluarga! Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia mertua dan bundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. Matanya berbinar-binar bahagia.

Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut pasangan ideal.

Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan terbaik
dikampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal? Ideal bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik meneteskan rasa bahagia.

Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Raihana.
Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku.

Aku sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan.
� Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu� kata ibuku.

� Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami. Bukankah begitu, Mas?� sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku tergagap dan mengangguk sekenanya.


Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri.

Raihana hamil. Ia semakin manis.

Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya� Mana tanggung jawabmu!� Aku hanya diam dan mendesah sedih. � Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta� gumamku.


Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan ke enam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya. Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan,

� Mas untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal, no.pinnya sama dengan tanggal pernikahan kita�
.

Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari Aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan segalanya. Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di Mesir.


Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itu terlintas dihati andaikan ada Raihana, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar.

Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat sholat subuh.


Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. Apalagi aku
mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa arab. Diantaranya tutornya adalah professor bahasa arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan beliau tentang mesir. Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa arab dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani.

�Apakah kamu sudah menikah?� kata Pak Qalyubi.
�Alhamdulillah, sudah� jawabku.
� Dengan orang mana?.
� Orang Jawa�.
� Pasti orang yang baik ya. Iya kan?

Biasanya pulang dari Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?�
.
�Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran�.
� Kau sangat beruntung, tidak sepertiku�.

� Kenapa dengan Bapak?�

� Aku melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang�
.
� Bagaimana itu bisa terjadi?�.

�Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dank arena terpesona dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya begini, Saya seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Disana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil, orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya lulus dengan predikat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari Indonesia.


Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantik itu. Saya bersumpah tidak akan menikah dengan siapapun kecuali dia.

Ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua.


Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini, sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al Azhar yang hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari pada dengan YAsmin yang awam pengetahuan agamanya. Tetapi saya tetap teguh untuk menikahinya.

Dengan biaya yang tinggi saya berhasil menikahi YAsmin. Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir.

Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S1 saya kembali ke Medan, saya minta agar asset yang di Mesir dijual untuk modal di Indonesia. Kami langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota Medan. Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok orang tuanya.

Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan YAsmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah.

Saya minta Yasmin untuk berhemat. Tidak setiap tahun tetapi tiga tahun sekali Yasmin tidak bisa. Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak terpenuhi.

Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai muncul
penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan.

Jika saya pengin rending, saya harus ke warung. YAsmin tidak mau tahu dengan masakan Indonesia.

Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan namanya.
Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak penderitaan saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta YAsmin untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya. Sepupunya mendapat suami orang Mesir.

Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit.

Batin saya menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya yang bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia mengajak ke Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak tragedy yang menyakitkan. �

Aku menyesal menikah dengan orang Indonesia, aku minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali dengan lelaki Mesir�.

Kata Yasmin yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya sudah meninggal.

Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak satupun keluarganya yang membelaku.

Rupanya selama ini Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita bohong. Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua bulan yang lalu saya mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengan temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang�.

Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku, tak terasa sudah dua bulan aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun.

Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala didindingnya. Apa yang sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi melahirkan.

Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya.

Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke took baju muslim, aku ingin membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang tabungan, yang disimpan dibawah bantal. Dibawah kasur itu kutemukan kertas Merah jambu.

Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku serong. Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu.

Dan Rabbi�?�ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa.

Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Dan ya .. Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.    

�Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal hamdu ya Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok kedalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba� tulis Raihana.

Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa
�Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita jiwa ini kehadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku.

Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku.

Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakannya.



Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau�.

Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang luar biasa.

Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angin sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku.

Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta Raihana yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat dimata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi Cintaku dengan Raihana.

Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku. Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu-sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis. �

Mana Raihana Bu?�. Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telah terjadi.

� Raihana�istrimu. .istrimu dan anakmu yang dikandungnya� .

� Ada apa dengan dia�.

� Dia telah tiada�. � Ibu berkata

�APA!�.

� Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu.

 Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhionya�
.
Hatiku bergetar hebat. � kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?�.

�Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang untuk menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama pelatihan.

Dan ketika Raihana meninggal kami sangat sedih, Jadi Maafkanlah kami�
.

Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia telah tiada. Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya.

Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira.


Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru dikuburan pinggir desa. Diatas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana hidup kembali.
Dunia tiba-tiba gelap semua ��.



Habiburrahman El Shirazy




eBook by : aquasims jowo.jw.lt