Cari Blog Ini

Jumat, 24 Agustus 2012

WANT YOU


“maafkan aku fi, aku menyukai Priscilla. Aku mendekatimu supaya aku bisa kenal dengannya. Maafkan aku...”

Sudah 1 tahun berlalu tapi perkataan Jun masih teringat jelas dalam pikiranku. Setelah hubungan yang kami jalin selama 5 bulan, akhirnya ia mengaku bahwa ia berpacaran denganku hanya supaya ia bisa dekat dengan kakakku Priscilla. Pertama kali aku mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya aku memang merasa sangat jengkel. Aku seperti manusia bodoh, mudah di bohongi dan di sakiti.

Namun sekarang aku bukan lagi seorang perempuan berseragam putih abu-abu yang terkenal labil. Aku sudah menjadi mahasiswi dan aku harus bangkit dari keterpurukanku dalam masalah percintaan. Sedangkan kakakku Priscilla kini tengah menjalani praktek di rumah sakit Kasih Bunda yang terkenal.

Dari lahir aku tidak pernah akrab dengannya, apalagi karna masalah Jun aku jadi semakin membencinya. Dia selalu merebut pria yang dekat denganku sejak SMP. Tak terlukiskan rasa kekesalanku pada Kak Silla. Aku layaknya bom waktu yang dapat meledak kapan saja, terlebih jika menyangkut hal yang berurusan dengan kakakku.

“Fi, tolong kasih bekal makan siang ini ke kakak kamu ya. Kampus kamu kan searah sama rumah sakit Kasih Bunda.” Mama menyodorkan rantang makanan itu kepadaku. Tapi aku tidak segera mengambilnya. Melihat rantangnya saja membuat hatiku panas, apalagi memberikannya pada nenek sihir itu.

Aku melirik sekilas rantang makanan tak berdosa itu. “Ngga ah ma! Aku ga mau! Mama suruh mas Jono aja yang anterin ke kakak. Lagian aku nanti bisa telat masuk kelas kalau harus mampir dulu ke rumah sakit.” Sangkalku.

“Gak bisa Fi, mas Jono mau servis mobil. Udah nih pokoknya mama ga mau tau kamu harus kasih ini sama kakak kamu, titik!” mama menarik tanganku dan menyangkutkan genggaman rantang itu kedalam telapak tanganku dengan paksa.

Hahhh...benar-benar hari yang menyebalkan! Keluhku dalam hati.

Sesampainya dirumah sakit aku langsung memasuki ruang praktek kerja kakakku tanpa permisi. Tapi beberapa saat aku mencari-cari sosoknya rupanya ia tidak ada. Yang aku lihat hanya seorang pasien sedang berbaring di ranjang dengan matanya yang diperban.

Ia terbangun dari posisi rebahannya dan bersandar di punggu ranjang. “Dokter Silla, apa itu kau?” aksen bicaranya seperti orang barat, bahasa Indonesianya pun terdengar kurang fasih.

“Mmm...ma-maaf aku bukan Dokter Prisicilla, aku kemari hanya ingin mengantarkan bekal makan siang ini untuknya. Maaf ya, aku permisi dulu.” Jawabku seperti orang salah tingkah. Aku meletakkan rantang itu dengan kasar dan bersiap pergi dari sana.

“wait up!” sahutnya membuatku menghentikan langkahku yang tergesa-gesa.

“what else?” aku menoleh ke arahnya dan menengok jam tangan dengan gelisah.

“who are you?” tanyanya dengan nada datar dan dingin.

“i’m Fioren, Priscil’s little sister. Sorry, i have to go now. Bye.” aku langsung mengaktifkan langkah seribu untuk mengejar waktu yang sangat mepet untuk sampai ke kampus.

Oh My God! Bisa telat nih!
###

Dengan selamat sentosa aku sampai kelas tepat waktu, tetapi selama jam kuliah berjalan hatiku tidak tenang. Aku gelisah dan terus memikirkan pasien laki-laki yang ada di kamar praktek kakakku itu. Konyol sekali, tapi aku ingin bertemunya lagi. Rasa penasaranku ini tak dapat terbendung, dengan nekat sepulang kuliah aku pun memutuskan untuk datang ke tempat kakakku.

“eh Fi, mau kemana? Kita ga jadi nonton?” ujar Gisel. Ia memperhatikanku yang sedang merapihkan buku seperti orang kebakaran jenggot.

“aduh..jangan sekarang deh Gis! Gue ada urusan nih, besok aja ya. Byee..” seruku seraya meninggalkan kelas dan melambaikan satu tangan pada temanku Gisel.

Tiba-tiba.. BAAAMM!!

“aduduh...awhh...” erangku kesakitan. Tubuhku jatuh terduduk ke lantai dan buku-buku yang ku pegang berhambur berantakan. Tak lama aku melihat guliran tangan yang seolah berkata “mari, aku bantu kau berdiri.”

“maaf, aku tidak sengaja. Mari, aku bantu kau berdiri.” Aku meraih genggaman tangan itu lalu menyibakan debu yang menempel di celana panjangku.

“sekali lagi aku minta maaf.” Katanya lagi. Pria ini tampan sekali... pujiku dalam hati.

“ah, ya tidak apa-apa.” Ucapku sambil menorehkan senyum sekenannya. Aku baru ingat bahwa aku ingin ke tempat praktek kakakku. Ya ampun, kalau jam segini pasti ia sudah pulang. Dengan terpaksa aku mengurungkan niat untuk pergi kesana.

“ini..” Laki-laki itu mengulurkanku buku-buku yang tadi berserakan kepadaku.

Aku mengernyitkan dahi dan menatap matanya sepintas. “t-terimakasih, maaf aku sudah menabrakmu.” Pria ini...sepertinya aku mengenalnya? Aku kembali memperhatikan wajahnya dengan seksama. Memandang wajahnya-membuang pandanganku-memandang wajahnya-membuang pandanganku... Aku ingat orang ini!

“oya, aku harus buru-buru pulang untuk menyiapkan makan malam. Bye.” Aku tau orang ini, karena itu aku mencari alasan ingin “menyiapkan makan malam” lalu segera pergi dari hadapannya. Ya, walaupun sebenenarnya aku tidak bisa memasak, tapi itu satu-satunya alasan yang melintas di otakku.

Pria itu menahan aku. Ia menarik pergelangan tanganku. “jangan pergi Fioren, aku harus menjelaskan sesuatu padamu.”

Jun, apa lagi yang kau inginkan dari diriku? Tidak puaskah kau telah menyakitiku? Kenangan masa lalu seakan muncul kembali ke permukaan. Aku sungguh tidak menginginkan ini terjadi. Tapi, tak kupungkiri aku masih menyimpan rasa terhadapnya.

Kami pergi ke suatu restauran yang begitu asri dan indah pemandangannya. Aku tidak tau tempat apa ini. Aku tidak tau kemana ia membawaku. Yang aku tau sekarang aku berada di sebuah daerah pegunungan. Sudah 3 tahun aku tidak bertemu dengannya semenjak kelas 1 SMA karena aku meminta pada mamaku untuk pindah sekolah, dan selama itu juga aku bisa lihat penampilannya berubah dari yang dahulu.

Sekarang ia terlihat lebih tinggi dan rambut spikenya kini berubah dengan poni menyamping yang menutupi sebagian keningnya. Tidak salah kalau aku pernah jatuh cinta padanya, meskipun ia hanya mempermainkanku tetapi aku tidak menyesal.

“mm.. Fio, apa kau masih memendam kebencian padaku?” tuturnya membuka pembicaraan di tengah kesunyian kami.

“hanya saat kau mengatakan bahwa kau menyukai kakakku.. hanya saat itu aku membencimu..” ucapku tanpa menatapnya dan melemparkan pandangannku pada pegunungan yang diselimuti kabut tebal.

“aku datang menemuimu karna aku ingin mengatakan suatu hal yang dulu tidak sempat aku sampaikan..” wajahnya nampak pucat pasih karna gugup. Jun menelan ludahnya dan berusaha memandangku.

“setelah aku menyatakan perasaanku pada kakakmu, ia menolakku. Dan ketika itu aku sadar bahwa aku benar-benar menyukaimu. Dulu aku tidak bersyukur telah mendapatkan wanita sepertimu. Karena itu, sekarang... aku sungguh minta maaf kepadamu Fi, aku ingin kau kembali menjadi wanita-ku.” Ia menatapku dengan wajah memelas dan kening yang berkerut sedih.

Aku tidak peduli lagi. Aku sudah melupakannya. Aku meninggalkan Jun dari tempat makan itu. Aku tidak tahan mendengar kata-katanya. Aku ingin bersama dengannya, tapi entah mengapa ada sesuatu yang mendorongku untuk tidak menerimanya lagi.
###

Sepanjang malam aku hanya berbaring di atas tempat tidur dan membenamkan wajahku ke dalam bantal. Aku terus mengingat-ingat pria itu. Bukan Jun, tetapi pria yang ada di kamar praktek kakakku. Tapi sepertinya pria itu kenal dekat dengan kak Priscil? Karena hanya orang-orang tertentu saja yang memanggilnya dengan sebutan “Silla”. Yaa...mungkin itu pacarnya? Gumamku.

Tiba-tiba saja terdengar ketukan pintu yang membuyarkan andai-andaiku. “Ren, kakak boleh masuk?” seru suara itu. “Ren” adalah panggilan masa kecilku yang diberikan oleh Kak Silla.

“ya.” Jawabku bermalasan-malasan. Kakaku yang paling tidak aku sukai mulai memasuki kamarku. Ia berjalan ke arahku dan duduk di sampingku. “Ren, kamu yang anter makan siang tadi ke tempat praktek kakak ya?”

“iya.” Aku hanya menjawab sekenannya tanpa menoleh padanya.

“mmm...terimakasih ya Ren. Ini ada sesuatu untuk kamu.” ia mengeluarkan sebungkus bingkisan dari belakang tangannya. Sebuah kotak kado berwarna pink bermotif love lengkap dengan pitanya yang juga berwarna pink. Aku berpikir ini tidak mungkin hadiah dari kak Silla. Kak Silla yang melihatku tanpa reaksi akhirnya menjelaskan asal-usul tentang hadiah itu. “ini dari seseorang untuk kamu Ren. Dia ingin memberika hadiah ini untuk kamu. Coba bukalah dulu.”

Perlahan aku mulai melepas pitanya dan membuka tutup kado tersebut. Aku sungguh dibuat terkejut oleh hadiah dari orang itu! Sebuah kotak musik dengan lapisan warna emas dan putih yang berukuran sedang, serta terdapat seorang wanita dan pria yang berdansa dengan anggun di atasnya. Lalu aku memutar katup kotak musik itu... dan... melantunlah lagu klasik yang begitu indah. Lagu ini... aku kenal lagu ini! Lagu klasik favoritku! Atau bisa dibilang satu-satunya lagu klasih yang aku tau dan aku suka saat pertama kali mendengarkannya yaitu Nocturne no.2 in E-Flat Major, op.9 no.2 oleh Frédéric Chopin versi dari Vladimir Ashkenazy.

Lantunan merdu denting piano yang keluar dari speaker kotak musik itu membawaku terhanyut ke dalamnya. Hatiku terasa tentram, seperti ada ketenangan di balik lagu ini. Lagu ini mampu membuatku tersenyum dan bersedih pada waktu yang bersamaan.

“hadiah itu pemberian seseorang. Dia berharap kamu menyimpannya Ren.” Kalimat yang diucapkan kak Silla membuatku tersadar. Aku masih tidak mengerti apa maksud orang itu memberikan hadiah ini untukku, tapi yang pasti aku tidak akan menolak kado indah ini.

“ya. Sampaikan terimakasihku kepadanya.” Hanya itu yang bisa aku katakan, untuk saat ini aku belum ingin tahu siapa yang memberikan bingkisan berharga ini.
###

Sesuai janjiku pada Gisel karna kemarin tidak bisa nonton dengannya, seusai jam kuliah kami pun pergi ke mall dan menonton film. Gisel mengajakku makan di American Grill tetapi sekarang aku sedang tidak selera makan makanan barat. Ketika kedua mataku menangkap keberadaan stand food yang menjual makanan Jepang sederahana kesukaanku Okonomiyaki, aku pun segera melesat ke sana dan membelinya.

“enak kan Gis? Makanya jangan makan makanan barat melulu! Coba makan makanan dari kebudayaan lain juga dong, apalagi Okonomiyaki dari Jepang ini.” Pamerku pada Gisel sambil terus melahap makanan itu dengan sumplit yang begitu tipis dan sedikit membuatku kerepotan.

“iya iya kali ini kamu menang Fi! Aku akuin ini enak banget.” Balas Gisel yang juga tidak berhenti memakan makan itu dan sesekali menyeruput Blue Iced-nya.

Tanpa kami sadari seseorang telah berdiri di hadapan kami. Ia terus menatapku dan tiba-tiba ia menaruh sekotak Okonomiyaki lainnya di atas mejaku. “ini, makanlah yang banyak. Okonomiyaki adalah hidupmu, bukan? Bahkan dulu saat kecil kau pernah merengek kepada kakakmu dan memarahinya karna ia tidak membelikanmu makanan itu.” lalu pria itu melangkah pergi dengan santai sambil memasukan kedua telapak tangannya ke dalam saku celana panjangnya.

Aku terbelalak dibuatnya. Bagaimana bisa orang asing seperti dia tau tentang masa kecilku?! Ketika aku terbangun dari lamunanku, aku langsung berlari mengejar ke arah pria itu tadi berjalan namun aku tidak menemukannya. Dia sepertinya sudah pergi.. tapi siapa dia? Ujarku dalam hati.

Gisel yang mengejarku mati-matian akhirnya mendapatkanku. “heh Fi cepet banget sih larinya! Aku hampir kehabisan nafas nyusul kamu, tau?!”

Siapa laki-laki tadi? Tapi sepertinya tidak asing...

Aku sudah tidak tahan dengan semua ini. Aku ingin penjelasan! Setelah mengantar Gisel kerumahnya aku segera membalikan stir mobil ke arah tempat praktek kakak ku bekerja. Aku merasa dia tau akan hal ini. Aku merasa dia punya andil atas keanehan yang terjadi padaku belakangan ini.

Dengan langkah berdebum aku menuju ke sana. Entah mengapa hatiku sekarang seperti air mendidih, aku takut emosiku meluap ketika mengetahui semuanya. Aku takut aku menyesal karena telah datang ke sini.

Akhirnya aku tiba di depan pintu kamar praktek kakak ku. Aku menyentuh gagang daun pintu itu dan bersiap mengayunkanya ke bawah, tapi niatku terhenti saat mendengar percakapan yang sedang teruntai dari dalam ruangan.

“aku sudah memberikan hadiah itu kepadanya. Ada lagi yang ingin kau sampaikan untuknya?” suara kak Silla begitu jelas terdengar. Apa hadiah yang dia maksud adalah kotak musik itu?!

“tidak perlu. I just met her, dan itu sangat menyenangkan. I saw her face was full of questions of who i am saat aku memberikan Okonomiyaki kepadanya and mengatakan kejadian masa kecilnya dulu about that food.” Ujar orang itu sambil terkekeh. Apa?!

“apa? Kau berani sekali! Why don’t you just tell the truth?” balas kak Prisicilla.

“i don’t have such courage to say.” Kali ini suara pria itu melemah dan terdengar putus asa.

“aku yakin adikku pasti akan menerimamu.” Aku tidak sabar lagi! Dengan perasaan yang kacau aku memasuki ruangan tersebut. Dan terpampanglah pemandangan yang tidak mengenakan kedua mataku. Kakaku sedang berpelukan dengan pria itu! Aku hanya berdiri mematung menyaksikannya. Air mataku bahkan tidak dapat keluar, tetapi di dalam, hatiku menjerit. Tenggorokanku tercekat sehingga tak ada sepatah katapun keluar dari mulutku. Aku tidak tau mengapa kejadian yang ku liat ini begitu menyakitkan padahal aku tidak mengenal pria itu.

Aku melangkah pergi dari sana dengan keadaan tubuh yang agak limbung dan kepala yang berkunang-kunang. Kaki ku melemah, seluruh syarafku seperti terhenti yang alhasil membuatku jatuh pingsan.

seseorang sepertinya menggendongku? Aku bisa merasakan nafasnya yang tersengal-sengal, di dalam pelukannya aku merasa nyaman. Aku juga bisa mendengar denyut jantungnya yang berdetak cepat, ia nampaknya begitu khawatir dengan keadaanku. Aku ingin sekali melihat orang ini, tetapi mataku tidak dapat terbuka...
###

Aku tidak tau sudah pingsan selama berapa jam, tetapi yang pasti sekarang mataku seperti menempel dan aku kesulitan membuka kelopak mataku. Namun usahaku yang gigih membuahkan hasil yang manis. Ketika mataku sudah benar-benar terbuka, yang aku lihat hanya kak Prisicilla yang duduk di sisi kiri ranjang tempat aku terbaring dan seorang pria yang sedang terlelap di sisi satunya sambil... menggengam tanganku?!

“Fioren, kamu sudah sadar?!” kak Priscil tersentak melihat aku yang sudah siuman. Ia langsung mengecek keadaanku secara seksama menggunakan stetoskopnya. “kamu baik-baik saja bukan? Maafkan kakak Ren,” sambung kakakku itu. Karena reaksi kak Priscil yang cukup menghebohkan pria itu pun terbangun dari tidurnya.

Fioren, you’re awake? are you all right?” cara pria itu mencemaskanku terasa tidak aneh bagiku. Aku justru merasa bahagia akan kekhawatirannya. Tapi, siapa dia?

“siapa kau?” aku tidak yakin suaraku akan terdengar jelas karena kerongkonganku sedikit sakit ketika bersuara.

“Fioren, dia Daniel... dia teman kakak saat di panti asuhan dulu.” Sela kak Priscill. Dia nampak pucat saat mengucapakan kata-kata itu.

“panti asuhan? Apa maksudmu?!” aku sengaja menaikan intonasi pembicaraan. Jadi selama ini Priscilla adalah kakak angkatku?

“mama dan papa berencana untuk tidak pernah mengatakan hal ini kepadamu, tetapi aku tidak bisa menyimpan rahasia akan siapa diriku selamanya karena kelak kau pasti menyadarinya.” Wanita yang kukenal sebagai kakak kandungku menghentikan kalimatnya sejenak, ia menghela nafas dan melanjutkannya. “saat dulu kau masih kecil sekitar umur 7 tahun kau dan orangtuamu datang ke panti asuhan untuk menjemput aku, tetapi kau begitu marah dan tidak setuju, kau berlari sampai ke tengah jalan dan sebuah mobil hampir menabrakmu, syukurlah itu tak terjadi. Dia... Daniel teman sebayaku yang menyelamatkanmu. Kau pingsan dan Daniel menggendongmu dengan tergopoh-gopoh, tapi Daniel tidak menyerah. Namun ketika kau sadar, kau menangis sangat keras begitu melihat Daniel. Sejak saat itu Daniel terpukul atas sikapmu. Ia me...”

let me tell the rest Silla. Aku menyukaimu Fioren, karena terlalu menyukaimu akhirnya aku memutuskan pergi dari kehidupanmu. Kebetulan aku juga mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah di Amerika dan aku mengambil kesempatan itu sekaligus untuk melupakanmu. Selama 11 tahun aku tinggal di sana tetapi tidak kunjung menemukan pengganti dirimu, setiap malam aku selalu terbayang wajahmu yang ketakutan saat melihatku... aku sangat merindukanmu dan ingin bertemu tapi aku tidak mau membuatmu menangis...” Daniel menghentikan ceritanya. Ia tertunduk lurus menghadap lantai rumah sakit. Aku bisa mendengar suaranya yang serak seakan tak sanggup melanjutkan cerita masa lampaunya yang memilukan.

Tubuhku bergerak dengan sendirinya. Perlahan langkah kakiku menghampiri pria yang di sapa Daniel itu. Aku tidak lagi menangis ketika melihatnya, tetapi justru aku sangat bahagia. Aku tidak tau apa yang dulu telah terjadi sehingga aku bersikap begitu kejam terhadapnya. Aku tidak mengerti mengapa aku tidak bisa mengingatnya. Tapi kini semua sudah jelas. Inikah sebabnya mengapa aku sangat ingin bertemu dengannya sejak pertama kali bertemu dia? Maafkan aku Daniel...

Aku menyentuh pundak laki-laki itu dan berkata. “maafkan aku Daniel... aku janji tidak akan menangis lagi karena melihatmu, justru sekarang aku sangat bahagia...”

Daniel menengadahkan kepalanya dan menatapku tak percaya. Ia berdiri dan mendekapku ke dalam pelukannya. “thank you Fioren.”
###

Keesokan harinya mama dan papa menjelaskan bahwa dulu aku sempat menderita amnesia anterograde dan retrograde secara bersamaan. Aku tidak mampu mengingat kejadian sebelum hampir tertabrak mobil dan tidak dapat mengingat kejadian setelahnya karena trauma parah. Aku tercengang mendengarnya. Karena itu kah aku sampai melukai perasaan Daniel?

Di tengah-tengah keheningan kamarku yang hanya dihiasi oleh lantunan musik klasik pemberian dari Daniel handphone-ku berdering dengan nyaringnya. Aku melirik layar hape itu dan melihat sebuah nomer yang tidak ku kenali.

Aku menempelkan benda kecil itu ke telinga. “siapa ini?”

“ini aku Jun, Fioren.. tolong jangan matikan telfonnya.” Pinta suara itu dari sebrang dengan nada lemah lembut.

“ada apa lagi?” jawabku sekenannya.

“aku ingin bertemu denganmu. Besok aku jemput sehabis jam kuliah.” Kemudian sambungan telfon itu terputus begitu saja. Dasar seenaknya! Kau pikir siapa dirimu?!

Pria menyebalkan! Gerutuku dalam hati.

Besok hari setelah jam kuliah berakhir aku bergegas meninggalkan ruangan supaya tidak bertemu Jun. Namun harapanku tampaknya tidak terkabul. Ia sudah menungguku di depan pintu dengan beberapa wanita yang kelihatan sedang mengaguminya. Dasar wanita-wanita bodoh!

“aku cuma ingin bertemu denganmu untuk terakhir kalinya Fioren. Jadi aku mohon kau jangan kabur seperti waktu itu.” ucapnya kemudian menarik pergelangan tanganku dan memasuki mobil.

“kita mau pergi kemana? Aku ada janji dengan seseorang jadi jangan lama-lama.” Ujarku ketus tanpa memandangnya.

“tidak lama, aku juga ada janji dengan seseorang kok.” Balasnya

Beberapa saat kemudian tibalah kami di sebuah... Bandara?! Aku tidak tau apa yang sedang direncanakan oleh Jun. Tetapi aku rasa ini akan sangat mengejutkan.

Tiba-tiba Jun menunjuk ke suatu arah sambil berkata. “ah itu dia! Ayo Fioren!” ia kembali menarik tanganku dengan cukup keras dan membuatku sedikit tidak nyaman namun aku tak dapat mengelaknya. Kami berjalan mendekati seseorang yang sedang berdiri tegap menghadap ke arah luar jendela transparan yang besar.

“hai Daniel!” sahut Jun dengan semangatnya. Apa yang dia katakan barusan?! Daniel?! Pria yang di panggil Jun sebagai ‘Daniel’ itu pun membelokan badannya dan perlahan berhadapan dengan aku dan Jun. Ini benar-benar suatu surprise yang tak terduga! Aku tak dapat bergerak dan mematung di samping Jun. Bagaimana mungkin?! Apa dunia sesempit ini?! Jun mengenal Daniel?!

“Fioren... k- kau? Kau kenal dengan Jun?” Daniel mengucapkan kalimatnya dengan sedikit terbata-bata. Aku rasa dia juga sama shocknya seperti aku.

Jun tertawa terbahak-bahak melihat kekikukkan yang menimpa kami. Ia tertawa dengan lepasnya dan membuatku jengkel seolah ia meledekku! “kenapa kau tertawa?!” bentakku padanya yang seketika menghentikan tawanya.

Jun meraih tangan kananku dan ia juga meraih tangan kiri Daniel. Ia meletakkan tangan Daniel di atas punggung tanganku dan menyatukannya. “tetaplah bersama sampai maut memisahkan kalian. Sudah waktunya aku untuk kembali ke Amerika. Daniel, jaga Fioren dengan baik! Itu perintahku. Selamat tinggal semuanya.” Jun, pria itu menyunggingkan seulas senyum manis sesaat sebelum meninggalkan kami berdua. Aku tidak percaya bahwa ini sungguh pertemuan terakhir antara aku dan dia.

Aku berlari mengejarnya dan memeluknya dari belakang. Ia menghentikan langkahnya dan membalas pelukanku. “terimakasih untuk semuanya Fioren. Aku senang bisa mengenalmu.” Jun memegang pundakku dan mengendurkan dekapannya. Ia terus berjalan sampai aku tak dapat lagi melihatnya.

Aku rasa baru saja beberapa tetes air mata berjatuhan membasahi pipiku. Aku menghapusnya tetapi semakin banyak linangan air mata yang keluar. Lalu aku merasakan seseorang mengegam erat bahuku. Ia membelai rambutku dan menciumnya dengan lembut. “don’t cry, i’ll always be by your side
###

2 tahun kemudian...

Hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan bagi keluargaku, terutama kakak angkatku yang sudah kuanggap seperti saudara kandung sendiri yaitu Kak Priscilla. Ia merayakan pesta pernikahannya dengan pasangan yang juga seorang dokter keturunan barat bernama Fritz, sedangkan aku menjadi pengiring pengantin untuk kakakku.

Aku berharap suatu hari nanti aku dapat menyusul kakakku bersama Daniel. Tetapi aku rasa aku harus menundanya karena Daniel sekarang sedang melanjutkan study S2-nya di Amerika. Ia berjanji setelah semua urusannya selesai kami akan segera menikah dan aku menunggu akan hal itu. Seharusnya sejak 1 minggu yang lalu dia sudah kembali ke Indonesia, namun tidak ada kabar darinya. Aku sedikit kecewa dan cemas akan sikapnya belakangan ini. Aku takut ia memiliki wanita lain di sana dan membatalkan rencananya denganku.

“hei, Fioren! Kenapa tidak ikut dengan yang lainnya untuk memperebutkan buket bunga pernikahan kakak!? Siapa tau kau yang mendapatkannya dan bisa segera menyusulku.” Ucapan kak Silla yang cukup kencang membuatku malu. Aku sebenarnya tidak ingin ikut berpartisipasi dalam hal ini, tapi yasudahlah...

Saat kak Silla menghitung dari 1 sampai 3 ia langsung melemparkan buket bunga itu ke belakang tepat ke arah para undangan yang hadir dan berebutan untuk mendapatkannya.
“will you marry me Fioren?” perkataan seseorang itu membuatku yang sedang meneguk segelas sirup stroberri tersentak.

Aku menoleh ke arah suara itu. Aku melihatnya! Daniel datang! Ia dengan buket bunga yang dilempar tadi oleh kakakku! Ia berlutut dengan satu kaki dan mempersembahkan buket bunga itu. Tanpa ragu aku meraihnya dan berkata. “yes, of course!” aku melompat kegirangan lalu memeluk Daniel. Ia memberikan kejutan yang membuatku tak bisa berkata-kata sedikitpun.

Dalam pelukan Daniel, dari kejauhan aku melihat sebuah mobil sedan hitam di depan gerbang rumah. Pria itu memakai kacamata hitam, ia tampak sedang memperhatikan kearah ku, sadar jika aku mengetahui keberadaannya ia lalu melajukan mobilnya dan pergi dari sana.

Aku dan Daniel berdansa dengan diiringi musik klasik favoritku. Kami berdansa dengan anggun layaknya patung pria dan wanita di kotak musik pemberian Daniel.

Jun, aku sangat bahagia...

Aku harap kau juga merasakan kebahagian seperti aku...

DE END


TWITTER : @bellajusticee
FB : Bella Justice

Sebening Cinta Embun



Cerpen Cinta Romantis
Embun. Aku memanggilnya embun. Titik – titik air yg jatuh dari langit di malam hari dan berada di atas dedaunan hijau yang membuatku damai berada di taman ini, seperti damai nya hatiku saat berada disamping wanita yang sangat aku kagumi, embun.

“ngapain diam di situ, ayo sini rei…” teriakan embun yang memecahkan lamunanku. Aku lalu menghampirinya, dan tersenyum manis dihadapan nya.

“gimana kabarmu embun?”

“seperti yang kamu lihat, tak ada kemajuan. Obat hanyalah media yang bertujuan memperparah keadaanku. Dan lihat saja saat ini, aku masih terbaring lemah dirumah sakit kan?”, Keluhnya.

“obat bukan memperparah keadaanmu, tapi mencegah rasa sakitnya. Embun,, kamu harus optimis ya”.

“hei rei, aku selalu optimis. Kamu nya aja yang cengeng. Kalo jenguk aku pasti kamu mau nangis,, iya kan? Udahlah rei,,, aku udah terima semua yang di takdirkan Tuhan,, dan saatnya aku untuk menjalaninya, kamu jgn khawatir, aku baik-baik aja kok”. Benar kata embun, aku selalu ingin menangis ketika melihat keadaannya. Lelaki setegar apapun, pasti akan sedih melihat keadaannya, termasuk aku.
***

Sudah 2 minggu tak kutemui senyum embun di sekolah. Sangat sepi yang aku rasakan. Orang yang aku cintai sedang bertaruh nyawa melawan kanker otak yang telah merusak sebagian hidupnya. Apa? Cinta? Apakah benar aku mencintainya??? Entahlah,, aku hanya merasakan sakit di saat melihat dia seperti ini. ya Tuhan, izinkan aku menggantikan posisinya. Aku tak ingin melihat wanita yang aku sayangi terbaring lemah di sana. Tolong izinkan aku.

Seperti biasa, aku menyempatkan diri setelah pulang sekolah untuk pergi menjenguk embun di rumah sakit.

“hai embun,, bagaimana kabarmu?”

“sudah merasa lebih baik di bandingkan hari kemarin. Gimana keadaan sekolah kita?”

“baik juga. Cuma… ada sedikit keganjalan.”

“keganjalan apa rei?”

“karena di sana tak kutemukan senyummu embun….”

“ada ada aja kamu rei,,, hahaha. O iya, kata dokter, besok aku udah di izinin pulang lho. Aku senang banget. Kamu bisa kan jemput aku di sini”.

“apa? Serius?” tanyaku kaget dan senang juga.

“sejak kapan aku bisa bohong sama kamu. Aku serius reivan algibran. Hehehhe”.

“gak perlu sebut nama lengkapku embun azzula,, aku percaya kok”. Senang sekali bisa melihat senyum dan tawamu embun,,, bathinku.

***
Waktu terasa cepat berlalu, karena sekarang aku sudah berada tepat di depan pintu kamar embun. Aku mengetuknya dan…” pagi embun,,”

“pagi juga reivan,, gimana, kamu dah siapkan antar aku kemanapun aku mau…?”

“siap tuan putri,, aku selalu siap mengantarmu kemanapun engkau mau. Heheheh”

“ok,, sekarang aku pengen ke taman. Tempat kita pertama kali bertemu rei,, kamu bisa antar aku ke sana kan?”.

“siip, berangkat”.

Taman ini menjadi tempat favorit kami. Sedih, suka, marah akan kami lontarkan di tempat ini. Tempat yang penuh dengan bunga-bunga yang kami tanam dari nol. Ya, taman ini karya kami. Taman yg terletak tepat di belakang gedung sekolah. 1 petak tanah yg tak pernah tersentuh oleh tangan manusia, ntah apa alasan mereka. Tanah yg tandus, bunga yg layu telah kami sulap menjadi taman cinta yang begitu indah, yang di tumbuhi bunga2 kesukaan kami. Sejak embun di rawat di rumah sakit, aku tak pernah mengunjungi taman ini, walaupun dekat dengan sekolahku.

“rei, kenapa semua bunga di sini layu,, apakah tak pernah kamu rawat?”. Tanyanya. Apa yang harus aku jawab,, aku tau, dia pasti marah.

“mereka layu karena tak ada embun di sini”. jawabku seadanya.

“embun? Bukannya tiap pagi selalu ada embun yg membasahinya?”

“tak ada yg lebih berarti selain embun azzula bagi tanaman ini, termasuk aku”. Jelasku yg membuat dia terdiam sesaat.

“maksud kamu?”, dia menatapku dalam.

“tak ada,, mereka cuma butuh embun azzula yg merawatnya, bukan embun biasa dan aku. Mereka kesepian, karena sudah 2 minggu tak melihat senyum dan tawamu embun”.

“ya, aku menyadarinya itu. Sahabat,,, maafin embun ya,,, maaf selama ini embun gak bisa merawat sahabat serutin kemarin. Itu karena kesehatan embun yg semakin berkurang. Dulu embun bisa berdiri sendiri, sekarang embun harus menggunakan tongkat, kursi roda dan bahkan teman. Teman seperti rei, yg bisa memapah embun. Thanks y rei..”

“eh,, ii iya, iya embun, sama sama.”

Sudah seharian kami di sini,, tanpa di sadari embun terlelap di pangkuanku. Menetes airmataku ketika melihat semua perubahan fisik yg terjadi padanya. Wajahnya yg pucat, tubuhnya yg semakin kurus, dan rambutnya yg semakin menipis, membuat aku kasihan. Kenapa harus embun yg mengalaminya? Tapi aku juga salut, tak pernah ada airmata di wajahnya. Dia sangat menghargai cobaan yg diberikan Tuhan kepadanya, dia selalu tersenyum, walaupun sebenarnya aku tau, ada kesedihan dibalik senyum itu.

“rei…” desahnya

“ia embun. Kamu dah bangun ya? Kita pulang sekarang yuk,,, “ ajakku ketika dia sadar dari mimpinya.

“aku mau di sini terus rei,, kamu mau kan nemenin aku. Aku mau menunggu embun datang membasahi tubuhku. Sudah lama sekali aku tak merasakannya”.

“tapi angin malam gak baik buat kesehatan kamu”.

“aku tau, tapi untuk terakhir kali nya rei,,, pliss…”.

“maksud kamu apa? Aku gak mau dengar kalimat itu lagi”.

“gak ada maksud apa-apa,,, kita gak tau takdir kan. Dah ah,, kalo kamu gak mau nemenin aku, gak apa-apa. Aku bisa sendiri”.

“gak mungkin aku gak nemenin kamu embun,, percayalah… aku akan selalu ada untukmu”.

“ gitu dong,, itu baru sahabat aku.” Ucapnya sambil melihat bunga-bunga di sekelilingnya.

“embun…”

“ya,,,”

“kamu suka dengan embun?”

“sangat. Aku sangat menyukainya. Embun itu bening, sangat bening. Dan bening itu menyimpan sejuta kesucian. Aku ingin seperti embun, bening dan suci. Menurutmu bagaimana?”

“aku juga mencintai embun. Mencintai embun sejak mengenal embun”.

“rei, kamu tau… aku ingin seperti embun. Embun yang bisa hadir dan memberi suasana beda di pagi hari. Embun yg selalu di sambut kedatangannya oleh tumbuhan”.

“kamu sudah menjadi embun yg kamu inginkan.”

“maksudmu?”

“tak ada”.

Aku sengaja merahasiakan perasaanku terhadapnya. Karena aku tau, tak ada kata “ya” saat aku menyatakan perasaanku nanti. dia tak mau pacaran, dan dia benci seorang kekasih, ntah apa alasannya.

Jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Embun pun terlelap kelelahan di sampingku.

“embun,,,, embun,,,,,, bangun embun,, sekarang sudah pagi. Katanya mau melihat embun, ayo bangun” pujukku,, tapi tak kudengarkan sahutan darinya.

“ayolah embun, bangun. Jangan terlelap terlalu lama…” aku mulai resah, apa yg terjadi. Kurasakan dingin tubuhnya, tapi aku menepis fikiran negatif ku. Mungkin saja dingin ini berasal dari embun pagi.

“embun sayang,, ayo bangun. Jangan buat aku khawatir”. Lagi lagi tak kudengarkan sahutannya. Tubuhnya pucat, dingin, kaku,,. Aku mencoba membawanya kerumah sakit dengan usahaku sendiri. Dan,,, “ kami sudah melakukan semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkehendak lain. Embun sudah menghadap sang pencipta” itulah kata-kata dokter yg memeriksa embun yg membuat aku bagai tersambar petir. Aku lemah, jatuh, dan merasa bersalah. Kalau tak karena aku yang mengajaknya ke taman, mungkin tak kan seperti ini. Ya Tuhan, kenapa ini terjadi… aku tak sanggup.
***

Beberapa bulan kemudian….
Aku temui surat berwarna biru dan ada gambar embun di surat itu.

Teruntuk reivan alghibran
Embun…
Titik titik air bening yg jatuh dari langit
Dan membasahi kelopak bunga yg aku sukai.
Aku ingin seperti embun, yg bisa hadir di hati orang
Yg menyayanginya. Tapi aku tak menemui siapa orang itu???

Rei … makasih ya, dalam waktu terakhirku, kamu bisa menjadi embun di hatiku. Dan tak kan pernah aku lupakan itu. Rei,, maaf kalau sebenarnya aku suka sama kamu. Aku sengaja tak mengungkapkannya, karena aku tau.. sahabat lebih berharga di banding kekasih.

O ia rei,,, tolong rawat taman kita ya,, aku gak mau dia layu karena tak ada yg memperhatikannya lagi. Karena taman itu adalah tempat pertemuan kita pertama dan terakhir kalinya.
sekali lagi,, makasih dah jadi embun selama aku hidup dan tolong,, jadiin aku embun di hatimu ….

salam manis… embun azzula.

“Embun,,,kamu tau, pertama aku kenal kamu, kamu telah menjadi embun dihidupku, yang menyejukkan hatiku. Dan kamu adalah butiran bening yang selalu buat aku tersenyum, seperti embun yang selalu buatmu tersenyum.

Taman ini, bukan aku yg akan merawatnya, tapi kita. Dan taman ini tak akan pernah mati, karena kamu selalu ada di sini, di sini rumah mu.” Kalimat terakhirku ketika meletakkan setangkai bunga mawar yg aku ambil dari taman di atas pusaranya. Pusara yg terletak di tengah-tengah taman embun. Dan kunamai taman itu dengan nama EMBUN. embun.. yang tak kan pernah mati…


the end

Fb : Novie An-Nuril Khiyar
twitt : @noviepurple19

SALAHKAH BILA AKU MENCINTAMU

Malam itu Rio masih belum terlelap ia masih sibuk mempersipkan surat untuk Dinda besok.

“apapun yang terjadi besok, aku akan terima,, aku ingin ungkapin ini semua, mungkin ini satu-satunya cara agar Dinda mengerti perasaan aku,” gumam Rio dalam hati.


Cerpen Cinta
Dentang jam menunjukkan pukul 24.00, mata Rio belum juga terpejam, ia masih memikirkan apa yang akan terjadi esok hari. Rio mencoba untuk tidur tapi kejadian esok menghantui dirinya hingga pukul 04.00 Rio belum tertidur.

Pagi sudah datang, ayam jago milik tetangga Rio berkokok dengan lantang membangunkan Rio yang baru saja terpejam. Dengan rasa malas, Rio beranjak dari ranjangnya dan bersiap berangkat sekolah.
Sesampai di sekolah, Rio berpapasan dengan Dinda dan genknya di lorong sekolah.
 
“ha…hai Dinda??’’ sapa Rio gugup, Dinda hanya menjawab dengan seutas senyum manis di bibirnya dan berlalu bersama teman-temannya.

“Dinda, apakah aku salah telah menyukai dirimu,, kau adalah gadis paling popular di sekolah ini, sementara aku….” Belum sempat menyelesaikan perkataannya dalam hati, tiba-tiba Sonia datang menepuk pundak Rio.

“hayoo,, liatin sapa tuu sampe nggak kedip dari tadi,, pasti liatin Dinda yaa,” geretak Sonia meledek Rio. Rio hanya tersipu malu mendengar perkataan Sonia, wajahnya memerah dan tangannya berkeringat dingin.

“sudahlah Rio, lupakan saja gadis itu, toh dia juga sudah punya pacar kan???” Sonia mencoba mengingatkan Rio.

“pacar??” Rio terkejut, karena setahu Rio, Dinda masih jomlo setelah putus dengan Edwin.

“kau tak tau, seminggu lalu tepatnya mereka jadian,, pasti kau tak membaca majalah hari ini kan, ini coba saja baca, Dinda berpacaran dengan Niko kakak kelas kita yang menjadi kapten club basket,” kata Sonia sembari menunjuk majalah yang di pegangnya.

“makasih, aku juga telah memikirkan ini berulang-ulang kok’’ jawab rio kecewa, seraya beranjak meninggalkan Sonia. Rio pun berjalan menuju kelasnya, sesampainya di kelas, ia hanya terdiam melamun di bangkunya. Tiba-tiba suara seorang gadis membuyarkan lamunannya, gadis itu adalah Dinda.

‘”permisi semua, ‘’ semua wajah tertuju pada arah suara itu.

“rionya ada kan??’’ lanjut Dinda. Seraya rio langsung berdiri dari bangkunya. (deg-deg-deg) degupan jantung rio menjadi lebih cepat, ia begitu gugup.

“hai rio,, ini ada tugas dari p.hardi untuk kelas mu(Dinda memberikan selembar kertas berisi tugas kepada rio).. hei, kenapa wajahmu pucat sekali, apa kau sakit (Dinda memegang dahi rio)’’

Rio sangat gugup, tubuhnya berkeringat, ia tak mampu berkata apa-apa, ia hanya bisa menatap mata Dinda.

“ya sudahlah, kalo kamu nggak mau jawab, aku balik ke kelas dulu ya..??”

“di… dinda ,??"

“ya, ada apa??’’

“apa nanti jam istirahat kau bisa menemuiku di taman belakang??” pinta rio pada dinda.

“tentu,, aku bisa kok’’ jawab dinda enteng.

(huuufft) rio mencoba menghela nafas, ia mencoba menenangkan hatinya.
Bel istirahat pun berbunyi, rio bergegas keluar kelas menuju taman belakang, sesampai di sana, rio harus menunggu dinda hingga 15 menit lebih.

“kenapa dinda belum datang, apa ia lupa??” gumam rio lirih, tak berapa lama dinda pun datang. Ia menghampiri rio yang sedari tadi duduk di bangku taman.

“dinda??” rio serentak berdiri dari bangku itu.

“iya, maaf ya aku terlambat tadi aku masih….” Belum menyelesaikan perkataannya, rio sudah memotong kata-kata dinda.

“aku ingin memberikan ini” potong rio seraya memberikan sehelai surat untuk dinda.

“apa isi surat ini rio,??” Tanya dinda,

“baca saja” jawab rio menahan semua kegelisahannya. Namun, bukannya dibaca tapi dinda malah membuang surat itu.

“untuk apa aku baca surat ini, sementara penulisnya ada di hadapanku, langsung saja kau katakan rio??” paksa dinda pada rio. Rio tak memikirkan hal ini sebelumnya, saat dinda berkata seperti itu, tubuh rio serasa tersentak. Dia yang awalnya tenang-tenang saja, kini menjadi sangat gugup. Bibirnya sulit tuk berucap, ia hanya tertunduk dan terdiam beberapa saat.
 
“aku,, aku ingin bicara sesuatu pada mu din” rio mulai berkata dengan menahan semua rasa gugupnya.

“katakan saja, aku akan mendengarkannya” jawab dinda seraya tersenyum manis.

“dinda, sebenernya sejak pertama kita ketemu aku udah menyimpan perasaan ke kamu, tapi aku nggak berani ungkapinnya, aku tau aku nggak pantas untuk kamu, aku hanya anak biasa sedangkan kamu adalah gadis paling diidolakan di sekolah ini, aku juga udah pikirin ini mateng-mateng, aku nggak bisa terus memendam perasaanku din, aku sayang sama kamu, aku selalu mencoba jadi yang lebih baik agar kau selalu menatapku dan tersenyum padaku, hingga sekarang aku jadi seperti ini itu karena kamu” ungkap rio.

“rio, kau juga pasti tau kan,, aku sekarang telah punya pacar, terimakasih kau sudah mau menyayangi aku, tapi sungguh aku minta maaf aku nggak bisa balas semua itu” jawab dinda dengan lembut seraya mengangkat dagu rio yang sejak tadi tertunduk.

“aku minta maaf, aku sudah salah, aku memang tak pantas mencintai kamu” kata rio seraya meninggalkan dinda. Dinda merasa bersalah pada rio, dia mencoba memanggil rio tapi, rio tak menghiraukannya.

Dinda pun berjalan perlahan ke kelasnya, tapi kerumunan siswi menghentikan langkahnya. Para siswi itu membicarakannya, mereka berbisik-bisik satu sama lain, tapi dinda hanya melirik sebentar dan melanjutkan langkahnya. Ketika ia melewati kelas XI- IPA dia melihat rio yang sedang tertunduk di bangkunya. Dinda ingin masuk tapi guru sudah datang, ia pun bergegas masuk kelasnya yang berjarak 2 kelas dari kelas rio.

Bel tanda berakhirnya pelajaran hari ini pun berbunyi, lautan putih abu pun bergegas keluar kelas namun mereka tak langsung pulang karena hari itu hujan deras, mereka pun harus menunggu hingga hujan reda meski beberapa anak nekat untuk pulang. Dinda dan rio keluar kelas masing-lasing secara bersamaan. Dinda menghampiri teman-temannya di depan kelas. Tiba-tiba niko menghampiri dinda bersamaan dengan rio. Mereka berdua membukakan payung dan ingin mengantarkan dinda pulang. Tentu saja dinda lebih memilih diantar oleh niko kekasihnya. Dari kejauhan dinda masih melihat rio yang terlihat sangat sedih.

“rio, maafin aku ya,, aku nggak bermaksud nyakitin kamu, semoga kamu bisa ngerti” kata dinda dlam hati kecilnya. Niko membukakan pintu mobil untuk dinda, dan niko pun bergegas masuk mobil. Dari kaca mobil dinda melihat rio yang nekat hujan-hujan, rio membuang payungnya dan berjalan dengan penuh penyesalan. Dinda hanya bisa melihat rio dari mobil, tanpa terasa, dinda meneteskan air matanya untuk rio.

Keesokan harinya rio sakit dan tak bisa bersekolah. Dinda tak mengetahui hal itu. Hingga 5 hari pun berlalu, rio masih terbaring lemah di tempat tidurnya. Dinda yang baru mendengar hal tersebut merasa cemas, pulang sekolah ia pun langsung bergegas menuju rumah rio.

Di sana dinda melihat rio dengan wajah pucat pasi dan terbaring sangat lemah.

“semakin hari, keadaan rio semakin memburuk nak, rio tak mau makan bahkan minum obat saja tak mau, ibu bingung harus bagaimana membujuk rio.” Kata ibu rio.

“tante, apakah siang ini rio sudah makan??” Tanya dinda.

“belum nak, ibu sudah memaksanya tapi dia tak mau membuka mulutnya” jawab ibu rio.

“biar saya yang membujuknya” serentak dinda mengatakan itu tanpa piker panjang.

“rio, kenapa kau menyiksa dirimu seperti ini,??” Tanya dinda seraya memegang tangan rio lembut.

“untuk apa kau kemari din, aku tak pantas untuk kau jenguk, aku sudah tak ada gunanya din, sudahlah cepatlah pulang,” pinta rio serentak melepaskan tangan dinda. Tak berapa lama ibu rio datang membawakan sepiring nasi untuk rio. Dinda langsung berdiri dan mengambil piring itu. Dinda mencoba membujuk rio untuk makan namun rio malah membanting piring berisi nasi itu.

“riio, kau kenapa, kenapa kau seperti ini padaku??’’ Tanya dinda dengan mata berkaca-kaca.

“aku nggak ingin melihat kamu lagi, pergilah dari rumah ini, dan jangan menginjakkan kakimu di sini lagi.’’ Rio membentak dinda.

“jadi kau mengusirku, apa seperti ini rio yang aku kenal, kenapa kau berubah begitu cepat, kalau kau membenciku, btkan seperti ini caranya. Bukan dengan menyakiti dirimu sendiri, kau yang selalu menyemangatiku kenapa sekarang kau kehilangan semangat, kau bukanlah rio yang dulu.” Kata dinda seraya melangkahkan kaki meninggalkan rio yang masih terdiam.

Rio hanya terdiam di atas tempat tidurnya. Keesokan harinya rio memaksakan diri untuk bersekolah, dengan tubuh tertatih-tatih rio berjalan menuju lorong sekolah. Sesampai di kelas, rio di sambut hangat oleh teman-temannya.

“hei rio, kau masih hidup ternyata hahaha,,,!!!” ledek andy teman sebangku rio. Rio hanya tersenyum tipis mendengar ledekan teman-temannya.

“tentu saja rio masih hidup, ia kan masih ingin bertemu wanita pujaannya, makanya hari ini dia bersekolah” sahut ricky,

“hoho,, siapa gadis itu,, setauku rio tak pernah dekat dengan gadis lain selain Sonia” andy terheran.

“rio, apakah kau tak mau menjawabnya sendiri??” seru ricky meledek temannya itu.

“sudahlah, aku tak mau membahasnya, aku ingin sendiri” rio seraya pergi meninggalkan teman-temannya itu. Rio beranjak pergi dari kelasnya, tanpa sengaja rio menabrak seorang gadis, buku gadis itu berhamburan di lantai teras.

“maaf. Maafin aku, aku nggak sengaja” rio meminta maaf kepada gadis itu sambil membantunya merapikan buku-bukunya. Ternyata gadis itu adalah dinda, rio langsung menundukkan kepalanya, dan bergegas meninggalkan dinda.
 
“rio tunggu” panggil dinda.

“ada a..apa.. di..dinda??” Tanya rio terpatah-patah.

“untukmu” dinda memberikan secarik kertas untuk rio. Rio segera menerima kertas itu dan pergi begitu saja.

Di taman rio membaca surat itu.

        Dear rio,
Aku minta maaf, mungkin aku sudah menyakiti hati kamu. Tapi sungguh aku tak bermaksud mempermainkan perasaan kamu. Ketahuilah, sekarang aku telah berpisah sama niko. Dan orang tuaku akan membawaku pergi ke amerika untuk melanjutkan study ku bersama kakak ku. Kamu nggak pernah bersalah kok rio, semua perasaanmu ke aku itu tidak bersalah. Tapi akulah yang bersalah karena tak dapat membalas rasa sayangmu padaku. Mungkin hari ini adalah terakhir kita bertemu. Sebenernya aku tak ingin pergi, tapi tempat ini memberiku banyak kenangan buruk.
Rio jika nanti kau menyukai seoarang gadis lagi, jangan pernah bertindak konyol seperti ini. Aku nggak akan lupain kamu, karena kamu adalah sosok cowok yang bisa membuatku tersenyum.
       
       Dinda,

Setelah membaca surat tersebut, rio langsung beranjak dan berlari menuju kelas dinda. Sesampai di kelas dinda, rio memeluk dinda erat sekali.

“dinda, jangan tinggalin aku, aku mohon” pinta rio dengan tulus.

“rio apa-apaan sih kamu, malu tauk” jawab dinda seraya melepas pelukan rio. Tapi rio masih tetap saja memohon pada dinda, ia berlutut di depan dinda. Rio meneteskan air matanya, dinda pun ikut menangis.

“rio, jangan kau seperti ini, aku tak bisa menuruti kamu. Aku nggak bisa terus di sini, aku harus pergi hari ini juga. Jangan memberatkan aku rio, please” kata dinda seraya membantu rio berdiri.

‘’dinda, aku nggak tau tapi aku nggak bisa maksa kamu buat sayang sama aku, pergilah dinda, mungkin aku nggak pantas bersanding denganmu. Dan sekali lagi, jangan salahkan dirimu sendiri, karena aku yang salah karena telah mencintamu” rio mencoba melapangkan hatinya menerima kepergian gadis yang selama ini dicintainya. Dinda hanya menatap rio dengan seutas senyum manis seperti biasanya.

Tak lama kemudian ayah dinda datang untuk menjemput dinda. Dinda pun segera bergegas untuk berangkat ke amerika. Dinda juga berpamitan kepada rio, dinda mencium dahi rio sebagai tanda perpisahan.

“aku akan kembali” bisik dinda lembut. Rio hanya diam terpaku, ia tak mampu menahan semua perasaannya. Akhirnya dinda pun beranjak dan pergi meninggalkan rio. Tiada sepatah kata dari rio untuk dinda. Rio mencoba sabar menghadapinya.

1 tahun kemudian, rio menjadi anak yang prestasinya menonjol, akhirnya rio mengikuti pertukaran pelajar di amerika selama setengah tahun. Tanpa disadari di sebuah toko buku, rio bertemu dengan dinda saat ia ingin mengambil sebuah buku, tangan mereka secara bersamaan meraih buku itu.

“dinda??... kau dinda kan??” rio terheran.

“rio,?? Kok kamu bisa di sini??” dinda lun juga terheran.

“iya aku ikut pertukaran pelajar selama setengah tahun,, hey bagaimana kabarmu, kau sehatkan” Tanya rio.

“ya seperti yang kau lihat ini”
 
“dinda, soal perasaanku dulu, aku sudah mulai bisa menepiskannya. Aku sadar cinta emang nggak harus memiliki, benarkan din..??”

“yaa, bener banget,, tumben kamu nyadar” ledek dinda. Mereka pun tertawa bersamaan.

Akhirnya mereka pun bersahabat, menjadi sahabat yang sangat akrab. Rio telah mengubur dalam-dalam perasaannya karena ia tahu kalo sampai kapanpun dinda nggak akan bisa sayang padanya, seperti ia menyayangi dinda. Satu hal yang menjadi pelajaran untuk rio, bahwa cinta itu tak bisa dipaksakan, dan tak harus memiliki.
SELESAI
Oleh: Binti Melania

JANJI TERAKHIR


Cerpen Cinta Sedih
Pagi ini dia datang menemuiku, duduk di sampingku dan tersenyum menatapku. Aku benar-benar tak berdaya melihat tatapan itu, tatapan yang begitu hangat, penuh harap dan selalu membuatku bisa memaafkannya. Aku sadar, aku sangat mencintainya, aku tidak ingin kehilangan dia., meski dia sering menyakiti hatiku dan membuatku menangis. Tidak hanya itu, akupun kehilangan sahabatku, aku tidak peduli dengan perkataan orang lain tentang aku. Aku akan tetap memaafkan Elga, meskipun dia sering menghianati cintaku.

“Aku gak tau harus bilang apa lagi, buat kesekian kalinya kamu selingkuh! Kamu udah ngancurin kepercayaan aku!”

Aku tidak sanggup menatap matanya lagi, air mataku jatuh begitu deras menghujani wajahku. Aku tak berdaya, begitu lemas dan Dia memelukku erat.

“Maafin aku Nilam, maafin aku! Aku janji gak akan nyakitin kamu lagi. Aku janji Nilam. Aku sayang kamu! Please, kamu jangan nangis lagi!”

Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi selain memaafkannya, aku tidak ingin kehilangan Elga, aku sangat mencintainya.

Malam ini Elga menjemputku, kami akan kencan dan makan malam. Aku sengaja mengenakan gaun biru pemberian Elga dan berdandan secantik mungkin. Kutemui Elga di ruang tamu, Dia tersenyum, memandangiku dari atas hingga bawah.

“Nilam, kamu cantik banget malam ini.”

“Makasih. Kita jadi dinner kan?”

“Ya tentu, tapi Nilam, malam ini aku gak bawa mobil dan mobil kamu masih di bengkel, kamu gak keberatan kita naik Taksi?”

“Engga ko, ya udah kita panggil Taksi aja, ayo.”

Dengan penuh semangat aku menggandeng lengan Elga. Ini benar-benar menyenangkan, disepanjang perjalanan Elga menggenggam erat tanganku, aku bersandar dibahu Elga menikmati perjalanan kami dan melupakan semua kesalahan yang telah Elga perbuat padaku.

Kami berhenti disebuah Tenda di pinggir jalan. Aku sedikit ragu, apa Elga benar-benar mengajakku makan ditempat seperti ini. Aku tahu betul sifat Elga, dia tidak mungkin mau makan di warung kecil di pinggir jalan.

“Kenapa El? Mienya gak enak?”

“Enggak ko, mienya enak, Cuma panas aja. Kamu gak apa-apa kan makan ditempat kaya gini Nilam?”

“Enggak. Aku sering ko makan ditempat kaya gini. Mie ayamnya enak loch. Kamu kunyah pelan-pelan dan nikmati rasanya dalam-dalam.”

Aku yakin, Elga gak pernah makan ditempat kaya gini. Tapi sepertinya Elga mulai menikmati makanannya, dia bercerita panjang lebar tentang teman-temannya, keluarganya dan banyak hal.
Dua tahun bersama Elga bukan waktu yang singkat, dan tidak mudah untuk mempertahankan hubungan kami selama ini. Elga sering menghianati aku, bukan satu atau dua kali Elga berselingkuh, tapi dia tetap kembali padaku. Dan aku selalu memaafkannya, itu yang membuatku kehilangan sahabat-sahabatku. Mereka benar, aku wanita bodoh yang mau dipermainkan oleh Elga. Meskipun kini mereka menjauhiku, aku tetap menganggap mereka sahabatku.

Selesai makan Elga Nampak kebingungan, dia mencari-cari sesuatu dari saku celananya.

“Apa dompetku ketinggalan di Taksi?”

“Yakin di saku gak ada?”

“Gak ada. Gimana dong?”

“ya udah, pake uang aku aja. Setiap jalan selalu kamu yang traktir aku, sekarang giliran aku yang traktir kamu. Ok!”

“ok. Makasih ya sayang, maafin aku.”

Saat di kampus, aku bertemu dengan Alin dan Flora. Aku sangat merindukan kedua sahabatku itu, hampir empat bulan kami tidak bersama, hingga saat ini mereka tetap sahabat terbaikku. Saat berpapasan, Alin menarik tanganku.

“Nilam, kamu sakit? Ko pucet sich?”

Alin bicara padaku, ini seperti mimpi, Alin masih peduli padaku.

“Engga, Cuma capek aja ko Lin. Kalian apa kabar?”

“Jelas capek lah, punya pacar diselingkuhin terus! Lagian mau aja sich dimainin sama cowok playboy kaya Elga! Jangan-jangan Elga gak sayang sama kamu? Ups, keceplosan.”

“Stop Flo! Kasian Nilam! Kamu kenapa sich Flo bahas itu mulu? Nilam kan gak salah.”
“Udah dech Alin, kamu diem aja! Harusnya kamu ngaca Nilam! Kenapa kamu diselingkuhin terus!”

Flora bener, jangan-jangan Elga gak sayang sama aku, Elga gak cinta sama aku, itu yang buat Elga selalu menghianati aku. Selama ini aku gak pernah berfikir ke arah sana, mungkin karena aku terlalu mencintai Elga dan takut kehilangan Elga. Semalaman aku memikirkan hal itu, aku ragu terhadap perasaan Elga padaku. Jika benar Elga tidak mencintaiku, aku benar-benar tidak bisa memaafkannya lagi.

Meskipun tidak ada jadwal kuliah, aku tetap pergi ke kampus untuk mengerjakan tugas kelompok. Setelah larut malam dan kampus sudah hampir sepi aku pun pulang. Saat sampai ke tempat parkir, aku melihat Elga bersama seorang wanita. Aku tidak bisa melihat wajah wanita itu karena dia membelakangiku. Mungkin Elga menghianatiku lagi. Kali ini aku tidak bisa memaafkannya. Mereka masuk ke dalam mobil, aku bisa melihat wanitaitu, sangat jelas, dia sahabatku, Flora….

Sungguh, aku benar-benar tidak bisa memaafkan Elga. Akan ku pastikan, apa Elga akan jujur padaku atau dia akan membohongiku, ku ambil ponselku dan menghubungi Elga.

“Hallo, kamu bisa jemput aku sekarang El?”

“Maaf Nilam, aku gak bisa kalo sekarang. Aku lagi nganter kakak, kamu gak bawa mobil ya?”

“Emang kakak kamu mau kemana El?”

“Mau ke…, itu mau belanja. Sekarang kamu dimana?”

“El! Sejak kapan kamu mau nganter kakak kamu belanja? Sejak Flora jadi kakak kamu? Hah?!!”

“Nilam, kamu ngomong apa sayang? Kamu bilang sekarang lagi dimana?”

“Aku liat sendiri kamu pergi sama Flora El! Kamu gak usah bohongin aku! Kali ini aku gak bisa maafin kamu El! Kenapa kamu harus selingkuh sama Flora El? Aku benci kamu! Mulai sekarang aku gak mau liat kamu lagi! Kita Putus El!”

“Nilam, ini gak…….”

Kubuang ponselku, kulaju mobilku dengan kecepatan tertinggi, air mataku terus berjatuhan, hatiku sangat sakit, aku harus menerima kenyataan bahwa Elga tidak mencintaiku, dia berselingkuh dengan sahabatku.

Beberapa hari setelah kejadian itu aku tidak masuk kuliah, aku hanya bisa mengurung diri di kamar dan menangis. Beruntung Ibu dan Ayah mengerti perasaanku, mereka memberikan semangat padaku dan mendukung aku untuk melupakan Elga, meskipun aku tau itu tak mudah. Setiap hari Elga datang ke rumah dan meminta maaf, bahkan Elga sempat semalaman berada di depan gerbang rumahku, tapi aku tidak menemuinya. Aku berjanji tidak akan memafkan Elga, dan janjiku takan kuingkari, tidak seperti janji-janji Elga yang tidak akan menghianatiku yang selalu dia ingkari.

Hari ini kuputuskan untuk pergi kuliah, aku berharap tidak bertemu dengan Elga. Tapi seusai kuliah, tiba-tiba Elga ada dihadapanku.

“Maafin aku Nilam! Aku sama Flora gak ada hubungan apa-apa. Aku Cuma nanyain tentang kamu ke dia Nilam!

“Kita udah putus El! Jangan ganggu aku lagi! Sekarang kamu bebas! Kamu mau punya pacar Tujuh juga bukan urusan aku!”

“Tapi Nilam…..”

Aku berlari meninggalkan Elga, meskipun aku sangat mencintainya, aku harus bisa melupakannya. Elga terus mengejarku dan mengucapkan kata maaf. Tapi aku tak pedulikan dia, aku semakin cepat berlari dan menyebrangi jalan raya. Ketika sampai di seberang jalan, terdengar suara tabrakan, dan…………
 
“Elgaaaa…..”

Elga tertabrak mobil saat mengejarku, dia terpental sangat jauh. Mawar merah yang ia bawa berserakan bercampur dengan merahnya darah yang keluar dari kepala Elga.

“Elga, maafin aku!”

“Nilam. Ma-af ma-af a-ku jan-ji jan-ji ga sa-ki-tin ka-mu la-gi a-ku cin-ta ka-mu a-ku ma-u ni-kah sa-ma kam……”

“Elgaaaaaa……”

Elga meninggal saat itu juga, ini semua salahku, jika aku mau memaafkan Elga semua ini takan terjadi. Sekarang aku harus menerima kenyataan ini, kenyataan yang sangat pahit yang tidak aku inginkan, yang tidak mungkin bisa aku lupakan. Elga menghembuskan nafas terakhirnya dipelukanku, disaat terakhir dia berjanji takan menyakitiku lagi, disaat dia mengatakan mencintaiku dan ingin menikah denganku. Dia mengatakan semuanya disaat meregang nyawa ketika menahan sakit dari benturan keras, ketika darahnya mengalir begitu deras membasahi aspal jalanan.
Rasanya ingin sekali menemani Elga didalam tanah sana, menemaninya dalam kegelapan, kesunyian, kedinginan, aku tidak bisa berhenti menangis, menyesali perbuatanku, aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri.

Satu minggu setelah Elga meninggal, aku masih menangis, membayangkan semua kenangan indah bersama Elga yang tidak akan pernah terulang lagi. Senyuman Elga, tatapan Elga, takan pernah bisa kulupakan.

“Nilam sayang, ini ada titipan dari Ibunya Elga. Kamu jangan melamun terus dong! Kamu harus bangkit! Biar Elga tenang di alam sana. Ibu yakin kamu bisa!”

“Ini salah aku Bu. Aku butuh waktu.”

Kubuka bingkisan dari Ibu Elga, didalamnya ada kotak kecil berwarna merah, mawar merah yang telah layu dan amplop berwarna merah. Didalam kotak merah itu terdapat sepasang cincin. Aku pun menangis kembali dan membuka amplop itu.

Dear Nilam,
Nilam sayang, maafin aku, aku janji gak akan nyakitin kamu, aku sangat mencintai kamu, semua yang udah aku lakuin itu buat ngeyakinin kalo Cuma kamu yang terbaik buat aku, Cuma kamu yang aku cinta.
Aku harap, kamu mau nemenin aku sampai aku menutup mata, sampai aku menghembuskan nafas terakhirku. Dan cincin ini akan menjadi cincin pernikahan kita.
Aku sangat mencintaimu, aku tidak ingin berpisah denganmu Nilam.
Love You
Elga

Air mataku mengalir semakin deras dari setiap sudutnya, kupakai cincin pemberian Elga, aku berlari menghampiri Ibu dan memeluknya.

“Bu, aku udah nikah sama Elga!”

“Nilam, kenapa sayang?”

“Ini!” Kutunjukan cincin pemberian Elga dijari manisku.

“Nilam, kamu butuh waktu nak. Kamu harus kuat!”

“Sekarang aku mau cerai sama Elga Bu!” kulepas cincin pemberian Elga dan memberikannya pada Ibu.

“Aku titip cincin pernikahanku dengan Elga Bu! Ibu harus menjaganya dengan baik!”
Ibu memeluku erat dan kami menangis bersama-sama.
*****


By : Efih Sudini Afrilya
facebook : fiehsoed@gmail.com

THE SECRET OF LOVE

“Jika engkau merasakan cinta pada seseorang, katakanlah. Berani. Jujur dan jangan ragu. Tapi, jika tidak, ucapkanlah dengan tegas bahwa engkau tak menyukainya.”
Kata-kata yang selalu terngiang dan telah terpatri di kepalaku sebelum aku bertemu dengan gadis ini. Gadis manis, berwajah mungil dan berlesung pipi. Gadis elok yang telah mencuri hatiku dan menyimpannya, hingga tak dapat aku temukan pecahan hatiku. Gadis yang mampu membuatku tak mampu berkata-kata. gadis yang mampu membuatku tak dapat mengingat kata-kata yang selama ini telah bersarang di kepalaku. Aku tau, mungkin aku sudah gila atau apalah itu. Aku tak ngerti dan tak paham dengan apa yang sedang kualami sekarang. Yang ku tau hanya aku ingin bersama, menggenggam tangannya dan melindunginya. Aku ingin menjadi seseorang yang mampu menjadi penopang hidupnya. Pengobat rasa sedihnya.
Gadis manisku. Aku ngerasa kamu hanya impian yang tak dapat kugapai. Aku ngerasa tangan ini tidak sanggup untuk meraih tanganmu. Seandainya engkau tau, aku disini menunggumu, menantimu untuk mengambil setengah hatiku yang telah kau curi. Aku ingin kau ada disini, menemaniku. Hidup bersamaku di sisa umurku.

Kututup diaryku, sambil terus membayangkan gadis manisku. Kulihat waktu telah larut malam. Beranjak ku menuju tempat tidur. Aku ingin istirahat dan memimpikan gadis itu. Walau hanya mimpi, aku ingin bertemu gadis itu lagi. Mengobrol dan melihat senyumnya yang mampu membuatku terpana. Kupejamkan mata sambil terus dan terus membayangkan wajah gadis manisku. Hingga lelap dan pulas.

* * *
“Satria….. cepat bangun. Kamu tak pergi melukis hari ini????”
Samar-samar kudengar suara mama yang memanggilku. Dengan berat dan perlahan kubuka mata yang terpejam ini. Kucari-cari jam yang biasa kuletakkan di meja samping tempat tidurku. Betapa kagetnya aku ketika jarum jam telah menunjukkan pukul 09.00, yang artinya aku telah terlambat setengah jam untuk memulai aktifitas rutinku. Membantu orang yang ingin memiliki potret diri. Segera aku mempersiapkan diri dan berangkat menuju tempat yang biasa kugunakan untuk melukis.
Hari masih pukul 09.00, namun sinar matahari sangat menyengat. Kususuri jalan yang ramai itu dengan peralatan lukis yang tersampir di pundakku dan sebuah lamunan di sepanjang jalan.
Ya, inilah aku. Satria seorang pelukis jalanan. Seorang pelukis yang kesehariannya hanya untuk melukis orang-orang tanpa dibayar. Kadang aku mendengar orang-orang di sekitarku berkata, untuk apa aku melukis tanpa dibayar, hanya buang-buang waktu aja. Tapi aku senang dan menikmati kehidupanku ini, karna aku sadar hidupku tinggal sebentar lagi. Aku ingin hidupku berguna untuk orang lain. Walaupun aku sadar aku lemah, namun ada sesuatu yanf mampu membuatku semangat menjalani kehidupanku ini.
“Satria.”
Inilah seseorang yang mampu membangkitkan semangatku untuk hidup. Seseorang yang juga mampu menggetarkan hatiku. Tara. Dialah gadis manisku yang hanya menjadi impian dalam hidupku. Tara adalah sahabat kecilku. Dia yang selalu menghibur dan memberikan semangat hidupku. Sebagian masa kecilku, kuhabiskan hanya untuk bersamanya. Aku tidak pernah menyangka, perasaan yang awalnya hanya sebatas sahabat berkembang menjadi rasa cinta yang sangat dalam. Tara tidak pernah tahu perasaanku ini. Aku berusaha menyimpannya rapat. Aku tidak pernah ingin Tara tahu rasa cinta yang tumbuh dalam hati. Aku tak ingin hubungan persahabatan ini hancur hanya karna cinta. Aku tak pernah ingin jauh darinya, karna hanya dia penopang hidupku.
Kulihat Tara berjalan menghampiriku sambil melambaikan tangannya yang mungil. Di sampingnya berjalan pula seorang pria yang menggandeng tangannya. Donny. Pria yang berarti dan berharga baginya. Pria yang juga aku kenal sebagai salah satu teman satu jurusannya. Dia pria yang baik dan menyayanginya sepenuh hati, aku senang Tara mendapat pria seperti dia.
“Hai…., Sat. Boleh tidak kami minta kamu buat melukis kami berdua????? Aku suka sekali sama lukisanmu.”, rengek Tara.
“Bener Sat. Aku dengar kamu jago banget melukis. Pasti keren sekali ntar hasilnya.”, kata Donny menambahkan.
“Kalian itu tak usah memujiku seperti itu, nanti aku bisa jadi besar kepala.”, jawabku.
“Baiklah. Aku akan lukis kalian sebagai hadiah dariku kar’na kalian baru jadian. Ayo duduk di kursi itu. Aku akan mulai melukis.”, lanjutku.
Mereka pun menuju kursi yang aku sediakan. Rasanya ingin menangis dan berteriak sekencang-kencangnya melihat gadis manisku dipeluk pria lain. Ingin sekali aku merebutnya dari tangan pria itu dan memeluknya. Namun, segera kutepis semua pikiran itu jauh-jauh dan mulai melukis. Pertama kalinya aku merasa sakit dan perih sekali saat melukis, biasanya tak pernah sekalipun rasa ini melingkupiku saat aku melukis. Biasanya aku melukis dengan gembira dan senyuman. Karna aku cinta melukis. Akhirnya lukisanku selesai.
“Gimana lukisannya?????”, Tanya Tara sambil menghampiriku.
“Bagus sekali. Kamu selalu cantik sekali walau hanya dalam lukisan.”, gumamku.
“Apa Sat?? kau bicara apa barusan??? Aku tak dengar.”, tanyanya.
“Kalian pasangan yang serasi.”, jawabku sambil tersenyum pada mereka.
“Terima kasih.”, ujar mereka berbarengan.
* * *
Sejak hari itu, aku tak pernah bertemu Tara. Dia selalu sibuk dengan pacar barunya. Aku tak kan bisa marah, kar’na setiap kali aku lihat senyumnya saat bersama Donny, aku akan bahagia. Aku telah memutuskan. Aku ingin menjauh darinya. Aku ingin menjaga hatiku. Setiap kali aku melihatnya dari jendela kamarku, aku selalu ingin memeluknya sambil mengucapkan betapa besar rasa cintaku untuknya. Aku harus pergi dari sini. Aku akan menuju tempat dimana aku tak bisa bertemu lagi dengannya. Aku ingin lari dengan kenyataan ini. Aku akan membawa penyakitku bersamaku.
1 TAHUN KEMUDIAN
Mentari sangat hangat, seperti hatiku sekarang. Kicau burung yang indah juga telah membangkitkan semangatku. Ya. Disinilah aku. Di tempat yang paling indah yang pernah aku kunjungi. Tempat yang mampu mengembalikan semua semangat hidupku. Pulau Lombok. Pulau yang memiliki keindahan alam yang indah dengan pantai yang terbentang luas. Tinggal selama 1 tahun disini, membuatku merasa semua kepenatan, kesedihan dan keterpurukan hilang diterpa ombak.
“Den Satria……. Ada telpon dari teman Anda.”, teriak Mang Ujang. Seorang pria tua yang membantuku sejak aku tinggal disini.
“Dari siapa Mang?”, tanyaku.
“Kalau tak salah, dari emm….. Tara. Oiya, dari Non Tara. Katanya teman Anda di Jakarta.”, jawabnya.
Aku kaget. Hancur sudah pertahanan hatiku saat ini. Gadis manis yang kuputuskan untuk kulupakan dengan tinggal disini meneleponku. Aku terima gagang telepon yang Mang Ujang sodorkan padaku. Aku takut. Aku takut banget.
“Halo.”, sapa seseorang di seberang sana.
Aku tak tau mesti gimana. Aku ingin membuang telepon ini, tapi aku juga rindu pada pemilik suara ini. Akhirnya aku tersadar bahwa seseorang di seberang sana sedang menunggu jawaban dariku.
“Halo, Tara.”, jawabku.
“Ha….. benar ini kau Satria. Satria temanku. Satria pelukis jalanan.”, ujarnya dengan semangat.
“Benar. Selama kau masih punya satu nama Satria dalam hidupmu selama aku tinggal jauh darimu.”
“Aku rindu kau, Sat.” ujarnya lagi.
Betapa kagetnya aku. Ternyata gadis manisku merindukanku. Saat ini rasanya aku sedang menembus awan dengan seekor burung rajawali yang kuat dan kekar. Jantungku seakan meloncat, hingga aku tak dapat menahannya.
“Aku juga rindu kau, Tara. Sangat rindu.”, jawabku.
“Kapan kau kembali kesini Sat??? Aku membutuhkanmu. Aku sendirian disini. Aku ingin kau ada disini.”, ujarnya sambil terisak.
“Kau bohong, Tara. Kau telah memiliki seseorang yang selalu ada dan setia menjagamu. Bukankah selalu ada Dony disampingmu??, jawabku.
“(menangis). Dony sakit, Sat. Sekarang dia lagi bertahan untuk hidup. Dia membutuhkan donor jantung. Aku takut, Sat. Hanya kamu yang bisa menyemangatiku saat ini. Aku butuh kamu.”
Aku kaget luar biasa. Aku tak bisa membayangkan gadis manisku terpuruk saat ini. Bagaimana dia bisa melanjutkan hidupnya tanpa orang yang dia sayang. Tiba-tiba aku merasa kepalaku mulai sakit yang luar biasa. Sakit yang benar-benar menyiksa. Gagang telpon pun terlepas dari genggaman tanganku. Aku merasa tubuhku mulai terkulai dengan lemah. Samar-samar aku masih mendengar suara Tara memanggilku di seberang sana.
KEESOKAN HARINYA
Aku bingung. Saat ku buka mata, aku hanya melihat sebuah ruangan yang semua dindingnya tertutup kain putih. Mataku mulai mencari-cari ke sudut-sudut ruangan. Kupaksakan untuk mengucapkan kata “mama”. Tapi yang keluar hanya sebuah gumaman yang tak jelas. Lelah dan letih memanggil, aku pun diam dan hanya menunggu.
5 menit kemudian, aku mendengar suara pintu yang berderit. Aku melihat seorang suster yang mulai berjalan mendekatiku. Dia kaget melihatku telah sadar. Kupaksakan untuk mengeluarkan suara.
“Mama.”, ujarku dengan lirih.
“Anda ingin bertemu dengan Mama anda??”, ucap suster itu.
“Mama.”
Suster itupun keluar ruangan. Sesaat setelahnya aku melihat seorang wanita yang sudah paruh baya sedang menangis sambil berjalan mendekatiku.
“Mama.”
“Satria. Kau tidak apa-apa, Nak?”
“Aku rindu Mama.”
“Aku juga rindu kau.”
“Ma, jangan menangis. Aku sedih melihat Mama seperti ini.”
Kulihat Mamaku mulai membersihkan air mata di kedua matanya. Tampak kesedihan dan ketegaran di matanya. Sakit sekali. Aku merasa lebih sakit melihat Mamaku seperti ini daripada rasa sakit akibat penyakitku ini. Aku mulai terisak. Aku ingat semua pengorbanan yang telah Mama lakukan untukku. Pengorbanan yang seharusnya menjadi tanggung jawab dua orang. Aku ingat ketika Mama dengan sabar merawatku ketika kecil. Aku ingat ketika Mama menyemangatiku. Aku ingin selalu bersamamu Mama. Aku tidak ingin berpisah darimu. Aku sayang kamu, Mama. Maafkan aku Ma. Aku telah merahasiakan penyakitku ini darimu. Aku ingin selalu melihatmu tersenyum. Senyumanmu adalah obat yang paling aku harapkan di dunia ini. Maafkan aku Ma. Aku harus pergi meninggalkanmu.
“Satria. Kenapa kau berbuat begini pada Mama, nak. Apa kau tidak menyayangi Mama lagi? Kenapa kau tidak memberi tahu Mama tentang penyakitmu?”
Aku kaget.
“Dari mana Mama tahu hal itu?”
“Jadi semua itu benar, nak? Kau benar-benar sakit selama ini? Dan selama ini pula kau tidak memberitahu Mama?”
“Ma, maafkan aku. Aku tak ingin melihat Mama sedih. Aku sayang banget sama Mama.”
Tiba-tiba, aku merasakan sakit yang luar biasa lagi. Dan rasa sakit ini lebih menyakitkan daripada waktu itu. Aku berteriak kesakitan. Mama kaget dan segera berteriak memanggil Dokter. Aku masih mendengar suara tangisan Mama. Tangisan yang pilu. Di tengah rasa sakitku, aku ingat Tara. Aku rindu dia. Aku ingin bertemu dengannya.
“Ma.”
“Apa, nak? Apa yang kau rasakan saat ini?”
“Ma. Maukah Mama melakukan sesuatu untukku. Tolong berikan jantungku untuk Dony. Dia kekasih Tara, Ma. Walaupun aku mati, aku ingin tetap bisa bersamanya. Tolong katakan juga padanya kalau aku sangat mencintai dia.”
“Tidak, Sat. Kau tidak akan mati dan tidak akan pernah mati. Kau tidak akan meninggalkan Mama sendirian kan? Mama tak bisa hidup sendiri, Sat. Mama butuh kau disamping Mama.”
“Ma. Tolong aku. Aku ingin bisa berguna walaupun aku sudah mati. Apa Mama ingin aku tidak bahagia disana?”
“Sat. Kenapa kau berkata begitu. Mam tak tega mendengarnya. Tapi kalau itu keinginanmu, baiklah, Mama akan mengabulkan permohonanmu.”
“Terima kasih Ma. Aku sayang Mama.”
Pelan-pelan kututup mataku. Kurasakan hatiku mulai sejuk. Aku merasa terbang dengan damai, bahagia dan ketenangan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku terbang tinggi dan semakin tinggi. Aku melihat keindahan yang sangat luar biasa. Keindahan yang akan kekal selalu. Keindahan yang abadi.




Jember, 16/06/2011
06.44 WIB

KENANGAN YANG HILANG

Cerpen Kenangan
Cerpen karya Natania Prima Nastiti
Hujan turun saat aku sampai di Bandara Soekarno Hatta. Aku duduk di kursi tunggu, menunggu Papa menjemputku. Sekitar sejam lebih aku menunggu. Aku juga tampak bosan. Akhirnya kuputuskan untuk berjalan keliling Bandara. Saat akan berdiri, tiba-tiba ada yang memegang pundakku. Aku langsung berbalik badan. Kulihat lelaki seumuran denganku tersenyum ramah kepadaku. “Mbak Vega ya?” tanyanya ramah. Kemudian aku mengangguk menjawab pertanyaan itu. “Saya supirnya Pak Broto, maaf lama menunggu, Jakarta macet, Mbak. Mari saya anter ke mobil” ucapnya lagi. Kemudian lelaki itu berjalan duluan kearah parkiran diikuti denganku.

Sesampainya di rumah, Mama dan Papa menyambutku dengan gembira. Bukannya aku tidak senang, tapi kali ini aku benar-benar capek. Perjalanan Amerika-Jakarta cukup membuatku lelah. Duduk berjam-jam membuatku ingin segera berbaring di kamar. Mama dan Papa mengerti dan segera mengantarku ke kamar tidurku dulu. Kemudian mereka segera pergi dan menyuruhku istirahat penuh. Kulihat kamarku ini tidak berubah. Hanya sprainya saja yang berubah warna. Tiba-tiba, aku ingat lagi wajah lelaki yang mengaku supir Papa itu. Umurnya padahal sama denganku, tapi kenapa dia malah bekerja? Apa dia tidak kuliah? Tapi kenapa? Apa dia tidak punya uang?, aku terus bertanya-tanya dalam hati.

Tiba-tiba saja aku melihat lelaki itu dari dalam kamar. dia sedang ada di halaman samping rumahku. Tawa lelaki itu... mengingatkanku pada seseorang saat kecil dulu. Tapi siapa? Apa mungkin aku saja yang terlalru berlebihan? Kenapa juga aku melihat lelaki itu? Tidak menarik sama sekali! Ucapku dalam hati. Kemudian aku menutup gorden jendela kamarku dan berbaring di kasurku yang empuk. Tiga bulan lagi aku akan kembali ke Amerika. Hemm, waktu itu terasa sangat singkat. Aku masih kangen sekali dengan Indonesia. Aku pun memejamkan mata dan tidur.

Dua bulan berlalu dengan begitu cepat. Aku dan supirku, yanf bernama Roni, kini juga semakin dekat. Ternyata Roni ini orang yang sangat asik untuk diajak ngobrol. Dia berilmu pengetahuan yang luas. Bahkan ada yang aku tidak tahu, tapi dia tau. Semakin lama aku mengenalnya, semakin nyaman aku ada disampingnya. Setiap dekat Roni, aku merasa memang sudah kenal dekat dengannya. Sampai akhirnya, aku tahu bahwa aku jatuh cinta pada supirku sendiri. Tapi aku merasa aku tidak salah menyukainya. Karena aku selalu merasa dekat dengannya dari dulu. Jauh sebelum aku di Amerika. Ada apa ini?

Hingga malam itu, Roni pamit pulang kampung karena ibunya sakit keras. Karena bosan di rumah, akhirnya aku meminta orangtuaku mengijinkan aku ikut dengan Roni ke kampungnya. Aku ingin menikmatik pemandangan disana. Karena Roni bilang, di kampungnya masih banyak hamparan sawah. Tadinya Mama tidak mengijinkanku. Dia takut aku kenapa-napa. Tapi, setelah aku bilang Roni akan menjagaku, akhirnya Mama setuju. Aku pun akhirnya ikut Roni ke kampungnya.

, tapi ak

Sekitar jam lima pagi aku sudah sampai dikampungnya Roni. Baru jam lima saja, banyak penduduk yang sudah beraktifitas. Kebanyakan petani sudah mulai turun ke sawah. Benar sekali. Kampung Roni benar-benar indah pemandangannya. Mataku ini disajikan pemandangan alam yang luar biasa. Tiba-tiba aku teringat, sepertinya dulu aku pernah melihat pemandangan seperti ini. Setelah kupikir-pikir, mungkin itu hanya bayanganku saja.

Rumah Roni, sama dengan rumah penduduk lainnya. Tidak kecil dan tidak besar. Saat disuruh menemui ibunya, aku lebih memilih untuk duduk di teras rumahnya. Adik perempuan Roni segera membuatkan minuman untukku.

“Mbak ini siapa?” tanya adik Roni itu. “Saya majikannya Roni”jawabku ramah. Adik Roni hanya berOh kemudian masuk ke dalam rumahnya. Roni bilang hanya seminggu kita disini. Sebenarnya, aku ingin sekali berlama-lama disini tapi, itu tidak mungkin. Roni tidak bisa meninggalkan kuliah dan pekerjaannya. Aku juga tidak mungkin meninggalkan Mama dan Papa. Tujuanku kembali ke Indonesia kan bukan untuk ini. tujuanku untuk oragtuaku. Tapi sekarang, aku malah meninggalkan mereka lagi. Tapi tidak apa-apa, walau begitu aku senang berada di kampung Roni ini.

Setelah beberapa hari disini, aku jadi semakin akrab dengan Roni. Dia mengajakku bertani, mengambil air di sumur, memeras susu sapi dan lain-lain. Aku juga semakin terbiasa dengan pekerjaan itu. Melihat Roni.. aku kembali melihat masa kecilku yang.. aku juga sebenarnya tidak ingat dengan masa kecilku dulu. Tapi sepertinya, aku sudah tidak asing lagi dengan semua ini. Roni, ibunya, kampung ini, kegiatan-kegiatan ini.. benar-benar tidak asing bagiku. Aku sendiri juga bingung dengan apa yang kurasakan. Apa sebenarnya ini? tanyaku dalam hati.

Sekarang adalah hari terakhirku dan Roni ada di kampung ini. malamnya, Roni mengajakku ke suatu tempat. Tempat itu.. juga tidak asing bagiku. Danau dengan berjuta kunang-kunang ini, sangat jarang ditemukan di Jakarta. Malah aku yakin, tidak ada tempat seindah ini di Jakarta. Kemudian Roni membawaku ke sebuah pohon yang besar. Pohonnya terlihat sudah berumur. Disana ada tulisan Roni Dan Vega Forever. Aku terkejut dengan ukiran tulisan itu. Aku tidak pernah mengukir nama itu di pohon. Sama sekali tidak pernah. Tapi, kenapa ada tulisan itu? Namaku dan Roni? Ada apa sebenarnya ini?

Kemudian Roni mengajakku duduk di sebuah batu besar. Roni memulai percakapan.

“Kamu tau kenapa ada tulisan nama kita di pohon itu?”tanyanya sambil menunjuk kearah pohon besar tadi. Aku hanya menggeleng bingung.

“Dulu.. waktu kita kecil, kamu pernah tinggal disini. Pak Broto adalah juragan sawah disini. Sawah yang kamu liat itu.. sebenarnya kebanyakan punya kamu. Saat kamu SMA, kamu dan keluargamu pindah ke Jakarta. Mungkin Pak Broto ingin anak semata wayangnya ini sekolah sebaik mungkin. Makanya dia pndah ke Jakarta” jelas Roni. Aku semakin bingung dengan penjelasan Roni.

“Waktu kita SMP, kita ngukir nama kita di pohon itu. Dan di tempat inilah pertama kita bertemu dan berpisah. Aku yakin, aku mikir kampung ini tidak asing lagi bagi kamu kan? Karena kamu pernah ada disini” sambung Roni. Aku hanya menganga kaget mendengar ucapan Roni.

“Tapi, kenapa aku nggak bisa nginet masa kecil itu? Kampung ini emang nggak asing lagi bagi aku, tapi aku nggak bisa inget tempat ini, Ron” tanyaku bingung pada Roni. Roni tersenyum padaku.

“Waktu kita kelas tiga SMP, sesuatu terjadi sama kamu. Kamu kecelakaan dan dokter bilang, kamu nggak bisa nginget masa yang udah dulu banget. Aku sedih banget, Ga. Karena aku itu kan masa lalu kamu dulu. Apalagi saat aku tau ternyata kamu sekolah di Amerika. Saat itu.. aku bener-bener ngerasa kehilangan kamu. Sampai akhirnya aku ke Jakarta dan kerja di rumah kamu. Disana aku selalu liat foto-foto kecil kalu. Mama kamu juga majang foto saat kita berdua. Kita berpelukan sambil tertawa. Kita bahagia waktu itu” jawab Roni tersenyum bahagia.

Aku mulai ngerti dengan semua ini. roni.. pantes saja aku sudah tidak asing lagi dengannya. Ternyata.. dialah teman baikku sejak kecil. Kemudian aku tertawa. Mengingat betapa culunnya pasti aku saat mengukir tulisan di pohon itu. Kita berdua masih belum mengerti sama sekali apa arti tulisan itu.

“Setelah pindah, aku juga ngerasa ada yang hilang, Ron. Sampe sekarang pun, aku nggak pernah pacaran sama orang lain. Karena aku belum nemuin cinta aku. Tapi... setelah dekat kamu, ternyata aku nyaman. Dan ternyata.. kamu cinta aku, Ron” ucapku malu-malu. Kemudian Roni memelukku. Pertama aku kaget dengan pelukan itu. Tapi, pelukan itu yang selama ini aku nantikan.

Dua bulan lebih, aku berada di Jakarta. Setelah pulang dari kampung, aku menceritakan semuanya pada Mama dan Papa. Mereka berterima kasih pada Roni karena telah mengingat kembali masa yang telah hilang dari ingatanku. Akhirnya mereka bersedia menanggung biaya kuliah Roni dan menyuruh Roni fokus pada kuliahnya saja. Biaya berobat ibuya juga ditanggung denga orangtuaku. Aku dan Roni juga semakin dekat.

Hingga akhirnya, aku harus kembali ke Amerika. Sedih hatiku meninggalkan semuanya termasuk Roni. Sahabat baikku dari kecil itu... aku harus meninggalkannya. Tiba-tiba aku merasa separuh hatiku hilang lagi. Meninggalkan Roni.. bukan ini yang ku mau. Tapi apa dayaku? Meninggalkannya memang sudah harus kulakukan. Aku sendiri yang meminta meneruskan study di Amerika.

Roni dan kedua orangtuaku mengantar aku sampai Bandara Soekarno Hatta tempat pertama kali aku bertemu Roni dulu. Tangisan sudah pasti menghiasi suasana hari itu. Aku juga memeluk Roni. Aku benar-benar tidak ingin berpisah darinya. Tapi.. yasudahlah.

“Nanti kita ketemu lagi kan?” tanyaku pada Roni.

“Pasti! Aku janji sama kamu, aku nggak akan khianati cinta kita berdua” jawab Roni sambil membelai rambutku. Kemudian aku memeluk Roni lagi. Maaf Roni, untuk ingatan lupaku padamu dulu, ucapku dalam hati sambil menitikkan air mata.

Dua tahun di Amerika, aku jadi benar-benar kangen sama Roni. Kira-kira sedang apa dia disana? Akhirnya aku putuskan untuk menulis surat padanya. Berharap dia akan cepat membalas surat kangenku ini padanya.

Dear My Love,

Roni

Kamu apa kabar disana? Aku harap kamu baik-baik aja ya.

Ron, sumpah aku kangen banget sama kamu. Aku harus nunggu dua tahun lagi supaya bisa ketemu kamu, Ron. Kamu belum ingkarin janji kamu kan? Janji yang bilang kamu nggak akan khianati cinta kita. Aku disini akan selalu sabar nunggu waktunya tiba. walaupun, saat awan disini kelabu dan disana terang, aku pasti akan selalu ingat kamu. Dan walaupun tanah yang kita pijak berbeda, kita akan tetap bersama kan?

I miss you so Roni. Jaga kedua orangtuaku ya.

Love you
Vega

And I
I want to share
All my love with you
No one else will do…
And your eyes
They tell me how much you care
You will always be
My endless love..

Glee-My Endless love

Sabtu, 16 Juni 2012

Kenangan Terindah Dari Sahabat Tercinta


“Ini ini stilus dan riglet untuk mu, bisa kau gunakan untuk menulis Braille”, Aku hanya terperanjat kaget meraba benda yang tiba-tiba sudah ada di tanganku. Aku meraba angan, kenapa Dian tiba-tiba memberiku ini?, siapa gerangan pemilik benda ini?, kenapa Dian mempunyai alat ini sedangkan dia tidak sepertiku?. Rasa penasaranku dengan benda yang diberikan Dian semakin bertambah saat aku meraba benda yang ia berikan. “Pakai saja, ini milik ibuku dulu sebelum beliau menyusul ayahku di sana. Beliau berpesan agar alat ini dapat dipakai oleh orang yang aku sayangi”. Air mataku tiba-tiba memaksa keluar mendengar tutur Dian mengenai benda yang baru saja ia berikan padaku ini. Kusingkirkan dengan telapak tangan aliran air mata di pipiku agar tak jatuh membasahi hadiah dari Dian yang ada di pangkuanku. “Tapi, aku tidak bisa menerimanya. Ini pasti sangat berharga sekali buatmu”, ku sodorkan benda itu ke sumber suara Dian, dengan saat itu juga tangan Dian menghentikan gerakan tanganku. “Pakai saja Wi, aku lebih senang kau memakainya. Ini amanah ibuku agar dipakai sama orang yang aku sayangi yang mempunyai rasa yang sama dengan ibuku dan orang itu adalah kau”. Saat itu hanya senyum kecilku yang dapat keluar disela-sela tangisku yang belum usai. Ya Tuhan terimakasih, telah mempertemukanku dengan Dian. *** Udara hari ini menyengat kulitku, apakah tak ada awan di atas sana atau memang takut dengan keganasan panas siang hari ini. Bagaimana pun, kaki dan tongkatku tetap semangat menuju rumah Dian. Seperti biasa aku membawa dua botol jus jeruk untuk dinikmati bersama di musim kemarau ini. Rumahnya tidak terlalu jauh hanya berjarak satu komplek dari rumahku tapi, suhu siang hari ini cukup menguras keringatku yang berjalan dengan tongkat dan memoriku sebagai petunjuk rutenya. Tiba di depan gerbang rumahya terdengar Bi Ningsih menjerit minta pertolongan, langsung kuambil langkah seribu mencari sumber suara itu. “Non,non Dewi” suara Bi Ningsih semakin membuatku cemas, terdengar panik dan bingung. “Ada apa Bi, apa yang terjadi?” sambil meraba-raba mencari suara Bi Ningsih yang ada di depanku. “Non, non Dian pingsan darah keluar dari hidungnya” Aku dan Bi Ningsih hanya bisa menangis, Pak Sopir pun terlihat panik berusaha menambah laju taksinya. Kupangku Dian di belakang, tangannya sangat dingin dan lemas. Macet membuat perjalanan menuju rumah sakit bertambah lama. Aku sangat cemas, aku tidak mau terjadi sesuatu dengan sahabatku. Hanya itu yang ada dalam pikiranku. Tiba di rumah sakit Dian langsung di masukkan ke ruang ICU aku dan Bi Ningsing hanya bisa menunggu di luar. Waktu begitu lama, Dian kau kenapa?. Tidak pernah kau mengeluh, selalu gembira dan tidak ada yang kau tutupi selama ini, itu yang ku tahu. Mungkin aku bukan sahabat yang baik, meski aku buta harusnya aku lebih peka dengan keadaan di sekitarku. Rasa bersalah semakin muncul. Terdengar Bi Ningsih masing menangis, mungkin sama apa yang Bi Ningsih rasakan denganku. Takut terjadi sesuatu dengan Dian. “Maaf dengan keluarga dari pasien?” sapa dokter setelah keluar dari ruang ICU. “Benar, kami keluarganya Dok. Bagaimana kondisi Dian, Dok?” langsung kudekati dokter dengan peluh yang terus mengalir di mataku. “Saudari Dian terkena Leukimia stadium empat dan segera harus dilakukan penanganan “ mata dokter terlihat serius mengabarkan kabar itu. Seketika jantungku terasa berhenti, persendianku terasa kaku. *** Sudah sekitar dua minggu sejak Dian masuk ruang ICU, Dian belum juga memberi tanda-tanda perkembangan. Tetes cairan infus semakin berjalan cepat dan laju detak nadi di alat pendeteksi juga semakin melemah, jelas Bi Ningsih saat aku melihat Dian di balik kaca kamar ICU. Tinggal menunggu hasil pemeriksaan darah dari dua calon pendonor sumsum tulang belakang. Mencari pendonor sumsum tulang belakang untuk Dian kami lakukan melalui door to door, jejaring sosial, lewat media cetak maupun elektronik semua ini kulakukan untuk kesembuhan sahabat tercinta. Tepat pukul tiga sore nanti dokter berjanji akan memberitahu hasil pemeriksaannya. “Saudari Dewi dari hasil pemeriksaannya ternyata memiliki golongan darah dan DNA yang sama dengan pasien dan hasil dari pemeriksaan calon pendonor yang satunya meskipu memiliki golongan darah yang sama tetapi kondisi tubuhnya tidak baik untuk melakukan pengoprasian” ungkap dokter setelah melakukan pemeriksaan atas sampel darahku dan calon pendonor satunya. Untuk kedua kalinya jantungku terasa berhenti dan persendianku terasa kaku. Kesamaan darah dan DNA?, tanyaku dalam benak. Hari ini aku sekamar dengan Dian setelah selama dua minggu lebih hanya melihat dari balik kaca kamar ruang ICU-nya. Orang di ruangan ini terdengar tidak hanya satu mungkin sekitar lima orang dengan peralatan operasi. Dokter mulai menyuntikku dengan obat bius. Aku mulai tak sadarkan diri. Disaat itu tiba-tiba dokter dan perawat melakukan tindakan serius kepada Dian, aku tidak tau kejadian pastinya. Terdengar dokter melakukan kejut jantung kepada Dian saat kesadaranku diambang kehabisan “Bi aku bisa melihat, kenapa bisa begini Bi?” penasaranku saat kubuka mataku. “Non Bibi sebenarnya tidak ingin menceritakannya sekarang melihat kondisi Non yang belum pulih”, timbangnya seperti ragu. “Tidak apa-apa Bi, ceritakan saja.”jelasku menenangkan Bi Ningsih agar mau bercerita. “Ya Non, Non Dian kakak kandungmu meninggal, saat itu Non dan Non Dian sedang di ruang ICU saat akan menjalankan operasi. Mungkin Non Dian sudah saatnya kembali ke Pemiliknya.” Terang Bi Ningsih yang disusul dengan tangisanku saat mendengar kalimat pertama bahwa Dian adalah saudaraku kandung. Tanpa pikir panjang aku langsung melepaskan jarum infus dan bergegas keluar mencari Dian. Seperti tak percaya dengan semua ini, dengan tertatih-tatih ku datangi ruangan ICU dan ruang operasi tapi tidak kutemukan Dian di sana. Hanya dokter dan perawat yang sedang berkemas di ruangan itu, menasehatiku agar sabar. Tangis dan kecamuk menyelimuti jiwaku, masih belum percaya Dian akan secepat itu meninggalkanku. Sahabat yang selalu mengerti dan motivasi hidup kini telah pergi. *** Kini di atas gundukan tanah merah basah ku menangis dan berdoa semoga kakakku bahagia di sana. Ku bawa kenangan terindah darimu yaitu diari ibu yang ditulis oleh ayah sebagai bukti kita adalah saudara, stilus dan riglet pemberianmu dulu dan sepasang kornea yang kau berikan sebagai hadiah terindah saat ulang tahunku dan hari kepergianmu juga. Akan ku sayangi mereka.


Cerpen GSK Editor: Putri Istiqomah Priyatna
Penulis: Septi Fatimah Penulis lahir 20 tahun yang lau di kota Cilacap.
Beragama islam dan berdomisili di sebuah pesantren agama di Banyumas

http://www.kartunet.com/kenangan-terindah-dari-sahabat-tercinta-1370.html